Share

Part 6

last update Last Updated: 2025-08-10 09:23:00

Di jalan, Marwa melajukan mobil dengan sangat kencang. Dengan berurai air mata ia mengemudikan kendaraan tanpa tahu arah dan tujuan. Ia memukul-mukul setir kemudi sembari berteriak histeris.

"Brengsek ... keluarga bajingan. Terkutuk, kalian ...!!!"

Tak dapat dipungkiri, sekuat apa pun ia mencoba untuk tegar dan tidak menangis, tetap saja kenyataan pahit itu mampu menembus benteng pertahanan hatinya.

Suami dan mertua yang begitu ia puja selama ini, yang sangat ia percayai, yang menjadi tempat berlindung, tempat mencurahkan cinta dan kasih sayang, ternyata telah menorehkan luka yang teramat dalam di hatinya.

Hatinya hancur lebur. Kali ini ia benar-benar tak mampu menahan air mata. Ia putus asa, rapuh, dan terguncang. Tak sanggup lagi menjalani hidup.

Di tengah perjalanan, Marwa tiba-tiba menghentikan laju kendaraan. Tatapannya kosong. Bahkan ia tak tahu sedang berada di mana saat ini. Yang ia tahu, ia berada tepat di sebuah jembatan yang di bawahnya mengalir sungai yang sangat deras. Ia keluar dari dalam mobil, berdiri di pinggir jembatan dan berteriak sekencang-kencangnya meluapkan kekecewaan.

"Kenapa aku begitu bodoh? Kenapaaa???"

Tangis wanita itu makin keras. Suasana jalan yang sunyi membuat suaranya menggema ke seantero jagad raya.

Rasa kecewa, sedih, dan emosi bercampur menjadi satu. Membuatnya hilang akal dan kewarasan. Perbuatan mesum suaminya dan Alena yang sempat ia rekam tempo hari terputar kembali dalam benak. Betapa menjijikkan!

"Kau begitu hina, Mas! Kau kotor, kau pendusta, kau pengkhianat! Aku benci kamu, Mas!!!" Teriakannya kembali menggema. Namun, seketika berubah menjadi tangisan pilu.

Ia memandang ke bawah dengan tatapan kosong. Memandangi arus sungai yang mengalir begitu deras. Air mata tak berhenti menetes membasahi pipi. Sayup-sayup ia mendengar bisikan-bisikan aneh di telinganya. Seperti ada sesuatu yang mensugesti dirinya untuk segera terjun ke bawah.

'Untuk apa aku hidup? Tiada guna lagi aku hidup. Apalah arti hidupku ini? Tiada lagi orang yang mencintai dan menyayangiku. Mereka telah pergi. Mereka tak menginginkanku lagi. Lebih baik aku mati! Aku harus mati agar kesedihan ini sirna dan musnah selamanya!'

Bisikan-bisikan jahat itu makin memenuhi isi kepala. Marwa mulai kehilangan kesadarannya. Imannya mulai tergerus oleh beratnya penderitaan yang ia rasakan. Wajahnya kembali menunduk menatapi arus sungai yang mengalir deras di bawah jembatan.

Dengan tubuh gemetar dan tatapan kosong, ia perlahan mulai memanjat tiang-tiang besi yang ada di pinggir jembatan. Ia terus memanjat hingga mencapai puncak dan merentangkan kedua tangan. Mata yang basah itu mulai memejam.

"Selamat tinggal dunia yang kejam," lirihnya.

Hembusan angin yang cukup kencang menyentuh tajam setiap helai rambutnya. Dengan kedua mata yang masih memejam, semua kenangan pada sepuluh tahun silam, saat masa-masa indah yang ia lewati bersama suaminya terputar bagai film. Begitu mesra dan hangat. Tanpa sadar bibirnya mengukir senyuman. Namun, senyuman itu seketika sirna saat film memutar bukti-bukti perselingkuhan suaminya.

Persetubuhan suaminya dengan Alena, kemesraan mereka, ucapan-ucapan ibu mertua yang sangat menyakitkan, dan segala kepalsuan dan kebohongan yang suami dan ibunya ciptakan, semua terputar dengan jelas dalam benak. Membuat air mata kembali menganak sungai.

"Takkan kubiarkan kalian menyakitiku lagi. Sudah cukup. Semua sudah berakhir. Aku akan pergi. Selamat tinggal!" lirihnya lagi.

Ia mulai mencondongkan tubuhnya ketika bisikan-bisikan itu kembali datang dan menyuruhnya untuk segera melompat. Tubuhnya kian lama kian condong. Dan akhirnya ... ia merasa seperti melayang di udara. Namun, tiba-tiba ....

Tangan kekar seseorang dengan sigap menarik tangannya, hingga ia terjatuh dan menindih tubuh lelaki itu. Kulit telapak tangannya koyak terseret di aspal dan mengeluarkan darah segar.

"Aaahhh ...!" rintihnya.

"Kamu tidak apa-apa?" Suara bariton lelaki itu membuat Marwa membuka kedua matanya dan seketika tersadar.

Betapa terkejutnya ia mendapati dirinya tergeletak di atas tubuh seorang lelaki berwajah tampan dengan postur tubuh tegap bak atlit. Refleks ia mengangkat tubuhnya dari atas tubuh lelaki tersebut.

"Astaghfirullah ... Ya, Allah ... aku ... aku dimana?" Dengan napas yang berpacu kencang ia melihat ke sekeliling. Lalu tiba-tiba ia terisak. Terduduk lemas dengan tangan memeluk lutut dan membenamkan wajahnya di sana.

"Maaf. Aku memang tidak tau permasalahan berat apa yang sedang kamu hadapi. Tapi aku mohon, jangan ulangi lagi hal bodoh seperti ini!" ucap lelaki berwajah blasteran itu.

"Kenapa? Kenapa kamu menyelamatkanku? Harusnya aku hari ini sudah tenang di alam sana. Aku nggak mau bertemu dengan mereka lagi. Aku benci mereka!" Marwa kembali histeris. Tangisnya makin menjadi-jadi, membuat lelaki itu gelagapan.

"Sekali lagi aku minta maaf. Tapi apa kamu tidak berpikir sebelum melakukan hal bodoh ini? Gimana jika kamu tadi jatuh dibawa arus sungai ini, tapi kamu tidak mati, justru kamu cidera parah hingga membuat kamu cacat seumur hidup? Apa kamu tidak berpikir sampai ke situ? Istighfar, Mbak!"

Marwa seolah tersadar. Dengan lirih dan bibir bergetar ia mengucap kalimat istighfar. Bulir-bulir bening tak henti-hentinya menetes dari pelupuk matanya yang bulat.

"Sini aku obati tanganmu dan akan kuantar kamu pulang."

Marwa terdiam. Melihat ke arah mobilnya yang sejak tadi terparkir sembarang dengan pintu terbuka. Ia hampir tak percaya bahwa tadi dirinya sempat hilang kesadaran dan akan melakukan perbuatan yang sangat dilarang dalam agamanya.

Marwa menggelengkan kepala. "Tidak perlu. Aku bisa pulang sendiri."

Ia lalu bangkit dan berjalan masuk ke dalam mobil. Menyalakan mesin mobil dengan kunci yang masih menggantung di sana. Perasaannya tak karuan. Ia merasa tak memiliki kepercayaan lagi terhadap siapa pun.

'Semua lelaki pendusta, mereka pengkhianat!'

Marwa pun melaju kencang meninggalkan tempat yang hampir saja merenggut nyawanya itu. Ia tak sempat mengenal siapa lelaki yang telah menyelamatkan hidupnya. Bahkan hanya sekadar untuk mengucapkan terima kasih padanya.

Dengan perasaan cemas, lelaki bertubuh tinggi tegap itu diam-diam mengikuti Marwa dari belakang. Melihat kondisi wanita yang begitu menyedihkan itu, lelaki yang tadi menolongnya merasa sangat khawatir.

Hari sudah gelap ketika Marwa tiba di rumah. Ia melangkah gontai masuk ke dalam. Sementara lelaki yang sejak tadi mengikutinya, tercengang di balik kemudi.

"Rumah ini ... bukankah rumah ini milik Pak Ammar? Lalu wanita itu siapa?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
marwah jgn bodoh bunuh diri untu manusia laknat dan pembohonh rugi ,harus kuat lawan balas dgn elegan biar ancue tanpa tersisa para pengkhianat itu
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Air Mata Suami dan Mertuaku   Part 50

    Alena yang masih mengintip dari balik dinding, bersiap-siap menjalankan misinya. Pewarna bibir yang selalu ada di saku, ia poleskan ke bibir. Membuat bibir tipisnya semakin merah menyala.Tak lama William yang sudah selesai memberikan perintah pada si office girl pun mulai mengayun langkah ke luar pantry.Tiba-tiba ...."Arghhh ...." pekik Alena, yang memang sengaja menabrakkan tubuhnya dengan sangat keras ke arah William."Eeh eehhh ...." William pun terhuyung, membuat mereka berdua akhirnya terjatuh dalam keadaan yang tak pantas untuk dilihat.Kejadian yang begitu cepat itu membuat William sangat terkejut, dan benar-benar tak menyangka bahwa wanita yang berada di atas tubuhnya saat ini adalah Alena. Saling tatap pun tak dapat terelakkan. Seakan seketika waktu berhenti dan membekukan suasana.William benar-benar terkejut. Sementara Alena benar-benar terpana. Baru kali ini ia melihat wajah William dengan jarak hanya beberapa inchi saja dari wajahnya.Beberapa pasang mata tertuju pada

  • Air Mata Suami dan Mertuaku   Part 49

    "Kenapa telat? Baru hari pertama kerja kamu sudah tidak disiplin!" bentak seorang wanita bertubuh subur. Ia melirik arloji di tangan kanannya. "Kamu tau ini sudah jam berapa, hah? Kamu itu sudah telat setengah jam. Kalau tidak serius ingin bekerja di sini, ya, sudah, pergi saja!""M-maaf, Mbak!""Mbak? Kamu panggil saya Mbak? Hello, ini kantor, bukan toko. Panggil saya Ibu. Dasar tidak sopan!""I-iya, maaf maaf, Bu! T-tadi saya kejebak macet di jalan. Saya janji besok-besok nggak akan telat lagi," sahut Alena tertunduk sembari memilin ujung kemejanya.Seumur-umur baru kali ini dibentak atasan. Dulu, ia bagai anak emas. Bisa berbuat sekehendak hati karena Ammar akan selalu menjadi tamengnya."Ya, sudah. Sekarang kamu naik ke lantai 3 dan bersihkan semuanya!" titah wanita itu."A-apa? B-bersih-bersih, Bu?""Iya. Apa kata-kata saya kurang jelas?""M-maksudnya saya ke lantai 3 untuk bersih-bersih?" tanya Alena setengah tak percaya."Nggak. Main sirkus! Ya, iyalah!""J-jadi saya bekerja di

  • Air Mata Suami dan Mertuaku   Part 48

    "Kamu yakin, Nak, dengan keputusanmu untuk memasukkan wanita itu bekerja di perusahaan ini? Kamu tidak lupa, kan, dengan apa yang sudah dia lakukan pada rumah tanggamu?" tanya Pak Najib, CEO di perusahaan tempat Marwa bekerja, ketika mereka sedang menunggu pesanan makanan di sebuah kafe."Iya, nih. Hati-hati, loh! Jangan-jangan dia punya niat nggak baik lagi sama kamu." William yang duduk bersisian dengan Marwa pun merasa heran. Memang ia tahu, bahwa sekarang calon istrinya itu sudah memaafkan perbuatan lelaki yang sebentar lagi akan menjadi mantan suaminya. Akan tetapi, apakah itu juga berlaku pada wanita pelakor itu?Marwa menghela napas, lalu menyeruput segelas jus melon yang ada di hadapannya. "Tadinya saya juga sempat negative thinking sama dia, Pak. Tapi setelah saya pikir-pikir, setiap orang bisa berubah, kan? Ya, mungkin saja dengan kesengsaraan yang dia alami selama ini, bikin dia bertobat dan mau berubah menjadi lebih baik.""Mudah-mudahan saja. Tapi sebetulnya saya heran. K

  • Air Mata Suami dan Mertuaku   Part 47

    "Mbak Alena?" Kania terperanjat melihat sosok wanita yang tengah berdiri tegak di hadapannya dengan dua buah koper di kanan dan kiri."Mas ...." Alena langsung menghambur masuk melewati Kania begitu saja, tanpa memedulikan keterkejutan gadis itu."Kamu sudah pulih, Mas? Kamu sekarang sudah bisa berjalan?" Alena memeluk erat tubuh Ammar.Merasa sangat bahagia melihat suaminya kini tak lagi duduk di kursi roda. Ia mengurai dekapan dan memerhatikan kondisi fisik Ammar dari atas hingga bawah. Rasanya tak percaya. Akhirnya lelaki yang pernah sangat ia cintai hartanya itu, kini sebentar lagi akan perkasa seperti dulu.Ammar yang masih terpelongo dengan kedatangan Alena, hanya mematung. Ada mimpi apa wanita yang sudah tega meninggalkannya itu sekarang tiba-tiba muncul di hadapannya. Ia bertanya-tanya di dalam hati, darimana wanita ini tahu kalau mereka tinggal di sini?"Eh, eh ... mau apa kamu tiba-tiba datang ke sini, hah?" Bu Salma segera menarik tubuh wanita yang pernah jadi asisten rumah

  • Air Mata Suami dan Mertuaku   Part 46

    "Wow!" Kedua bola mata William membeliak. "Jadi ini rumahnya?"William yang sudah mendengar semuanya dari Marwa ketika di perjalanan tadi, terkesima melihat rumah mewah nan megah yang menjulang tinggi di hadapannya.Matanya menyisir setiap sudut dan lekukan rumah bercat putih bergaya itali itu. Ia berdecak kagum. Sungguh sempurna tanpa cela.Tak menyangka, ternyata sedalam ini rasa cinta Ammar terhadap Alena? Pantas saja Marwa begitu sakit hati dan menaruh dendam mendalam pada suaminya itu. Ia jadi merasa sangat kasihan pada wanita di sampingnya, meski kini wanita itu sudah tampak lebih tegar.Rumah yang sudah beberapa bulan terakhir tak berpenghuni itu tampak tak terawat. Di halaman terpancang sebuah tiang bertuliskan "Rumah ini disita oleh Bank". "Iya. Ini rumah pemberian Mas Ammar untuk Alena yang aku ceritakan tadi. Bagaimana menurutmu? Apa pembalasanku terlalu berlebihan bila dibandingkan dengan apa yang sudah dia lakukan di belakangku?" Marwa tersenyum getir."Delapan juta. Dia

  • Air Mata Suami dan Mertuaku   Part 45

    "Benar, kan, apa kataku?" William memulai percakapan sesaat setelah mereka berada dalam mobil, di area parkir rumah sakit.Sejak keluar dari ruangan Ammar, tak satu pun dari mereka yang mengeluarkan suara. Hanya mengayun langkah cepat dan ingin segera mencari udara segar. Kejadian yang baru saja terjadi membuat mereka sedikit syok."Perkataan yang mana?" tanya Marwa tak mengerti ke mana arah pembicaraan."Ammar akan cemburu berat dan nggak akan bisa terima kenyataan, ketika tahu bahwa akulah yang akan menggantikannya menjadi suamimu." William mulai menghidupkan mesin mobil."Kenapa kamu seyakin itu?""Tentu saja. Dia pasti merasa minder. Merasa dia nggak ada apa-apanya bila dibandingkan aku yang ... yaaa kamu tau sendirilah ... handsome, younger, and the ... hahaha!" William terbahak mendengar ucapannya sendiri. "Nggak bermaksud memuji diri sendiri, sih. Tapi seberapa pun kerasnya aku menyangkal, kenyataannya memang seperti itu, kan? Hahaha!"Marwa ikut terkekeh. "Jangan ge-er dulu, P

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status