Aku beranjak dari kamar Ibu, dan mengerjakan aktivitas rutin seperti biasanya. Keadaan rumah sepi. Mas Dewa dan selingkuhannya itu tidak ada. Di kamar tamu juga kosong. Kemanakah mereka? Setelah ke kamar Ibu semalam, aku tak lagi keluar kamar hingga tidak tau lagi apa yang terjadi selanjutnya pada Mas Dewa.
Aku beranjak melangkah ke dapur, mengambil beberapa bahan makanan untuk Ibu, segera kuracik dan memasaknya Ya, mulai hari ini aku hanya memasak untuk Ibu. Biar saja Mas Dewa dan Liana memikirkan perut mereka sendiri. Sedangkan aku nanti bisa makan di luar atau pesan online.
Setelah makanan khusus untuk Ibu telah siap, aku kembali ke kamar beliau.
"Ibu mandi dulu, yuk!"
Wanita itu mengangguk. Mata ibu agak bengkak. Wajahnya sedikit sembab. Pasti semalaman ibu menangis.
Selama aku membantu ibu mandi hingga berpakaian, wanita itu tidak bicara apa-apa. Padahal aku sudah mengajaknya bicara hal lain. Namun Ibu tak menanggapi. Nampaknya ibu sangat terpukul dengan kejadian semalam.
"Zahra, bukankah hari ini pertama kamu masuk kerja?" Tiba-tiba saja ibu bertanya saat aku suapi bubur.
"Iy-iyaa, Bu."
"Pergilah! Ibu tidak apa-apa." Mertuaku itu berkata lirih dengan tersenyum. Tampak ketulusan dari wajahnya. Ibu memang selalu baik padaku.
Namun justru aku bimbang. Bagaimana jika sampai siang Mas dewa belum kembali. Siapa yang membantu menyuapi ibu makan siang? Siapa yang membantu Ibu ke kamar mandi? Sungguh aku tidak tega meninggalkan Ibu tanpa ada yang menjaganya. Selama ibu sakit satu kalipun aku tak pernah meninggalkannya sendirian.
Tak lama kemudian terdengar beberapa orang berbicara di ruang tamu. Karena penasaran, perlahan aku melangkah ke sana. Dari kejauhan aku melihat dua orang tamu laki-laki dan wanita paruh baya yang tidak aku kenal selain Mas Dewa dan Liana.
"Kalian bikin malu saja! Papi tidak pernah menyangka kamu menikah dengan cara memalukan seperti ini, Liana."
Apa? Mereka sudah menikah?
Seorang laki-laki tambun dengan rambut nyaris botak, terlihat sangat marah pada Mas Dewa dan Liana. Wajahnya merah padam menahan emosi yang sepertinya sudah sangat memuncak.
Sementara seorang wanita dengan model pakaian terbuka yang tidak jauh berbeda dengan yang dipakai Liana, hanya menangis di samping laki-laki tambun itu.
Mas Dewa dan Liana tertunduk dengan wajah pucat pasi. Tubuh mereka gemetar. Sesekali Mas Dewa mengusap keringat yang mengalir di dahinya. Suamiku tampak sangat gugup dan ketakutan.
Sepertinya pria dan wanita paruh baya itu adalah orang tua Liana. Orang tua mana yang tidak akan malu dengan kelakuan bejat anaknya. Begitu juga dengan Ibu. Andai saja ibu sehat, mungkin beliau akan bersikap sama seperti apa yang dilakukan kedua orang tua Liana.
"Maafkan saya, Papi. Saya janji akan membahagiakan Liana," ucap Mas Dewa dengan suara bergetar.
"Terserah padamu. Aku sudah tidak peduli. Kalian sudah merusak nama baik keluarga besar kita," balas pria yang dipanggil papi oleh Liana dengan wajah sangat kesal. Matanya menatap nyalang pada pasangan mesum didepannya.
"Liana ..., mulai detik ini kamu tidak boleh menginjakkan kakimu lagi di rumah Papi! Kami semua kecewa padamu. Ayo Mami, kita pulang!" Liana histeris mendengar ultimatum yang baru saja diucapkan oleh papinya. Air mata terus mengalir di kedua pipinya.
"Papi ... Mami ... Li minta maaf. Ampuni Li ...!"
LIana menjerit hendak menahan kedua orang tuanya. Namun, sepasang suami istri itu tak menghiraukan dan terus pergi. Sementara Mas Dewa berusaha menenangkan istri barunya yang terus menangis.
"Sudahlah, Liana. Kamu yang sabar! Kamu akan bahagia tinggal bersamaku di sini. Sudah jangan menangis terus! Mau pecah rasanya kepalaku ini," sungut Mas Dewa seraya meremas-remas rambutnya.
Drama pagi yang cukup menarik. Tontonan yang cukup menghibur untukku. Diam-diam aku menyunggingkan sebuah senyuman di bibir. Air mata pertamamu setelah menikah dengan suamiku, baru saja hadir, Liana. Mungkin saja akan banyak air mata yang akan kamu keluarkan nantinya. Kamu akan menerima semua akibat dari kelakuanmu selama ini.
Tiba-tiba saja ponselku bergetar. Nama dan foto Ivan muncul di layar ponselku. Gegas aku ke kamar untuk menerima panggilan dari Ivan.
"Hallo, pagi, Ivan."
"Pagi Ra. Sebaiknya kamu datang ke kantorku besok saja. Hari ini aku masih di luar kota."
"Tidak apa-apa, Van. Aku bisa kerjakan apa saja dikantormu hari ini."
Ivan diam sejenak.
"Begini, Ra. Sebenarnya ada hal penting yang ingin aku sampaikan padamu. Untuk itu datanglah besok sekalian menunggu hasil meeting para pemegang saham perusahaanku."
"Apaa? Hasil meeting para pemegang saham? Maksudnya gimana? Apa ada hubungannya denganku?" Sungguh aku dibuat bingung oleh Ivan.
"Iya. Besok saja dibahasnya ya? sekalian aku kasih kejutan untukmu!' Ivan terkekeh.
Ivan menutup panggilan. Aku terdiam dalam kebingungan. Kejutan apa yang dimaksud sahabatku itu? Rasanya tidak sabar menunggu besok.
Ivan adalah sahabatku di perusahaan tempat kerjaku dulu. Kami satu team. Belakangan aku baru tahu bahwa laki-laki itu adalah anak dari Pak Lucas, pemilik perusahaan tempat kami bekerja. Ivan merahasiakan itu dari semua karyawan. Bahkan aku yang teman akrabnya tidak tau bahwa Pak Lucas, salah satu konglomerat di kota ini adalah orang tua Ivan. Pantas saja Ivan terlihat sedikit berbeda. Dia sangat handal dalam berbisnis. Hingga kini Ivan memiliki perusahaan sendiri.
Aku kembali keluar kamar. Mas Dewa dan Liana masih termenung di ruang tamu.
"Zahra, mana sarapan? Aku lapar." Mas Dewa berteriak saat melihatku keluar dari kamar.
"Mas Dewa lapar? Bilang saja sama istri barumu itu. Suruh aja dia masak, Mas!" Sahutku asal sambil terus berjalan ke dapur.
"Zahra ... Zahra!"
Aku tak lagi menghiraukan panggilannya dan terus berjalan ke dapur membuat sepiring nasi goreng untukku sendiri.
"Zahra, untukku dan Liana mana?" Tiba-tiba Mas Dewa menyusulku ke dapur.
"Maaf, Mas. Aku cuma bikin satu. Kalau Mas mau , yuk makan sepiring berdua sama aku !"
"Kenapa nggak sekalian kamu bikinin kita?"
Apa? Kita? Dih, Nggak sudi.
"Memangnya Mas nggak mau merasakan masakan istri baru? Itu bahan-bahan masakannya ada di kulkas. Suruh aja dia masak!" ujarku sambil menyiapkan minum untukku sendiri dan membawanya ke meja makan.
Aku mulai menikmati sepiring nasi goreng buatanku. Biasanya Mas Dewa paling suka dengan nasi goreng ini. Suamiku itu memandangku yang sedang duduk di meja makan sambil sesekali menelan ludah.
"Mas Mau?"tanyaku seraya menyuap sesendok nasi goreng ke mulutku. Sepertinya Mas Dewa hendak mendekatiku namun tiba-tiba gerakannya terhenti.
"Maaas, Aku lapar!" Liana datang menghampiri Mas Dewa.
"Kamu masak aja sana! Itu bahan-bahannya ada di kulkas!"
"A-apaaa? Masak? Aku mana bisa, Mas!"sahut Liana seraya melotot pada Mas Dewa.
"Kamu nggak bisa masak?" Suara Mas Dewa mulai meninggi.
Mas Dewa memandang kesal pada istri barunya itu.
"Aku kan wanita karier,Mas. Jadi mana pernah masak?" jelas Liana membela diri.
"Halaah, alasan saja!" ketus Mas Dewa.
Aku pura-pura tidak mendengar perdebatan mereka yang diakhiri dengan memesan makanan via online.
Aku memang lebih sering berada di kamar Ibu. Setidaknya agar Ibu tidak sulit memanggil jika membutuhkanku. Apalagi sejak ada istri baru Mas dewa di rumah ini. Rasanya sangat malas untuk keluar dari kamar ibu.Seperti saat ini, aku memilih untuk merapikan pakaian Ibu di lemari setelah aku setrika semalam. Walau sebenarnya sudah rapi, namun kembali aku mengubah letaknya agar lebih mudah dijangkau.Terdengar beberapa langkah kaki mendekat. Ternyata Suamiku dan istri barunya itu telah berdiri di depan pintu.Mas Dewa sepertinya tidak bekerja hari ini. Suamiku itu mengajak Liana masuk dan bicara pada Ibu.Liana tampak gugup, tidak sepercaya diri kemarin. Mungkin karena kermarin Ibu tidak menerimanya dengan hangat.Perlahan Mas Dewa dan istri barunya mendekat pada ranjang ibu. Lalu mereka duduk di tepi ranjang."Bu ...." Mas Dewa meraih tangan Ibu, lalu menciumnya cukup lama."Bu ..., Aku dan Liana sudah ... menikah. M
"Kamu cari apa, Mas?"Mas Dewa tak menjawab. Suamiku itu masih menatapku tak berkedip dari atas ke bawah. Jakunnya naik turun. Tampak ia susah payah menelan salivanya. Napasnya pun mulai memburu. Matanya berkabut menatapku penuh damba.Ini pertanda tidak baik untukku.Ada apa dengan dirimu, Mas? Kenapa kamu menatapku bagai melihat seorang bidadari? Kenapa baru sekarang kamu memandangku dengan tatapan mendamba seperti itu? Bukankah selama ini kamu tak pernah melirikku?Tanpa berkata apapun, aku melangkah perlahan melewatinya. Sementara tatapan Mas Dewa terus mengikuti langkahku."Bajumu sudah kuserahkan pada Liana," ujarku saat telah melewatinya beberapa langkah."Zahra ..." Aku tersentak saat tiba-tiba Mas Dewa membalikkan tubuhnya, lalu mendekatiku dan mencengkeram kedua lenganku."Lepaskan aku, Mas!" ujarku pelan, namun penuh penekanan. Aku berusaha menarik paksa kedua lenganku.Mas Dewa hanya menggele
Zahra ..., ayo Aku antar!" Tiba-tiba Mas Dewa sudah berdiri tepat disebelahku. "Tidak usah, Mas. Aku sudah pesan taksi online," sahutku seraya mencari keberadaan taksi yang sudah aku pesan. Namun setelah kulihat sekeliling, taksi itu tak kunjung datang. Kembali kubuka aplikasi taksi online di ponselku, ternyata pesananku dicancel. Segera aku memesannya kembali, mengingat hari semakin siang. Mas Dewa masih berdiri di sebelahku. Laki-laki itu masih mencuri-curi pandang padaku. Aneh, kenapa seperti sedang mencuri pandangan dengan wanita lain? Bukankah aku ini istrinya? "Zahra ... kamu ... kamu ..." Nampaknya ada sesuatu yang hendak dia tanyakan. Namun sepertinya suamiku itu ragu. "Kenapa, Mas?" "Kamu beda ..." lirihnya nyaris tak terdengar. "Apa? Kenapa? Aku nggak denger, Mas."Aku pura-pura tidak mendengar. "Kamu ..." Mas Dewa gelagapan ketika tiba-tiba Liana muncul dań dalam rumah. Laki-laki yang sebenarnya masih halal untukku itu segera masuk ke dalam mobilnya, diikuti tatapa
Lalu lintas menuju kantor Ivan macet. Bisa-bisa aku telat tiba di sana. "Pak, Pak. Bisa nyalip, nggak? Saya sudah telat, nih!" "Maaf, Mbak. Kita lewat jalan kampung aja gimana?" usul supir taksi. "Boleh, Pak. Cepetan ya, pak!" Pak supir itu mengangguk, kemudian berbelok ke salah satu jalan kampung. Beruntung pak supir itu sangat memahami jalan. Hingga perjalanan kami kembali lancar. Mulai besok aku harus berangkat lebih pagi. Aku harus lebih disiplin dan profesional. Taksi yang aku tumpangi berhenti di depan sebuah gedung yang menjulang tinggi. Menurut Ivan, kantornya berada di lantai dua belas. Setelah turun dari taksi, gegas aku melangkah masuk dan menuju lift. Ternyata di depan dua lift yang saling berhadapan ini penuh oleh karyawan yang sedang mengantri hendak menuju kantornya masing-masing. Gedung ini memang terdiri dari beberapa perusahaan yang berbeda di setiap lantainya. Sesaat melirik arloji ditanganku, ternyata waktuku tinggal sepuluh menit lagi. Berdecak kesal, k
POV DEWA "Mas, Aku hamil." Bagaikan mendengar petir di siang bolong, Liana sekretarisku itu mengabarkan kehamilannya. "A-apa? Hamil?". Wanita seksi itu mengangguk cepat. Aku terduduk pada kursi kebesaranku di ruangan ini. Beruntung hanya aku berdua berada dalam ruangan khusus manager ini. Tubuhku terasa lemas. Seharusnya aku bahagia mendengar kabar ini. Bukankah aku akan memiliki seorang anak? Setelah selama hampir dua tahun menunggu. Namun saat ini yang mengatakan hamil bukanlah istriku. Tapi sekrerisku, Liana. Wanita yang sering menemaniku tidak hanya di kantor, tapi juga saat aku dinas ke luar kota, bahkan diranjang hotel. Setiap hari Liana selalu berpakaian seksi jika di kantor. Sepertinya wanita ini memang sengaja memancing hasrat kelaki-lakianku. Setengah mati aku mencoba untuk menahan. Namun, siapa yang tahan jika setiap saat disuguhkan pemandangan yang indah dan sangat menggoda itu. Berbeda dengan Zahra, istriku. Dirumahpun dia tak pernah berpakaian yang memancing has
"Siang ini Mas Dewa harus ikut aku bicara pada papi dan mami!" "Jangan sekaranglah, Lee. Aku belum siap." Tiba-tiba wanita manja itu menangis tergugu di depanku. Apa kata karyawan lain nanti, jika Liana menangis seperti ini di depanku. Bisa buruk reputasiku di depan semua orang. "Liana, tolong jangan menangis seperti ini! Apa kata orang nanti." "Kalau begitu sekarang juga Mas Harus menghadap orang tuaku!" Sial! Apes aku! "Ya sudah, Ayo!" Sontak aku bangkit dan melangkah ke pintu. "Kamu tunggu di mobil. Aku izin Pak Devan dulu!" Semoga saja Pak Devan sedang tidak ada tamu. Bos besarku itu, walau masih muda, memiliki banyak perusahaan. Hingga harinya selalu sibuk. Walau demikian tak pernah sekalipun aku melihatnya dekat dengan wanita. Apa dia normal? Sudahlah, bukan urusanku. "Selamat siang Pak Devan, saya izin keluar kantor ada urusan keluarga!" "Urusan keluarga? Apa tidak bisa ditunda? Ini masih jam kantor," tegasnya. Tau apa laki-laki ini tentang keluarga. Menikah saja be
"Selamat pagi, Mbak. Saya ingin bertemu dengan Bapak Ivan Nick. "Selamat pagi. Dengan Mbak siapa?" tanya wanita yang bertugas sebagai reseptionis itu dengan ramah. "Saya Zahra Fatma." "Oh, Ibu Zahra sudah ditunggu Bapak Ivan. Mari saya antar!" Aku mengikuti langkah kaki wanita ituhingga berhenti didepan pintu bertuliskan CEO. Terdengar sahutan dari dalam setelah beberapa kali ketukan pintu. "Silakan Bu Zahra." Wanita itu mengantarku masuk ke dalam. Dua orang pria sedang berbincang saling berhadapan. Sesekali mereka tertawa. Aku berdecak kagum melihat ruangan yang besar dan nyaman serta terisi oleh barang-barang mewah dan canggih. Ivan berdiri menyambutku. Sementara laki-laki yang tadi berbicara dengannya masih duduk di hadapannya dengan posisi membelakangiku. "Zahra ... Zahra ..., masih seperti dulu. Selalu tampil memukau dan mempesona." Aku tersipu malu mendengar pujian dari sahabatku itu. Ivan banyak berubah. Kini tampak semakin berwibawa dan semakin tampan. Aura kepem
"A-apa?Aku?" Aku ternganga, seakan tak percaya dengan apa yang aku dengar barusan. Ivan mengangguk. "Kamu yakin?" lagi-lagi aku ragu. "Tentu. Sangat yakin." "Tapi aku belum berpengalaman mengelola perusahaan, Van." "Aku tau kemampuan yang kamu miliki, Zahra." Ivan mencoba meyakinkanku. "Tenang, Non. Untuk sementara kamu boleh belajar di kantorku selama satu bulan." Devan menawarkan diri. "Betul, sebaiknya selama sebulan ini kamu training dengan Devan. Karena aku sering keluar kota." sanggah Ivan. "Baiklah. Aku coba," sahutku mulai yakin. Setelahnya kami banyak membahas tentang perusahaan dan produk yang kami pasarkan. Ivan banyak meminta ide-ide dariku untuk menaikkan omzet penjualan perusahaan. Pengalamanku sebagai manager pemasaran di perusahaanku dulu membuatku mampu menciptakan metode-metode jitu dalam memasarkan produk. "Luar biasa kamu Zahra! Aku yakin kantor cabang kita nanti akan berkembang pesat ditanganmu." Kali ini Devan mencoba memujiku. Sungguh ini menjadi sat