Diana termenung sendiri di sudut kamarnya, perkataan kasar Herman masih begitu membekas di relung hatinya yang paling dalam. Tidak disangka begitu tega suaminya memojokkan dirinya dengan mengatakan telah berselingkuh. Dia tak bisa menerima perkataan kasar suaminya yang tidak tahu menahu tentang persoalan yang bagi dirinya dianggapnya sebagai fitnah belaka.
Terpikir dalam dirinya untuk menghadirkan Pak Wongso kehadapan suaminya agar dapat menerangkan bahwa diantara mereka tidak ada hubungan sama sekali. Tapi apakah itu usul yang baik, batin dalam hati, atau malah akan membuat salah paham semakin menjadi. Pusing juga Diana memikirkan masalah yang membuatnya tidak dapat memejamkan mata sementara malam telah larut.
Suaminya sejak tadi sore setelah cekcok dengannya sudah selarut ini belum juga ada tanda-tanda kembali ke kamar mereka. Mungkin Herman sudah tidur di kamar tamu menenangkan emosi dirinya yang tak tertahankan meluapkan segala amarahnya tadi sore. Tapi prediksi Diana salah, ternyata dua beranak tersebut masih heboh di ruang tamu membicarakan dirinya.
“Bagaimana Herman, sudah Kau putuskan untuk menceraikan istrimu?” tanya ibunya menekan anaknya agar menuruti keinginannnya.
Herman masih bermain dalam lamunannya, seolah tak mendengar perkataan ibunya, “Apa Bu?”
“Bercerai dengan Diana!” Bu Eneng dengan tegas menekankan kehendaknya pada pernikahan Herman anaknya.
“Cerai!” Herman terkejut. Walaupun dia sangat marah dengan istrinya tapi dia belum sempat untuk memikirkan perceraian, sebab jauh di relung hatinya yang paling dalam dia masih ingin memperta
Hankan pernikahannya.
“Apalagi yang harus Kau pertahankan dari wanita pembawa sial seperti Diana?” tanya ibunya keras.
“Bu, Perceraian itu sangat dilarang oleh Allah. Apalagi kalau permasalahannya hanya berdasarkan salah paham saja,” ungkap Herman lemah berusaha membela Diana yang selalu disalahkan oleh ibunya.
“Fakta, apalagi yang mau Kau cari. Bukankah foto-foto itu dan kesaksian salah satu pegawai honorer di Kecamatan tersebut merupakan satu bukti yang kuat.” Ibunya menjelaskan dengan yakinkah bahwa bukti yang didapatkan sudah cukup untuk membuktikan kesalahan Diana sebagai istri yang berselingkuh.
Herman mendesah perlahan, dikeluarkannya napasnya yang tertahan seluas-luasnya. Seolah dia tetap belum mempercayai bukti yang telah dikantongi oleh ibunya. Bisa saja ibunya yang merekayasa semua ini, pikirnya sempat terlintas.
“Apa kata keluarga besar kita,Man. Kalau istri yang selingkuh tidak segera kau ceraikan!” teriak ibunya dengan suara keras membuat Herman memutuskan lamunannya.
“Bisa saja Ibu yang merekayasa semua bukti ini, sebab dari dulu Ibu memang tidak senang dengan Diana?” kata Herman tak kalah keras menghardik ibunya yang selalu mendesaknya untuk mengambil keputusan cerai.
“Apa kau bilang?” kata Ibunya dengan nada tinggi dan keras menatap Herman dengan tajam.
“Herman hanya tidak ingin salah mengambil keputusan, Bu” katanya dengan suara lirih dan menunduk takut ibunya semakin menjadi marahnya.
“Cepat kau ambil keputusan, besok kalau bisa sudah kau talak istrimu!” ancam ibunya meninggalkan Herman termenung sendiri di ruang tamu berteman serial drama percintaan yang ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi swasta nasional.
Saat Diana keluar kamar untuk ke kamar mandi, Herman hanya melengos saat istri berusaha menatapnya. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mereka. Sama-sama diam, masih dongkol satu sama lainnya. Herman pura-pura asyik menonton saat istri hendak kembali ke kamar tidur dari WC, hanya kerling matanya saja yang mengiringi kepergian istrinya sampai tertutup oleh pintu yang terdengar dikunci dari dalam.
“Istriku memang cantik, dan berwawasan luas juga pekerja keras. Rasanya sayang jika harus berpisah” pikirnya berkecamuk dalam memori kepalanya jika saat ini dia menyadari kecantikan wanita muda bertubuh tinggi semampai denga rambut panjang terurai sebahu, dengan bibir sensual yang menggoda.
Sambil menonton, pikirannya berkelana melanglang buana, tak jua ditemukannya keputusan terbaik antara tetap bersama atau berpisah. Tapi jika teringat foto-foto perselingkuhan itu seketika dirinya menjadi jijik dengan istrinya, walaupun semua itu belum tentu kebenarannya sebab dia belum membuktikannya sendiri.
************************
Mentari pagi bersinar cerah, menyinari angkasa raya terlihat membiru di langit. Sayangnya tak secerah perasaan hati Diana yang sedang gundah gulana karena tengah galau akibat terfitnah perselingkuhan dengan orang yang selama ini menjadi pelanggan usaha kulinernya.
Diana menyayangkan sikap suaminya yang mudah terpengaruh omongan sang bunda sehingga terombang-ambing diantara dua pilihan yang sulit yaitu memilih ibunya dengan menceraikan istri atau memilih istrinya dan meninggalkan ibunya. Sememtara jauh di lubuk hati Herman, dia tidak bisa memilih salah satunya jika bisa memilih.
“Bila kamu masih bingung, maka Ibu yang akan mengusir Diana dari rumah ini. Setelah itu Kau tinggal melayangkan surat gugatan cerai kepadanya,” kata bu Eneng kepada anaknya di meja makan tak sabar dengan tindakan Herman.
“Ibu, aku minta pertimbangan sehari dua lagi untuk menyelidiki masalah ini,” pinta Herman kepada ibunya memohon agar diberikan waktu lagi untuk mengumpulkan bukti baru benar tidaknya terjadi perselingkuhan antara istrinya dan Pak Wongso.
“Tidak ada waktu lagi, selama ini Ibu sudah memberimu banyak waktu untuk mengantarkan istrimu ke orangtuanya,” tolak bu Eneng tegas meniadakan negosiasi dengan anaknya.
Seketika Ibunya menuju kamar Diana, lalu menyuruhnya mengepak pakaiannya lalu menyuruhnya angkat kaki,”Sekarang tidak ada alasan bagi kamu tinggal seatap lagi dengan Herman. Dia sudah setuju dengan Ibu untuk mengantarkanmu pulang ke rumah orangtuamu.”
Dengan bersimbah air mata, Diana menarik kopernya perlahan. Saat bertemu Herman di ruang tamu, Diana berhenti dan menatapnya sayu sambil menyeka air mata yang membasahi pipinya.
“Kak, sebegitu hinanya aku di matamu, sehingga Kau campakkan begitu saja,” katanya meminta pembelaan dari pria yang selama ini menemani perjalanan hidup berumahtangga.
“Maafkan aku,Dik!” Hanya itu kata yang terucap dari mulut Herman dengan lirih tanpa menatap istrinya untuk terakhir kalinya.
“Baiklah jika memang itu keputusanmu, Aku terima dengan ikhlas, Kak!” katanya dengan ikhlas menerima keputusan perpisahan mereka.
Herman tak mampu menatap kepergian Diana walau sesaat. Dibiarkannya Diana pergi meninggalkan rumahnya dengan deraian airmata pilu. Betapa dirinya merasa terhina, diusir keluar oleh suaminya sendiri, lelaki pilihan hatinya yang berjanji menemaninya hidup sampai maut memisahkan mereka. Kini apalah hendak dikata, takdir memaksanya harus berpisah secepat ini di saat dia sedang sayang-sayangnya.
Akhir tragis yang merubah statusnya menjadi seorang janda. Janda muda! Status yang akan menjadi bahan cibiran masyarakat di daerahnya, sebab janda identik dengan penganggu rumah tangga orang. Akan banyak kumbang menggoda yang mendatanginya, baik hanya sebatas iseng teman cuci mata atau serius menjadikannya orang kedua,ketiga atau keempat sebagai istri siri. Untuk beberapa hari ke depan, Diana akan menikmati status janda dengan enjoy saja, tak dipikirkannya kesan sinis yang dilontarkan orang kepadanya. Bodoh amat,ketusnya dalam hati.
BERSAMBUNG BAB IV
Predikat janda yang disandangnya oleh Diana, membuat orangtuanya tidak nyaman dan merasa was-was, sebab begitu banyak janda yang dilabrak oleh ibu-ibu yang merasa suaminya digoda olehnya. Padahal jika ingin jujur lebih banyak pria hidung belang beristri yang suka menggoda janda, baik untuk dijadikan istri siri atau hanya pemuas saja. Image buruk yang melekat pada diri seorang janda,membuat Diana merasa tidak nyaman dengan posisinya sebagai janda muda nan cantik dan aduhai. Banyak pasang mata lelaki hidung belang yang sudah beristri atau belum menggodanya hampir setiap hari, ada saja ulah mereka ketika ingin menmuinya yang disebut mereka sebagai janda kembang. Banyaknya kumbang yang menghampiri dirinya, membuat Diana gerah dan tidak aman. Apalagi
Sepulang dari perjalanan refreshing ke Curup, Diana berpapasan dengan Pak Wongso di rute jalan yang dilewati menuju rumahnya. Pak Wongso membunyikan klaksonnya begitu berpapasan dengan Aksan yang memboncengnya, dibalas klakson juga oleh Aksan sebagai penghormatan sesame pengguna jalan. Begitu tiba di rumah, Diana bertanya dalam hatinya, jangan-jangan Pak Wongso tadi habis bertamu ke rumahnya. “Ibu, tadi di jalan tanjakan tebing kuburan aku ketemu Pak Wongso,” ucap Diana ketika bertemu Ibunya di teras rumahnya ingin tahu, “Ya, tadi dia dari sini, mengobrol dengan Ibu tentang Kau!” kata Ibunya memberitahu dirinya jika Pak Wongso habis bertamu ke rumahnya dan menanyakan perihal dirinya.&nb
Hari baru yang penuh makna dengan berpakaian seragam khas honorer, Diana tampak keren dan sangat cantik terlihat. Tak pernah dibayangkannya jika dia memulai hari-harinya ke depan sebagai staf honorer di salah satu kecamatan baru di kabupaten tempat tinggalnya. Kecamatan baru yang memang membutuhkan banyak tenaga untuk melayani kepentingan masyarakat yang memerlukannya. “Selamat pagi, saudara-saudari sekalian. Alhamdulilah kita panjatkan puji dan syukur atas nikmat dan rahmat sehat jasmani dan rohani sehingga kita semua masih dapat melaksanakan pelayanan kepada amsyarakat dengan baik. Untuk itu marilah kita memberikan pelayanan yang ramah, cepat dan rapih serta tertib sehingga masyarakat senang dan sesuai dengan standard operasi prosedur yang ditentukan oleh pemerintah. Mari bersama kita wujudkan SOP pelayanan public yang baik menuju good government,” kata Pak Camat dalam sambutan apel pagi. &nbs
Pak Camat keluar dari ruangan sementara istri Pak Sekcam masih terlihat sangat marah kepada suaminya, dengan gemetar bibirnya menahan emosi yang meluap sampai ke ubun-ubun kepala. Bujuk rayu Pak Sekcam dalam melunakkan hati istrinya yang sedang full emosi tak mempan, malah suaminya dibentaknya dengan suara yang keras,”Ini kehendak Papa!” ujarnya sambil menghujam belati kecil yang terselip di dalam tas membeset kulit tangan yang mulus. Seketika darah keluar dari jari tangan Bu Sekcam yang tanpa disadari telah melukai dirinya sendiri dengan menorehkan belati kecil yang selalu dibawa kemana-mana untuk memperingatkan Pak sekcam agar tidak main-main dengan perempuan di belakangnya. “Mama, ini sudah gila!” bentak Pak Sekcam mengambil belati kecil dan melemparkannya ke lantai, sambil menotok jalan darah yan
Kirana semakin marah, benci dan tidak suka dengan Diana yang sudah dipercaya oleh atasan untuk mengerjakan tugas-tugas yang seharusnya mereka kerjakan. Sekarang malah mereka yang dikucilkan oleh teman-teman sehingga mereka dijauhi dan tidak dipercaya lagi mengerjakan job pelayanan administrasi kependudukan.Mereka juga sering ditinggalkan menunggu kantor jika ada acara kunjungan kegiatan di kampung tertentu. Biasanya mereka yang dulu menjadi ujung tombak protokolernya acara yang akan dilangsungkan tetapi sekarang malah Diana yang diserahi menggantikan tugas Kirana. Otomatis dia hanya datang ke kantor hanya untuk mengabsen, duduk santai sambil mengobrol saja, setelah itu makan siang lalu pulang jika jam kerja sudah berakhir.“Semenjak Diana bekerja, kita tidak pernah lagi diberi tugas protokoler,” ucap KIrana kepada temannya gusar.“Ya, kita sekarang jadi kayak pengangguran. Datang hanya untuk absen, ngobrol,makan siang lalu pulang,&
Hampir dua minggu lamanya Diana menganggur, untuk mengurangi rasa bosannya berada di rumah terus. Dia ikut ibunya ke sawah atau ke kebun, walaupun hanya sebagai teman saja bagi ibunya. Setidaknya keikutsertaan anaknya ke kebun menjadi tukang masak dan pembuat kopi atau teh ketika istirahat dari kerja, lumayan menghemat kerjaan karena begitu waktu istirahat tinggal menyeruput kopi dan kue buatan anak gadisnya. Dari jauh, Diana terpaku pandangannya saat melihat sosok lelaki yang sangat dia kenal sedang menghalau gerombolan burung yang hendak hinggap dan mematuk padi yang mulai menguning. Lelaki yang begitu dekat dihatinya beberapa waktu yang lalu, lelaki yang menemani hidupnya sebelum pisah ranjang. Masih terselip rasa sayang yang begitu dalam kepada sosok tersebut, hanya karena ibunya yang tidak bersahabat saja menjadi batu sandungan bagi keharmonisan rumah tangga yang dibangun dahulu.
Bu Eneng tidak mempedulikan lagi apa yang ingin dilakukan oleh menantunya. Jika suasana hatinya sedang tidak baik, sesekali masih terlihat gaya lamanya yang suka menyinggung perasaan Diana baik dengan perkataan atau tingkah laku yang sinis, tidak diobral seperti dulu yang setiap saat selalu memarahinya. Semua yang dilakukan oleh Bu Eneng semata agar Herman tidak meninggalkannya seorang diri, dia tak ingin kehilangan anaknya setelah suaminya meninggalkannya sejak Herman masih remaja. Betapa sulitnya move on ketika kehilangan, oleh sebab itu dia tak ingin kehilangan untuk kedua kalinya. Biarlah dia saja yang meninggalkan anaknya menghadap Ilahi jika ajal telah menjemput daripada Herman yang meninggalkannya menyewa rumah lain. Diana juga lebih berhati-hati lagi menghadapi gelagat mertuanya, jika dilihatnya sang mertua dalam suas
Baru saja Diana menikmati indahnya kebahagiaan menjalani bahtera pernikahan, tiba-tiba hadirlah seorang perempuan lain yang menumpang di rumahnya. Wanita geulis berdarah Sunda, yang berambut ikal berwajah tirus dengan face wajah yang manis. Bertingkah sedikit genit dan nakal, paling suka menggoda Herman dengan kerlngan mata yang manja.Bu Eneng sangat senang dengan kehadiran Dita, apalagi wanita yang masih kerabat ibunya Herman ini memiliki perasaan tersendiri kepada Herman. Ibunya Herman sangat mendukung keinginan Dita agar dapat merebutnya dari Diana untuk dijadikan suaminya. Dita minta dukungan dari Bu Eneng untuk melunakkan hati Herman agar mau menerimanya sebagai istri dan mencampakkan Diana.“Ibu harus membuat rencana yang jitu untuk memisahkan mereka,” kata Dita membujuk Bu Eneng untuk menyusun siasat memisahkan Herman dan Diana.“Iya, tapi kamu juga harus mencari ide juga, jangan Ibu saya yang kamu suruh mencari jalan memutuskan h