共有

Bab 4 Deal

作者: J Shara
last update 最終更新日: 2025-10-06 10:56:20

“Maaf, aku sudah mengatakan pada nona ini kalau dokter Nathan sudah selesai dengan pasien hari ini,” ucap perawat berparas manis itu, sedikit khawatir melihat tamunya yang tampak keras kepala.

Belum sempat Ariel membalas, suara berat nan tenang terdengar dari mulut Nathan.

“Tidak apa-apa, Laura. Nona ini hanya sebentar saja,” kata dr. Nathan, langkahnya mantap dan wajahnya tetap tenang seperti biasanya.

Perawat bernama Laura menatap heran, tapi segera mengangguk hormat. “Baik, dokter.” Ia lalu meninggalkan ruangan, menutup pintu dengan lembut di belakangnya.

Ariel menelan ludah. Suara detak jantungnya seolah menggema di ruang hening itu.

“Dr. Nathan…” ucapnya pelan sambil melangkah maju. “Aku penulis… penulis yang waktu itu datang ke seminar dokter hari Sabtu lalu. Aku sempat memperkenalkan diri—”

Nathan menyandarkan punggungnya ke kursi empuk, matanya menatap lekat perempuan muda di hadapannya. “Ya, aku ingat,” katanya singkat. “penulis cerita dewasa itu, kan?”

Ariel mengangguk cepat, tersenyum lega karena dokter itu masih mengingatnya. “Iya, benar. Jadi…” suaranya sedikit bergetar, “Dokter bersedia mengajarkanku?”

Nathan menyilangkan tangannya di dada, lalu menatapnya dengan tatapan yang sukar ditebak. “Ya,” jawabnya pelan, “saya akan mengajarkanmu langsung, Nona...”

Ariel buru-buru menyahut, “Ariel. Panggil aku Ariel saja, dok!”

Nathan tersenyum tipis, hampir tak terlihat. “Baiklah, Ariel.” Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, suaranya menjadi lebih serius. “Tapi aku harus mengingatkanmu satu hal.”

Ariel menegakkan tubuh, matanya menatap lurus, menunggu.

“Kau masih seorang nona,” katanya perlahan, “dan belum pernah… melakukan hubungan intim sebelumnya, bukan?”

Ariel menunduk. Pipinya memanas. Ia hanya mampu mengangguk pelan tanpa berani menatap mata dokter itu.

Nathan menghela napas pelan. “Baik. Karena itu, aku ingin kau benar-benar paham apa yang akan kau hadapi.” Ia berputar sedikit di kursinya, menatap jendela besar di sampingnya. “Kita akan membahas hal-hal yang sangat… tabu, bahkan mungkin akan terasa tidak nyaman bagimu. Karena aku tahu,” pandangannya beralih lagi pada Ariel, “kau tidak mau sekadar teori, bukan?”

Ariel meremas tasnya kuat-kuat. “Iya, dok. Aku ingin tahu lebih dalam. Aku ingin risetku terasa nyata.”

Nathan mengangguk pelan, ekspresinya tetap netral. “Kalau begitu, aku minta satu hal darimu.”

“Apa itu?” tanya Ariel hati-hati.

“Jangan bersikap jijik,” jawab Nathan tegas. “Jangan merasa dilecehkan atau disalahartikan. Karena ini permintaanmu sendiri, dan aku hanya menuntunmu sebatas ilmiah dan profesional.”

Ariel menggigit bibir bawahnya, kemudian menatap Nathan dengan gugup. “Saya mengerti, dok,” ucapnya pelan tapi tegas.

Hening beberapa detik. Hanya suara jarum jam yang terdengar, berdetak lembut di antara ketegangan yang menggantung.

Akhirnya Nathan mengambil selembar kertas resep dari meja. Dengan gerakan tenang, ia menulis beberapa baris di sana — bukan resep obat, tapi sesuatu yang membuat Ariel menahan napas.

Selesai menulis, ia mengulurkan kertas itu. “Ini,” katanya datar, “alamat apartemenku dan nomor handphone-ku. Besok malam datanglah, kira-kira jam delapan. Aku akan ada di sana.”

Ariel menatap kertas itu seolah itu adalah tiket emas menuju dunia yang selama ini hanya ia tulis, bukan jalani. “Besok malam?” tanyanya memastikan, matanya berbinar.

“Ya,” jawab Nathan singkat. “Jangan datang terlalu awal, dan jangan terlambat.”

Ariel tersenyum lebar, tidak mampu menyembunyikan semangatnya. “Baik, dok! Aku janji tidak akan telat!” katanya dengan nada bersemangat, matanya bersinar.

Nathan hanya mengangguk kecil. “Kalau begitu, kau boleh pulang sekarang. Aku juga harus segera menyelesaikan pekerjaanku.”

“Baik, dokter. Maaf sudah mengambil waktu dokter,” ucap Ariel dengan sopan, lalu menunduk hormat. “Terima kasih banyak.”

Nathan hanya mengangkat tangannya sedikit, seolah mengisyaratkan bahwa semua sudah selesai. “Hati-hati di jalan, Ariel.”

“Terima kasih, dok,” sahut Ariel sebelum berbalik dan melangkah keluar dari ruangan.

Begitu pintu tertutup, senyum kecil muncul di wajahnya. Ia menatap lembar kertas di tangannya — tulisan tangan tegas milik dr. Nathan tampak jelas di sana:

Alamat apartemen dan nomor handphone pribadi.

Ia menggenggam kertas itu dengan hati berdebar. Di pikirannya, malam besok sudah seperti bab pertama dari kisah yang belum pernah ia tulis — kisah yang akan ia alami sendiri.

Di dalam ruangan, Nathan masih duduk diam di kursinya. Ia menatap pintu yang baru saja tertutup, lalu menatap jendela lagi, matanya menyipit sedikit.

“Penulis cerita dewasa, ya…” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar. “Kita lihat… seberapa jauh kau berani, Ariel.”

---

Pintu lift menutup di ujung lorong, meninggalkan desis pendek yang memantul di dinding marmer. Kamera CCTV berkedip pelan di sudut langit-langit, cahaya merahnya seperti bintik mata yang tak pernah berkedip. Di depan unit 23-B, seorang gadis muda meringkuk, dagu tenggelam di antara lutut, jaket kremnya kusut oleh dingin AC koridor.

“Ariel?” suara bariton itu datar namun jernih.

Gadis itu mengangkat wajah. Mata beningnya sempat kosong, lalu cepat-cepat hidup. “Dr. Nathan… Dokter sudah datang?”

Nathan Xander—rambutnya rapi, kemeja gelap tanpa kerut—memasang wajah datar di sana. “Sudah kubilang, jangan terlalu cepat datang.”

Ariel terkekeh kecil, gugup. “Aku takut telat, Dokter. Jadi sekalian datang cepat, biar dokter tidak menunggu.”

“Dan akhirnya kamu yang menunggu di lantai dingin,” gumam Nathan. “Ayo bangun.”

Ia menempelkan jari ke panel digital—beep—angka hijau menyala, kunci magnetis berbunyi patah. Pintu berputar halus. Aroma kayu cedar dan kopi dingin menyambut mereka.

“Masuk,” kata Nathan.

Ariel melangkah ragu. Ruang tamu terbuka dengan sofa abu-abu yang empuk, rak buku memanjang berisi jurnal kedokteran, lampu lantai yang hangat. Sebuah piano digital diam di sudut, dan tirai krem membingkai jendela lebar kota yang berkelip.

“Duduk.” Nathan berjalan ke dapur mini, mengambil dua botol air mineral dari kulkas, lalu meletakkan satu di meja kaca. Thunk.

Ariel tersentak kecil. “Oh—terima kasih.”

“Minumlah. Pastikan kamu tetap fokus saat melakukan riset.”

Ariel membuka tutup botol, meneguk seperti orang yang baru selesai lari maraton. “Segar,” ucapnya, memelintir tutup lagi, menyadari tangannya sedikit gemetar.

Nathan duduk di seberang, sementara Ariel mengeluarkan tablet, buku catatan, dan pena.

“Baiklah, Ariel.”

“Ya?” Ia mengangkat wajah, menunggu.

“Kita mulai membahasnya. Sebelum praktik apa pun, kamu harus memahami teori.”

“Teori? Seperti di seminar itu?”

“Sebagian. Tapi aku hanya akan ambil poin penting.” Nathan mencondongkan tubuh, menatapnya dengan tatapan yang tegas—bukan menghakimi, tapi mengukur. “Dan satu hal: di sini, kamu bukan pasien. Kamu penulis yang melakukan riset. Aturannya berbeda.”

Ariel mengangguk semangat. “Siap.”

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Ajari Aku Bercinta, Dokter Nate!    Bab 8 Seminar Keintiman

    Ariel menatap layar laptopnya dengan tatapan kosong. Cahaya putih dari monitor memantul di wajahnya, menyoroti ekspresi serius namun lelah. Jari-jarinya menari di atas keyboard, mengetik cepat beberapa kalimat untuk outline novel barunya.Ia berhenti mengetik, menatap kalimat itu dengan pandangan kosong. Kursor di layar berkedip-kedip seperti mengejek kebuntuannya.“Hhh… apalagi ya?” gumam Ariel pelan, menopang dagunya dengan tangan kiri.Di mejanya, segelas kopi sudah dingin. Di layar lain, notifikasi media sosial muncul—Cindy, rival sesama penulisnya, baru saja mengunggah postingan: ‘Launching my new book! Thank you for everyone’s support’Ariel menatap postingan itu dengan senyum miris.“Cindy meluncurkan buku barunya dan langsung booming… sementara aku di sini, masih memikirkan outline dan—” ia menatap layar laptopnya sejenak, lalu mendesah, “—dan pelajaran dari dr. Nathan…”Tiba-tiba, ting!Suara notifikasi dari ponselnya membuat Ariel tersentak. Ia meraih ponselnya yang tergelet

  • Ajari Aku Bercinta, Dokter Nate!    Bab 7 Sarung Penyelamat

    Ariel mengangguk gugup sebelum bersuara. “Lalu... apa hubungannya, Dok?”Tatapan Nathan yang tajam namun bukan menakutkan ─ lebih seperti seseorang yang menilai kesiapan lawan bicaranya. “Kau tahu gunanya kondom?” Nathan malah bertanya balik.Ariel mengangkat wajahnya perlahan, sedikit terkejut oleh pertanyaan yang tiba-tiba itu. Ia mengangguk, tapi nada suaranya ragu. “Ya... biar nggak hamil.”Nathan menatapnya tanpa ekspresi selama beberapa detik. “Apalagi?”Ariel menggigit bibirnya. “Hmm... apa ya...” ia menatap ke bawah, menatap ujung jarinya sendiri. “Kayaknya cuma itu deh.”Nathan menghela napas pendek, lalu tersenyum kecil. “Itu memang fungsi utamanya yang paling banyak dikenal. Tapi bukan satu-satunya.”Nathan merebut pulpen milik Ariel dan menarik buku catatan gadis itu, memulai menggambar garis sederhana di depan Ariel. “Kondom juga berfungsi sebagai pelindung dari penyakit menular sex seperti HIV, sifilis, gonore, klamidia... dan banyak lagi.”Ariel menatap serius. “Jadi, b

  • Ajari Aku Bercinta, Dokter Nate!    Bab 6 Safety

    “Ariel.. kau tahu, kemarin Cindy launching lagi buku terbarunya.”Ariel menahan sendok sereal di udara. “Cindy?” alisnya terangkat. “Launching buku baru lagi? Bukannya bulan lalu dia baru launching? Kok—kok sudah launching lagi?”Silvi memasang wajah takjub sembari mengusap cover buku yang ia pegang seperti mengelus kucing. “Ya, dan kau tahu, Riel… penjualannya langsung membludak dan—”“—dan kamu udah beli,” sela Ariel setengah manyun.Silvi tertawa kecil sambil memutar bola mata. “Aku membelinya dan memang ceritanya sangat bagus dan bikin penasaran tiap babnya. Lihat deh.” Ia mengayun-ayunkan buku itu seperti piala.Ariel memerhatikan judul di sampul dengan raut cemberut. Dadanya menghangat oleh sesuatu yang bukan kopi. “Cindy… penulis seangkatanku… editor George juga… kok bisa secepat itu?” gumamnya, lebih kepada diri sendiri.Silvi menyandarkan punggung ke sandaran ranjang. “Kayak gimana sih ceritanya? Penasaran nggak? Eh.. siapa tau kalau kau baca bisa membantu jadi referensimu, R

  • Ajari Aku Bercinta, Dokter Nate!    Bab 5 Pengetahuan

    “Jadi.. apa yang harus aku ketahui sebelum aku menulis adegan intim, dok?” Ariel begitu penasaran, tangannya yang memegang pulpen siap menulis di buku catatan yang sudah ia siapkan sendiri. “Pertanyaan yang bagus dan terlalu to the point...” kata Nathan dengan alis terangkat. “Untuk menulis adegan intim agar pembacamu bisa larut dalam tulianmu, tentu yang pertama kau harus tahu rasanya berhubungan intim, Ariel,” tambahnya dengan raut wajah serius. “Aku siap, Dok!” koar Ariel begitu semangat. Nathan mengangguk-ngangguk kecil. “Tapi... sebelum kamu mengenai praktik bercinta lebih lanjut, kau harus tahu urutan yang mesti kau pelajari.” “Apa saja itu, dok?” Ariel bertanya antusias. “Yang pertama pengetahuan, kedua keamanan, ketiga komunikasi, keempat kesiapan emosional, kelima foreplay, dan yang terakhir...” Nathan mendekatkan wajahnya ke Ariel hingga gadis itu menarik punggungnya, wajah Nathan begitu serius menatap mata Ariel. “Intercourse itu sendiri,” tambah Nathan. Ar

  • Ajari Aku Bercinta, Dokter Nate!    Bab 4 Deal

    “Maaf, aku sudah mengatakan pada nona ini kalau dokter Nathan sudah selesai dengan pasien hari ini,” ucap perawat berparas manis itu, sedikit khawatir melihat tamunya yang tampak keras kepala. Belum sempat Ariel membalas, suara berat nan tenang terdengar dari mulut Nathan. “Tidak apa-apa, Laura. Nona ini hanya sebentar saja,” kata dr. Nathan, langkahnya mantap dan wajahnya tetap tenang seperti biasanya. Perawat bernama Laura menatap heran, tapi segera mengangguk hormat. “Baik, dokter.” Ia lalu meninggalkan ruangan, menutup pintu dengan lembut di belakangnya. Ariel menelan ludah. Suara detak jantungnya seolah menggema di ruang hening itu. “Dr. Nathan…” ucapnya pelan sambil melangkah maju. “Aku penulis… penulis yang waktu itu datang ke seminar dokter hari Sabtu lalu. Aku sempat memperkenalkan diri—” Nathan menyandarkan punggungnya ke kursi empuk, matanya menatap lekat perempuan muda di hadapannya. “Ya, aku ingat,” katanya singkat. “penulis cerita dewasa itu, kan?” Ariel

  • Ajari Aku Bercinta, Dokter Nate!    Bab 3 Pertemuan Tanpa Janji

    Ariel masih berdiri terpaku di ujung lorong hotel, napasnya belum juga tenang meski punggung dokter itu telah lama menghilang dari pandangan. Jantungnya berdetak keras, tidak hanya karena malu atau panik—tapi karena sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Ada sesuatu di mata Nathan tadi, sesuatu yang membuatnya yakin kalau pria itu tidak sepenuhnya menolak dirinya. Ia mengusap bibirnya pelan. “Aku gila,” gumamnya dengan suara bergetar. Tapi senyum kecil justru muncul di wajahnya. “Setidaknya… dia tidak akan lupa padaku.” Langkah-langkah cepat terdengar mendekat. Ariel buru-buru menegakkan tubuh, bersiap kalau-kalau Nathan kembali untuk menegurnya lagi. Tapi ternyata yang muncul adalah pria berkacamata dengan wajah ramah—orang yang tadi ia lihat berdiri di dekat dokter Nathan saat seminar berlangsung. “Permisi, Nona Penulis, benar?” tanya pria itu sopan. Ariel mengangguk bingung. “Iya, saya memang seorang penulis. Ada apa, Pak?” Pria itu tersenyum kecil, lalu mengeluarkan sesuat

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status