Share

Air Mata di Hari Persandingan
Air Mata di Hari Persandingan
Author: Al Kahfi

Chapter 1. Sah!

Author: Al Kahfi
last update Last Updated: 2025-01-11 16:09:08

"Saya terima nikahnya, Aisyah Anidia binti Umar Al-hamid dengan mas kawin yang tersebut!”

“Sah, alhamdulillah!”

Doa-doa pun dilangitkan menandai babak baru dua insan manusia tersebut.

Setelah akad nikah tak ada pesta meriah atau pun perayaan spesial yang lainnya, itu adalah syarat mutlak yang diajukan mempelai pria jika kedua orangtuanya menginginkan pernikahan antara dirinya dengan gadis pilihan ayahnya itu segera dilaksanakan.

Pernikahan dilaksanakan dikediaman orangtua mempelai wanita. Kedua orangtua mempelai pria sudah pamit pulang beberapa jam setelah akad nikah putranya.

"Mas, mau kubuatkan minuman hangat atau dingin?" Wanita berhijab putih itu beringsut dari duduknya mendekati pria yang kini sudah sah menjadi suami dan imam untuk dirinya.

"Gantilah dulu pakaianmu itu, Aisyah, aku risih melihatnya, kelihatan sekali kalau dirimu itu sangatlah kampungan, kenapa kamu tidak memilih gaun yang sesuai dengan kastamu saja heh?" hardik sang suami dengan tatapan sinisnya terhadap wanita yang baru saja sah menjadi istrinya itu.

"Gaun ini adalah pilihan Mama, Mas, maaf jika kamu tidak menyukainya, seharusnya aku minta pendapat darimu sebelum mengenakan gaun pengantin ini." Aisyah mulai melepasi pernak-pernik pengantin yang beberapa masih menempel di tubuhnya.

"Aku tidak butuh permintaan maaf dari bibir sok sucimu itu. Dan satu hal yang harus kamu ingat, jangan pernah ikut campur apapun urusanku, kita menikah hanya sekedar status saja, kamu tau, aku tidak pernah mencintai dirimu, dan kamu bukan lah tipeku, jadi stop memberi perhatian dengan macam-macam pertanyaanmu itu, aku muak!"

Dada Aisyah bergemuruh hebat, ujung kelopak matanya pun sudah mengembun juga menghangat.

Inikah awal yang sangat dia impikan? Bersanding dengan pria yang katanya sholeh, tampan dan sudah tentu mapan, namun ternyata sanggup membuat airmatanya meleleh di hari pertama pernikahannya?

"Menikah adalah ibadah, Mas, kamu adalah jembatanku untuk sampai ke syurga-Nya, aku mohon rubah ucapanmu, Allah tidak menyukai kalimat seperti itu," pinta Aisyah yang masih belum beranjak dari duduknya.

Sang suami pun menoleh dengan bibir menyungging, lalu berkata,

"Dia malah ceramah, anda salah orang, Ukhty. Saya sudah tau tentang apa yang baru saja kamu bicarakan, jadi jangan coba-coba menggurui saya, paham?”

Aisyah menengadahkan wajahnya coba menahan agar bulir bening itu tak jatuh, air matanya terlalu murah jika harus menangis hanya karena kata-kata kasar suaminya.

"Kamu mau kemana, Mas?" Aisyah berdiri untuk menggapai ujung jas sang suami, namun suaminya itu malah menghempaskan tangannya dengan kasar.

"Jangan sentuh aku, dan jangan ikut campur semua urusanku, aku tidak berkewajiban menjelaskan itu semua kepadamu, jangan membuatku emosi dengan segala macam pertanyaanmu itu!"

"Tapi aku berhak tau, Mas, karena sekarang ada aku istrimu, dan apa yang akan aku katakan jika Ayah dan Ibu menanyakan keberadaanmu, apa?" kata Aisyah dengan suara pelan, dia tidak ingin orang tuanya mendengar tentang perkataan kasar suaminya itu.

"Kenapa ribet banget sih hidupmu ini? Tinggal bilang tidak tau saja, apa susahnya, apa perlu aku beri catatan, tentang kalimat yang harus kamu ucapkan jika ada yang menanyakan keberadaanku, iya?”

"Kamu salah, Mas, bukan itu maksudku. Tak bisakah tinggal sejenak di sini, agar aku tak bingung seorang diri, kamu itu suami ku, bukan hanya sekedar atasanku lagi?”

"Halah, nggak usah drama dengan kalimat sok puitismu itu, Aisyah, apa kamu pikir aku akan kasihan?”

Pria bertubuh kekar itu segera menanggalkan jas hitamnya, lalu ia ganti dengan t-shirt hitam polos dan juga celana chargo selutut sebagai bawahannya.

Aisyah tak berniat untuk mencegahnya, awal yang indah namun teramat menyakitkan.

"Lho Nak Bram, mau ke mana?" Seorang pria paruh baya datang dari arah dapur menghampiri Bramantyo yang akan masuk kedalam mobilnya.

"Ayah, maaf, Yah, Bram izin keluar sebentar, karena Aisyah minta dibelikan beberapa lembar khimar pada Bram," kata Bramantyo berusaha meyakinkan ayah mertuanya itu.

Sang mertua tersenyum bahagia, lalu mempercepat langkah kakinya.

"Aisyah mana, kok nggak ikut?" ucap pria paruh baya itu dengan senyum sumringah.

Bramantyo tersenyum palsu, "Katanya capek, Yah, Bram pergi sendiri saja, paling nanti kalau pesanannya nggak sesuai, tinggal ditukar saja," katanya lagi.

"Alhamdulillah, Aisyah beruntung sekali mendapatkan suami seperti Nak Bram ini, maafkan Aisyah, Nak, dia belum banyak mengerti tentang statusnya sebagai seorang istri, selalu bimbing dia ya, tegur jika dia keliru, nasihati jika ucapannya salah," pinta sang mertua yang tentu saja mendapat anggukan penuh kebanggaan dari Bramantyo.

"Itu pasti, Yah, Ayah tidak perlu mengkhawatirkannya, selama bersama saya, Aisyah pasti bahagia."

"Aamiin, Ya Robb, ya sudah berangkatlah!”

Bramantyo masuk kedalam porsche hitam metalik miliknya.

Ia melaju dengan kecepatan kencang menuju ke sebuah perumahan yang belum terlalu ramai penghuninya.

"Sayang, kenapa lama sekali sih, pasti kamu abis mesra-mesraan ya sama istri kontrakmu itu?” Seorang wanita dengan rambut sebahu dan pakaian press body tampak keluar dari dalam rumah tersebut, ia bergelayut manja di lengan Bramantyo, yang mengelus pelan puncak kepalanya.

Beberapa menit kemudian,

"Kamu mau langsung pulang, Bram, nggak nginep di rumahku?” tanya sang wanita manakala kini Bramantyo mulai melirik jam di tangannya.

"Saat ini aku masih tinggal di rumah mertuaku, Soff, jangan sampai sandiwaraku ini terbongkar lebih cepat, bisa kena serangan jantung nanti papaku, aku pamit dulu yah, jika butuh apapun segera hubungi aku, ini credit card untuk memenuhi kebutuhan sehari-harimu, gunakanlah sesukamu!”

"Makasih, Sayang, kamu memang yang terbaik!” cakap Soffia yang masih bergelayut manja di lengan Bramantyo.

Bramantyo berlalu meninggalkan kediaman sofia sekretaris di kantornya, sementara Aisyah sendiri menjabat sebagai staf personalia di perusahaan milik orang tua Bramantyo tersebut.

Bramantyo tak melupakan kebohongannya terhadap sang ayah mertua, ia pun masuk ke dalam toko busana muslimah, lalu memilih beberapa lembar khimar dengan berbagai warna.

"Semuanya satu juta enam ratus ribu rupiah ,Mas"

"Kemas segera, delivery atas nama Aisyah Anidia, dengan alamat yang tercantum di sini!” kata Bramantyo seraya menunjukkan alamat yang dia simpan di layar ponselnya.

Setelah semuanya beres Bramantyo kembali singgah di sebuah Cafe resto.

"Wih, pengantin baru kok udah kelayaban aja lo, Bram, nggak takut kena sawan pengantin apa?"

Bramantyo mencebik mendengar ledekan salah satu temannya yang memang sering nongkrong di tempat ini.

"Zaman udah canggih juga, lo masih percaya mitos kaya itu, Rick, please move on, Bro, lo bukan hidup di zaman batu, woi!” timpal seorang pria dengan topi hitam yang bertengger di kepalanya.

"Ada nggak, omongan yang lebih jijik lagi daripada pembahasan kalian ini hah? Geli gua dengernya." Bram menarik salah satu kursi yang masih kosong lalu menyesap minuman sodanya hingga habis.

"Sabar, Bro, pengantin baru nggak boleh marah-marah, nanti Nyonya Bramantyo pangling!"

Hahahha!

Suara tawa terbahak-bahak pun pecah di tempat itu, Bramantyo hanya tersenyum lalu meraih handphone-nya yang berdering.

"Mas, kamu di mana, ini udah masuk waktu sholat magrib?”

Tut!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 33. Kekejaman Adrian 1

    Malam kembali menyapa dengan semua misteri yang kadang tak pernah terpecahkan hingga hari berubah nama menjadi esok, kemarin bahkan esoknya lagi dan lagi. Berganti dengan kisah yang pasti berbeda. "Ai, kenapa belum tidur juga? Besok Mas harus berangkat pagi lho!" ucap Bramantyo berseloroh. Dilihatnya wajah sang istri yang selalu saja meneduhkan itu dengan penuh rasa cinta. "Nungguin kamu, Mas!" Pipi Aisyah bersemu merah saat berucap seperti itu. Dan tentu saja ada makna lain yang tersirat dalam ucapan Aisyah yang ditangkap oleh Bram. "Nungguin Mas? Emangnya apa yang ditungguin, hem?" Bramantyo mendekat, ia tanggalkan kaos oblong berwarna hitam yang dikenakannya tadi, hingga kini yang tersisa hanya selembar boxer press body berwarna hitam di tubuh atletisnya. Aisyah diam, "Aku sudah salah bicara, kan Mas Bram

  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 32. Selebar Daun Kelor

    Beberapa menit sebelumnya. Kalian tentu tahu dengan perumpamaan dunia tak selebar daun kelor, bukan? Baiklah, mari kita buktikan, apakah ungkapan itu berlaku atau mungkin sebaliknya! Seorang pria berbadan tegap dengan dada dan bahu yang bidang berjalan keluar dari kamar hotelnya. Sebuah kacamata hitam tanpak gagah bertengger di hidung bangirnya, ia singsingkan sedikit lengan jasnya untuk melihat waktu pada jarum jam di pergelangan tangannya. Drett! Langkahnya tak terburu-buru saat tiba-tiba ponselnya bergetar. "Saya akan tiba 15 menit dari sekarang!" ucapnya mengakhiri panggilan suara di ponselnya, dan kini benda pintar itu pun sudah kembali ia masukkan ke dalam saku jasnya. Pria itu pun masuk ke dalam kendaraannya, lalu sesuai dengan perkiraan, 15 menit kemudian

  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 31. Memulai hidup yang baru

    Aisyah tersenyum, sungguh suaminya benar-benar telah berubah kini, dia tidak hanya menjaga tubuh Aisyah dari segala macam marabahaya, akan tetapi menjaga hatinya juga. Menjaga hati dari retak dan luka, menjaga hati dari semua kecewa yang bisa saja kembali hadir dan singgah. Bramantyo benar-benar berubah, rasa sesalnya ia tebus dengan semua sikap dan cintanya yang tulus untuk Aisyah. "MashaAllah, Mas!" Bram tersenyum, lalu akhirnya mereka memilih menjauh, mencari desa lain untuk tempat tempat tinggal mereka. "Mas, itu desa apa? Kok serem sih?" Sebelumnya Aisyah tidak pernah menjadi pribadi yang penakut seperti ini, namun entah mengapa suasana desa di depannya itu sungguh begitu mencekam. "Mas lebih takut dengan iblis yang berwujud manusia ketimbang mereka dengan wujud sebenarnya, Ai. Karena apa? Karena melawan dan mengusir mereka tidak akan melukai perasaanmu, percaya sama Mas, ya!" ungkap Bram, ia gandeng satu tangan istrinya itu untuk kemudian ia bawa berteduh di sebuah

  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 30. Membawamu pergi

    Seberat apa pun masalahmu, ingat semua ini pasti ada akhirnya! "Silakan pergi, tapi biarkan Papa tetap di sini! Kamu bisa saja menjadikan nama besar Papa sebagai modal kehidupanmu yang gak jelas itu, tinggalkan Papa tetap di sini!" Bramantyo tak menduga jika Adrian masih memiliki belas asih kepada papanya, meskipun dengan alasan yang sungguh menyakitkan, akan tetapi, siapa yang akan mengurus ayahnya, sementara Aisyah harus ikut serta bersama dia? "Gak, aku gak mau, siapa yang akan merawat Papa?" ucap Bram keberatan. "Ada Bibi, Tuan Muda, percaya, kan sama Bibi?" Bi Onah, asisten rumah tangga di keluarga Bramantyo itu tiba-tiba muncul dari arah dapur. "Bi Onah?" Bram berkata lirih dengan secercah harapan di wajahnya. "Tolong jagain Papa ya, Bi!" Langkah kaki terasa be

  • Air Mata di Hari Persandingan   29. Prahara

    "Adrian!" ungkap Aisyah menjelaskan tentang pertanyaan suaminya itu. Lupakah dia, ataukah dia tidak menyadarinya? Bram raih satu tangan wanita itu lalu ia bawa masuk ke dalam rumah besar ayahnya ini. "Kita ke kamar Papa dan Mama!" kata Bram lagi, mereka berjalan dengan cepat menuju kamar Usman Sastro Nugroho. Dan lagi, kejanggalan demi kejanggalan yang belum Aisyah temui titik terangnya. Karena Bramantyo selalu saja mengelak meskipun sudah tertangkap basah dan ketahuan. Akan tetapi Aisyah butuh jawaban pasti dari suaminya, meskipun belum juga dia dapatkan. "Pa, Papa!" Kriek! Bram buka pintu kamar ayahnya itu dengan pelan. "Astaghfirullah, Papa!" Bramantyo pun seketika menghambur memeluk tubuh ayahnya yang terkulai tak berdaya di atas ranjang seorang diri. "Mama mana, Pa?" tanya Bram saat kedua mata ayahnya itu pun terbuka. "Emm, emm!" Hanya itulah yang kini didengar oleh Bramantyo dari bibir ayahnya. Sungguh menyedihkan, saat dulu ayahnya adalah sosok bersahaj

  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 28. Di mana mereka?

    Suasana canggung pun tercipta. Tentu saja, mereka bukanlah pasangan romantis sebelum kejadian itu akhirnya membawa Bramantyo mendekam di dalam penjara, mereka bukan dua sejoli yang memang sudah mendambakan indahnya hidup berumah tangga, mereka adalah pasangan dengan segala carut-marut yang tercipta, dengan segala konflik yang pelik yang harus mereka peluk dengan penuh rasa sakit di dalam hati, namun akhirnya yang mereka rawat dengan penuh kesabaran dan juga rasa ikhlas itu pun berbuah manis, semanis kata-kata dan sikap Bramantyo kepada Aisyah. "Kamu gak suka ya kalau Mas cium-cium kayak tadi?Mas memang segaktahudiri itu, Ai, maaf, harusnya Mas tahu keburukan itu bahkan belum seujung kukupun berbanding dengan secuil ucapan cinta dan sayangku untukmu, gak!" ujar Bram. Aisyah belai pipi sang suami yang kini sudah ditumbuhi bulu-bulu halus itu, "Alhamdulillah, terima kasih atas cinta dan sayangmu untukku, Mas, maaf harus membuatmu menjalani hari-hari yang menyakitkan di dalam sa .

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status