Share

BAB 3 : Pisah Ranjang

Diana termenung sendiri di sudut kamarnya, perkataan kasar Herman masih begitu membekas di relung hatinya yang paling dalam. Tidak disangka begitu tega suaminya memojokkan dirinya dengan mengatakan telah berselingkuh. Dia tak bisa menerima perkataan kasar suaminya yang tidak tahu menahu tentang persoalan yang bagi dirinya dianggapnya sebagai fitnah belaka.

Terpikir dalam dirinya untuk menghadirkan Pak Wongso kehadapan suaminya agar dapat menerangkan  bahwa diantara mereka tidak ada hubungan sama sekali. Tapi apakah itu usul yang baik, batin dalam hati, atau malah akan membuat salah paham semakin menjadi. Pusing juga Diana memikirkan masalah yang membuatnya tidak dapat memejamkan mata sementara malam telah larut. 

Suaminya sejak tadi sore setelah cekcok dengannya sudah selarut ini belum juga ada tanda-tanda kembali ke kamar mereka. Mungkin Herman sudah tidur di kamar tamu menenangkan emosi dirinya yang tak tertahankan meluapkan segala amarahnya tadi sore. Tapi prediksi Diana salah, ternyata dua beranak tersebut masih heboh di ruang tamu membicarakan dirinya.

“Bagaimana Herman, sudah Kau putuskan untuk menceraikan istrimu?” tanya ibunya menekan anaknya agar menuruti keinginannnya.

Herman masih bermain dalam lamunannya, seolah tak mendengar perkataan ibunya, “Apa Bu?”

“Bercerai dengan Diana!” Bu Eneng dengan tegas menekankan kehendaknya pada pernikahan Herman anaknya.

“Cerai!” Herman terkejut. Walaupun dia sangat marah dengan istrinya tapi dia belum sempat untuk memikirkan perceraian, sebab jauh di relung hatinya yang paling dalam dia masih ingin memperta

Hankan pernikahannya.

            “Apalagi yang harus Kau pertahankan dari wanita pembawa sial seperti Diana?” tanya ibunya keras.

            “Bu, Perceraian itu sangat dilarang oleh Allah. Apalagi kalau permasalahannya hanya berdasarkan salah paham saja,” ungkap Herman lemah berusaha membela Diana yang selalu disalahkan oleh ibunya.

            “Fakta, apalagi yang mau Kau cari. Bukankah foto-foto itu dan kesaksian salah satu pegawai honorer di Kecamatan tersebut merupakan satu bukti yang kuat.” Ibunya menjelaskan dengan yakinkah bahwa bukti yang didapatkan sudah cukup untuk membuktikan kesalahan Diana sebagai istri yang berselingkuh.

            Herman mendesah perlahan, dikeluarkannya napasnya yang tertahan seluas-luasnya. Seolah dia tetap belum mempercayai bukti yang telah dikantongi oleh ibunya. Bisa saja ibunya yang merekayasa semua ini, pikirnya sempat terlintas.

            “Apa kata keluarga besar kita,Man. Kalau istri yang selingkuh tidak segera kau ceraikan!” teriak ibunya dengan suara keras membuat Herman memutuskan lamunannya.

            “Bisa saja Ibu yang merekayasa semua bukti ini, sebab dari dulu Ibu memang tidak senang dengan Diana?” kata Herman tak kalah keras menghardik ibunya yang selalu mendesaknya untuk mengambil keputusan cerai.

            “Apa kau bilang?” kata Ibunya dengan nada tinggi dan  keras menatap Herman dengan tajam.

            “Herman hanya tidak ingin salah mengambil keputusan, Bu” katanya dengan suara lirih dan menunduk takut ibunya semakin menjadi marahnya.

            “Cepat kau ambil keputusan, besok kalau bisa sudah kau talak istrimu!” ancam ibunya meninggalkan Herman termenung sendiri di ruang tamu berteman serial drama percintaan yang ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi swasta nasional.

             Saat Diana keluar kamar untuk ke kamar mandi, Herman hanya melengos saat istri berusaha menatapnya. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mereka. Sama-sama diam, masih dongkol satu sama lainnya. Herman pura-pura asyik menonton saat istri hendak kembali ke kamar tidur dari WC, hanya kerling matanya saja yang mengiringi kepergian istrinya sampai tertutup oleh pintu yang terdengar dikunci dari dalam.

            “Istriku memang cantik, dan berwawasan luas juga pekerja keras. Rasanya sayang jika harus berpisah” pikirnya berkecamuk dalam memori kepalanya jika saat ini dia menyadari kecantikan wanita muda bertubuh tinggi semampai denga rambut panjang terurai sebahu, dengan bibir sensual yang menggoda.

            Sambil menonton, pikirannya berkelana melanglang buana, tak jua ditemukannya keputusan terbaik antara tetap bersama atau berpisah. Tapi jika teringat foto-foto perselingkuhan itu seketika dirinya menjadi jijik dengan istrinya, walaupun semua itu belum tentu kebenarannya sebab dia belum membuktikannya sendiri.

           

************************

              Mentari pagi bersinar cerah, menyinari angkasa raya terlihat membiru di langit. Sayangnya tak secerah perasaan hati Diana yang sedang gundah gulana karena tengah galau akibat terfitnah perselingkuhan dengan orang yang selama ini menjadi pelanggan usaha kulinernya.

            Diana menyayangkan sikap suaminya yang mudah terpengaruh omongan sang bunda sehingga terombang-ambing diantara dua pilihan yang sulit yaitu memilih ibunya dengan menceraikan istri atau memilih istrinya dan meninggalkan ibunya. Sememtara jauh di lubuk hati Herman, dia tidak bisa memilih salah satunya jika bisa memilih.

            “Bila kamu masih bingung, maka Ibu yang akan mengusir Diana dari rumah ini. Setelah itu Kau tinggal melayangkan surat gugatan cerai kepadanya,” kata bu Eneng kepada anaknya di meja makan tak sabar dengan tindakan Herman.

            “Ibu, aku minta pertimbangan sehari dua lagi untuk menyelidiki masalah ini,” pinta Herman kepada ibunya memohon agar diberikan waktu lagi untuk mengumpulkan bukti baru benar tidaknya terjadi perselingkuhan antara istrinya dan Pak Wongso.

            “Tidak ada waktu lagi, selama ini Ibu sudah memberimu banyak waktu untuk mengantarkan istrimu ke orangtuanya,” tolak bu Eneng tegas meniadakan negosiasi dengan anaknya.

            Seketika Ibunya menuju kamar Diana, lalu menyuruhnya mengepak pakaiannya lalu menyuruhnya angkat kaki,”Sekarang tidak ada alasan bagi kamu tinggal seatap lagi dengan Herman. Dia sudah setuju dengan Ibu untuk mengantarkanmu pulang ke rumah orangtuamu.”

            Dengan bersimbah air mata, Diana menarik kopernya perlahan. Saat bertemu Herman di ruang tamu, Diana berhenti dan menatapnya sayu sambil menyeka air mata yang membasahi pipinya.

            “Kak, sebegitu hinanya aku di matamu, sehingga Kau campakkan begitu saja,” katanya meminta pembelaan dari pria yang selama ini menemani perjalanan hidup berumahtangga.

            “Maafkan aku,Dik!” Hanya itu kata yang terucap dari mulut Herman dengan lirih tanpa menatap istrinya untuk terakhir kalinya.

            “Baiklah jika memang itu keputusanmu, Aku terima dengan ikhlas, Kak!” katanya dengan ikhlas menerima keputusan perpisahan mereka.

            Herman tak mampu menatap kepergian Diana walau sesaat. Dibiarkannya Diana pergi meninggalkan rumahnya dengan deraian airmata pilu. Betapa dirinya merasa terhina, diusir keluar oleh suaminya sendiri, lelaki pilihan hatinya yang berjanji menemaninya hidup sampai maut memisahkan mereka. Kini apalah hendak dikata, takdir memaksanya harus berpisah secepat ini di saat dia sedang sayang-sayangnya.

            Akhir tragis yang merubah statusnya menjadi seorang janda. Janda muda! Status yang akan menjadi bahan cibiran masyarakat di daerahnya, sebab janda identik dengan penganggu rumah tangga orang. Akan banyak kumbang  menggoda yang mendatanginya, baik hanya sebatas iseng teman cuci mata atau serius menjadikannya orang kedua,ketiga atau keempat sebagai istri siri. Untuk beberapa hari ke depan, Diana akan menikmati status janda dengan enjoy saja, tak dipikirkannya kesan sinis yang dilontarkan orang kepadanya. Bodoh amat,ketusnya dalam hati.

BERSAMBUNG BAB IV

           

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status