Home / Rumah Tangga / Air Mata di Hari Persandingan / Chapter 7. Di mana urat malunya?

Share

Chapter 7. Di mana urat malunya?

Author: Al Kahfi
last update Last Updated: 2025-02-01 09:30:53

Aisyah terdiam, tubuhnya membeku dengan bibir mengatup, meskipun rasa sakit di dalam hatinya itu sungguh begitu payah u untuk dia lerai, namun dia harus tetap tenang dalam air mata yang menggenang di dalam perasaan dan juga hatinya.

"Soffi?" Bramantyo segera berdiri, namun tidak melangkah dan hanya diam di tempat.

"Bram, tadi pagi aku ke apartemenmu lho, tapi istri kontrakmu ini menghalangi jalanku," kata Soffi menunjuk Aisyah dengan tatapan sinis penuh kebenciannya.

"Ikut aku!"

Bramantyo menarik tangan Soffi pelan. 

"Apa sih, Bram? Kenapa main tarik-tarik kayak gini? lepasin, sakit!" rintih Soffi yang terus mengusapi pergelangan tangannya.

"Kita akan bicara, tapi bukan sekarang dan bukan di sini juga, orang-orang papaku selalu mengawasi gerak-gerikku, aku nggak mau kamu jadi sasaran kemarahan Papa.

Untuk hari-hari ke depan jangan dulu menghubungi apalagi menemuiku, interaksi kita cukup di kantor saja, itu pun hanya sebatas rekan kerja, tidak lebih!" pinta Bramantyo penuh pengharapan kepada kekasih gelapnya itu.

"Tapi sampai kapan, Bram? Aku mana bisa begitu?" ucap Soffi merasa keberatan dengan permintaan Bramantyo.

"Ini darurat, Soff, mengertilah, aku bisa dipecat dari jabatan CFO di kantor Papa, jika sampai Papa mengetahui kita masih berhubungan seperti ini!" kata Bramantyo. Soffi akan kembali menyela, akan tetapi,

"Awww!" Tiba-tiba Bram kembali mengeluhkan sakit pada lengannya. 

"Kamu kenapa, Bram?" Soffi pun bergerak cepat dengan menyentuh lengan Bramantyo, akan tetapi,

"Singkirkan tanganmu, ada aku istri sahnya, tanganmu haram menyentuh tubuh suamiku!" kata Aisyah yang kini sudah berdiri di samping Bramantyo.

"Heh, sepertinya kamu harus tau, bahwa apa yang kami lakukan sudah lebih dari ini, Gadis kampung!"

"Dan kamu harus tau, status kami sudah lebih legal dari hanya sekedar jamah-menjamah tubuh murahanmu, wanita jahanam!"

Pelan sekali Aisyah mengucapkan kalimat itu, hingga tubuhnya bergetar setelahnya, sungguh ia telah tersulut emosinya hingga tak mampu mengendalikan kata-kata yang akhirnya terlontar dari bibirnya tersebut.

"Astaghfirullah!" Tanpa terasa airmatanya menetes, ia pun segera masuk ke dalam ruangan dokter dengan mata berair, namun ia segera menyekanya. 

"Ai, tunggu!" pinta Bram berusaha meraih tangan sang istri yang sudah lebih dulu masuk ke dalam ruangan dokter spesialis itu.

"Assalamualaikum, Tan!" Bramantyo yang sebenarnya masuk setelah Aisyah, nyatanya ia yang lebih dulu menyapa dokter cantik berhijab moka yang sebelumnya tengah fokus pada layar ponselnya.

"Waalaikumsalam, Bram. Ini siapa lagi? Sudah insyap kamu?" kata sang dokter yang disapa oleh Bramantyo tadi dengan sebutan tante.

"Tante, kenapa pertanyaannya horor banget sih?" kata Bramantyo tak terima.

"Lho, kok horor sih? Kalimat yang mana?"

Bramantyo hanya diam, lalu setelahnya, pria berusia 35 tahun itu pun duduk di kursi yang telah disediakan.

"Assalamualaikum, Sayang!" kata dokter Sindi menyapa Aisyah dengan begitu lemah lembut dan juga ramah.

"Waalaikumsalam, Dok, saya Aisyah Anidia ... " Ucapan Aisyah terjeda, karena,

"Dia istriku, Tan!" kata Bram memberitahu yang tentu saja membuat pipi Aisyah bersemu merah dibuatnya.

"Istri? Kapan ijabnya, kok gak ngabarin Tante?" kata dokter Sindi memandang bergantian antara Aisyah dan juga keponakannya tersebut.

"Gak penting, sekarang obatin dulu luka dan gatal di lenganku ini, Tan!"

"Mas, gak sopan ih!" kata Aisyah memprotes sikap Bram yang dianggapnya tidak sopan tesebut.

"Apa? Kamu Jangan tertipu sama Tante Sindi, dia hobby banget ngeroasting!" kata Bramantyo lagi.

Tante Sindi tersenyum melihat interaksi sepasang suami istri tesebut.

"Makan seafood lagi?" kata dokter Sindi yang seketika membuat Aisyah terlonjak dari duduknya, lalu mendongak menatap wajah tampan Bramantyo.

"Kamu alergi Seafood, Mas? Kenapa nggak bilang?" sesal Aisyah, walaupun sebenarnya perasaannya sedang kacau karena kalimat menjijikan yang diucapkan Soffi tadi, namun ia tetap mencoba untuk berdamai dengan perasaannya itu.

"Kamu yang nggak perhatian sama suami!"

Sang dokter tersenyum, lalu tampak menuliskan resep pada kertas putih di depannya. 

"Gak apa-apa, Ai, kamu gak usah panik, Tante buatkan resep obat untuk menghilangkan rasa gatal dan luka nya, ya!" kata dokter Sindi seraya menuliskan beberapa resep untuk Bramantyo.

Aisyah dan Bram pun keluar dari ruangan dokter Sindi tersebut.

"Langsung pulang atau ke mana dulu, Mas?"

Saat Bramantyo baru saja akan menjawab pertanyaan Aisyah, tiba-tiba,

"Gimana, Bram? Apa yang dokter katakan?"

Aisyah menggelengkan kepalanya, "Di mana dia letakkan rasa malunya?" ucapnya di dalam hati.

"Soff, aku harus pulang, maaf mengabaikanmu, percayalah ini hanya tentang waktu!" kata Bramantyo coba mengabaikan Soffi.

"Tapi sampai kapan, Bram? Aku gak terima kamu buat kayak gini, saat aku butuh kamu, tapi kamunya gak ada, sedangkan aku selalu ada kapanpun kamu mau. Ini gak adil, Bram!" kata Soffi masih tak terima.

"Tidak ada keadilan untuk sesuatu yang kamu dapatkan dengan cara mencuri, Nona Soffi!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 33. Kekejaman Adrian 1

    Malam kembali menyapa dengan semua misteri yang kadang tak pernah terpecahkan hingga hari berubah nama menjadi esok, kemarin bahkan esoknya lagi dan lagi. Berganti dengan kisah yang pasti berbeda. "Ai, kenapa belum tidur juga? Besok Mas harus berangkat pagi lho!" ucap Bramantyo berseloroh. Dilihatnya wajah sang istri yang selalu saja meneduhkan itu dengan penuh rasa cinta. "Nungguin kamu, Mas!" Pipi Aisyah bersemu merah saat berucap seperti itu. Dan tentu saja ada makna lain yang tersirat dalam ucapan Aisyah yang ditangkap oleh Bram. "Nungguin Mas? Emangnya apa yang ditungguin, hem?" Bramantyo mendekat, ia tanggalkan kaos oblong berwarna hitam yang dikenakannya tadi, hingga kini yang tersisa hanya selembar boxer press body berwarna hitam di tubuh atletisnya. Aisyah diam, "Aku sudah salah bicara, kan Mas Bram

  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 32. Selebar Daun Kelor

    Beberapa menit sebelumnya. Kalian tentu tahu dengan perumpamaan dunia tak selebar daun kelor, bukan? Baiklah, mari kita buktikan, apakah ungkapan itu berlaku atau mungkin sebaliknya! Seorang pria berbadan tegap dengan dada dan bahu yang bidang berjalan keluar dari kamar hotelnya. Sebuah kacamata hitam tanpak gagah bertengger di hidung bangirnya, ia singsingkan sedikit lengan jasnya untuk melihat waktu pada jarum jam di pergelangan tangannya. Drett! Langkahnya tak terburu-buru saat tiba-tiba ponselnya bergetar. "Saya akan tiba 15 menit dari sekarang!" ucapnya mengakhiri panggilan suara di ponselnya, dan kini benda pintar itu pun sudah kembali ia masukkan ke dalam saku jasnya. Pria itu pun masuk ke dalam kendaraannya, lalu sesuai dengan perkiraan, 15 menit kemudian

  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 31. Memulai hidup yang baru

    Aisyah tersenyum, sungguh suaminya benar-benar telah berubah kini, dia tidak hanya menjaga tubuh Aisyah dari segala macam marabahaya, akan tetapi menjaga hatinya juga. Menjaga hati dari retak dan luka, menjaga hati dari semua kecewa yang bisa saja kembali hadir dan singgah. Bramantyo benar-benar berubah, rasa sesalnya ia tebus dengan semua sikap dan cintanya yang tulus untuk Aisyah. "MashaAllah, Mas!" Bram tersenyum, lalu akhirnya mereka memilih menjauh, mencari desa lain untuk tempat tempat tinggal mereka. "Mas, itu desa apa? Kok serem sih?" Sebelumnya Aisyah tidak pernah menjadi pribadi yang penakut seperti ini, namun entah mengapa suasana desa di depannya itu sungguh begitu mencekam. "Mas lebih takut dengan iblis yang berwujud manusia ketimbang mereka dengan wujud sebenarnya, Ai. Karena apa? Karena melawan dan mengusir mereka tidak akan melukai perasaanmu, percaya sama Mas, ya!" ungkap Bram, ia gandeng satu tangan istrinya itu untuk kemudian ia bawa berteduh di sebuah

  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 30. Membawamu pergi

    Seberat apa pun masalahmu, ingat semua ini pasti ada akhirnya! "Silakan pergi, tapi biarkan Papa tetap di sini! Kamu bisa saja menjadikan nama besar Papa sebagai modal kehidupanmu yang gak jelas itu, tinggalkan Papa tetap di sini!" Bramantyo tak menduga jika Adrian masih memiliki belas asih kepada papanya, meskipun dengan alasan yang sungguh menyakitkan, akan tetapi, siapa yang akan mengurus ayahnya, sementara Aisyah harus ikut serta bersama dia? "Gak, aku gak mau, siapa yang akan merawat Papa?" ucap Bram keberatan. "Ada Bibi, Tuan Muda, percaya, kan sama Bibi?" Bi Onah, asisten rumah tangga di keluarga Bramantyo itu tiba-tiba muncul dari arah dapur. "Bi Onah?" Bram berkata lirih dengan secercah harapan di wajahnya. "Tolong jagain Papa ya, Bi!" Langkah kaki terasa be

  • Air Mata di Hari Persandingan   29. Prahara

    "Adrian!" ungkap Aisyah menjelaskan tentang pertanyaan suaminya itu. Lupakah dia, ataukah dia tidak menyadarinya? Bram raih satu tangan wanita itu lalu ia bawa masuk ke dalam rumah besar ayahnya ini. "Kita ke kamar Papa dan Mama!" kata Bram lagi, mereka berjalan dengan cepat menuju kamar Usman Sastro Nugroho. Dan lagi, kejanggalan demi kejanggalan yang belum Aisyah temui titik terangnya. Karena Bramantyo selalu saja mengelak meskipun sudah tertangkap basah dan ketahuan. Akan tetapi Aisyah butuh jawaban pasti dari suaminya, meskipun belum juga dia dapatkan. "Pa, Papa!" Kriek! Bram buka pintu kamar ayahnya itu dengan pelan. "Astaghfirullah, Papa!" Bramantyo pun seketika menghambur memeluk tubuh ayahnya yang terkulai tak berdaya di atas ranjang seorang diri. "Mama mana, Pa?" tanya Bram saat kedua mata ayahnya itu pun terbuka. "Emm, emm!" Hanya itulah yang kini didengar oleh Bramantyo dari bibir ayahnya. Sungguh menyedihkan, saat dulu ayahnya adalah sosok bersahaj

  • Air Mata di Hari Persandingan   Chapter 28. Di mana mereka?

    Suasana canggung pun tercipta. Tentu saja, mereka bukanlah pasangan romantis sebelum kejadian itu akhirnya membawa Bramantyo mendekam di dalam penjara, mereka bukan dua sejoli yang memang sudah mendambakan indahnya hidup berumah tangga, mereka adalah pasangan dengan segala carut-marut yang tercipta, dengan segala konflik yang pelik yang harus mereka peluk dengan penuh rasa sakit di dalam hati, namun akhirnya yang mereka rawat dengan penuh kesabaran dan juga rasa ikhlas itu pun berbuah manis, semanis kata-kata dan sikap Bramantyo kepada Aisyah. "Kamu gak suka ya kalau Mas cium-cium kayak tadi?Mas memang segaktahudiri itu, Ai, maaf, harusnya Mas tahu keburukan itu bahkan belum seujung kukupun berbanding dengan secuil ucapan cinta dan sayangku untukmu, gak!" ujar Bram. Aisyah belai pipi sang suami yang kini sudah ditumbuhi bulu-bulu halus itu, "Alhamdulillah, terima kasih atas cinta dan sayangmu untukku, Mas, maaf harus membuatmu menjalani hari-hari yang menyakitkan di dalam sa .

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status