ホーム / Romansa / Ajari Aku Bercinta, Dokter Nate! / Bab 3 Pertemuan Tanpa Janji

共有

Bab 3 Pertemuan Tanpa Janji

作者: J Shara
last update 最終更新日: 2025-10-05 22:52:17

Ariel masih berdiri terpaku di ujung lorong hotel, napasnya belum juga tenang meski punggung dokter itu telah lama menghilang dari pandangan. Jantungnya berdetak keras, tidak hanya karena malu atau panik—tapi karena sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Ada sesuatu di mata Nathan tadi, sesuatu yang membuatnya yakin kalau pria itu tidak sepenuhnya menolak dirinya.

Ia mengusap bibirnya pelan. “Aku gila,” gumamnya dengan suara bergetar. Tapi senyum kecil justru muncul di wajahnya. “Setidaknya… dia tidak akan lupa padaku.”

Langkah-langkah cepat terdengar mendekat. Ariel buru-buru menegakkan tubuh, bersiap kalau-kalau Nathan kembali untuk menegurnya lagi. Tapi ternyata yang muncul adalah pria berkacamata dengan wajah ramah—orang yang tadi ia lihat berdiri di dekat dokter Nathan saat seminar berlangsung.

“Permisi, Nona Penulis, benar?” tanya pria itu sopan.

Ariel mengangguk bingung. “Iya, saya memang seorang penulis. Ada apa, Pak?”

Pria itu tersenyum kecil, lalu mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya—secarik kartu nama berwarna putih elegan, dengan tulisan: “Dr. Nathan Xander, Sp. And — Ruang Reproductive & Intimacy Therapy.”

“Dokter Nathan meminta saya menyerahkan ini pada Anda,” ucap pria itu ringan. “Katanya, kalau Anda memang serius dengan riset Anda, Anda bisa datang ke tempat prakteknya.”

Ariel terpaku. Ia memandangi kartu nama itu dengan mata melebar, seolah tak percaya.

“B-Benarkah dokter Nathan yang suruh?”

Pria itu—Gerry—mengangguk dengan senyum penuh arti. “Betul, Nona. Tapi... sebaiknya Anda berhati-hati. Dokter Nathan bukan orang yang mudah didekati, apalagi... dengan cara paksa.”

Pipi Ariel langsung memanas. “Ba-baiklah.”

Gerry tertawa kecil lalu ia menepuk bahunya dengan lembut. “Kadang keberanian gila justru membuka pintu yang tak terduga.”

Ariel masih terpaku di tempat, menatap kartu itu seolah sedang memegang tiket menuju dunia lain.

“Terima kasih, Pak...” ucapnya akhirnya, suaranya bergetar.

Begitu Gerry berlalu, Ariel berdiri di sana beberapa detik sebelum akhirnya menunduk, menatap kartu nama itu sekali lagi. Senyumnya muncul pelan—senyum yang tulus, penuh rasa puas dan harapan baru.

“Dia memberiku kesempatan,” bisiknya lirih. “Berarti dia tidak benar-benar menolak aku.”

Dengan langkah ringan, Ariel berjalan keluar dari hotel menuju halte terdekat. Langit malam tanpa bintang dan angin mengibaskan ujung rambutnya.

Sepanjang perjalanan pulang, pikirannya terus melayang pada wajah Nathan—tatapan dinginnya, nada tegasnya, dan... sentuhan singkat bibir mereka.

Setiap kali mengingatnya, tubuhnya bereaksi tanpa bisa ia cegah. Jantungnya kembali berpacu. Tapi di balik itu semua, ada semacam kepuasan aneh—karena ia tahu, Nathan pasti juga mengingatnya.

Begitu sampai di apartemennya, Ariel langsung melempar tas ke sofa, lalu menatap kartu nama itu lagi di bawah cahaya lampu. Ia menyentuh tulisan nama Nathan dengan ujung jarinya, seolah sedang membelai sesuatu yang berharga.

“Dr. Nathan Xander...” gumamnya pelan. “Kau pikir aku akan berhenti begitu saja?”

Ia tersenyum samar, menaruh kartu itu di atas meja kerja, lalu duduk di depan laptopnya. Di layar, dokumen naskah barunya terbuka—judulnya: “Teach Me How, Doctor!”

Tangannya mulai menari di atas keyboard, menuliskan kalimat pembuka dengan semangat baru. Tapi kali ini, bukan hanya fiksi—melainkan riset yang akan ia jalani sendiri.

Sementara di sisi lain kota, Nathan berdiri di depan jendela ruang kerjanya, menatap langit malam dengan ekspresi sulit dibaca.

Di tangannya, segelas wine bergetar halus. Ia menarik napas panjang, namun dalam benaknya, wajah dan keberanian nona penulis dewasa itu masih membayang jelas.

“Sial,” desisnya pelan. “Kenapa aku bahkan mengingat bibir itu?”

Tapi senyum samar justru muncul di ujung bibirnya.

Mungkin, hanya sedikit... ia memang ingin gadis itu datang padanya lagi.

---

Suasana rumah sakit besar itu begitu sibuk sejak pagi. Lantai dua, tempat praktik dokter spesialis, dipenuhi pasien yang duduk berderet menunggu giliran. Bau antiseptik menyengat, suara sepatu dokter berlalu-lalang, dan bunyi pintu ruang konsultasi yang terus terbuka-tutup terdengar nyaris tanpa henti.

Ariel berdiri di depan meja resepsionis, memeluk tasnya erat, berusaha menahan rasa gugup yang sedari tadi menggerogoti dada.

“Maaf, apakah Anda pasien yang sudah bikin janji?” tanya seorang perawat muda berparas cantik di balik meja. Senyumnya profesional, tapi tatapan matanya datar—terlatih menghadapi berbagai jenis pasien.

Ariel menggeleng cepat. “Belum. Aku... aku disuruh dr. Nathan untuk menemuinya di tempat kerjanya.”

Perawat itu menaikkan alis sedikit. “Oh, kalau begitu, maaf, Anda harus menunggu. Jadwal dokter Nathan hari ini penuh sekali. Beliau tidak menerima tamu di luar daftar pasien.”

Ariel menelan ludah. “Baiklah, saya akan menunggunya.”

“Baik, silakan duduk,” jawab sang perawat singkat, lalu kembali menatap layar komputernya.

Ariel melangkah ke kursi tunggu, mengambil tempat paling ujung. Jam di dinding menunjukkan pukul 10.15 pagi. Ia menarik napas panjang, mencoba bersabar, meski dalam hati, bayangan wajah dingin dokter itu terus muncul—tatapan tajamnya, nada suaranya yang datar namun tegas, dan... bibirnya yang pernah disentuhnya.

Hampir tiga jam berlalu. Pasien keluar masuk tanpa henti, sementara Ariel hanya duduk di sana, tangan menggenggam kartu nama yang kini sudah lecek karena terlalu sering ia remas.

“Masih menunggu, Nona?” suara perawat tadi membuat Ariel tersentak.

“Iya,” jawabnya lirih. “Aku akan menunggunya sampai selesai.”

Perawat itu hanya mengangguk pelan, tampak tak begitu peduli.

Siang beranjak menjadi sore. Ariel sudah kehabisan tenaga, bahkan belum sempat makan. Tubuhnya mulai lemas, tapi matanya tetap tak lepas dari pintu ruang praktik bernama Dr. Nathan Xander, Sp.And.

Hingga akhirnya, sekitar pukul lima sore, pasien terakhir masuk ke ruangan itu.

Ariel menghela napas dalam, menegakkan tubuhnya, berusaha melawan kantuk dan lapar.

“Sedikit lagi,” gumamnya. “Aku harus menemuinya.”

Tak lama, pasien terakhir keluar, tersenyum puas sambil membawa resep. Begitu pintu tertutup kembali, Ariel langsung bangkit dan mendekati meja perawat.

“Maaf, Suster,” katanya cepat. “Aku mau ketemu dr. Nathan sekarang.”

Perawat itu mendongak, tampak terkejut. “Maaf, Nona, tapi sekarang sudah lewat jam praktik. Dokter Nathan sebentar lagi pulang.”

“Tapi aku sudah menunggunya sejak pagi!” protes Ariel, nada suaranya meninggi.

“Saya mengerti,” jawab sang perawat tenang, “tapi sebaiknya Anda buat janji dulu saja. Dokter Nathan memang sangat sibuk, apalagi ini hari Senin.”

Namun Ariel tak lagi bisa menahan diri. Ia tahu kalau ia pulang tanpa bertemu, kesempatan itu mungkin tak akan datang lagi.

Sebelum perawat sempat menahannya, Ariel melangkah cepat melewati meja, menepis panggilan “Nona! Nona, tidak boleh masuk!” dan berlari menuju pintu ruang praktik.

Tangannya langsung membuka gagang pintu itu dengan hentakan keras.

Brak!

Suara pintu terbuka mengejutkan Nathan yang sedang membereskan tas kerja di atas meja. Ia menoleh cepat, matanya membulat.

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Ajari Aku Bercinta, Dokter Nate!    Bab 8 Seminar Keintiman

    Ariel menatap layar laptopnya dengan tatapan kosong. Cahaya putih dari monitor memantul di wajahnya, menyoroti ekspresi serius namun lelah. Jari-jarinya menari di atas keyboard, mengetik cepat beberapa kalimat untuk outline novel barunya.Ia berhenti mengetik, menatap kalimat itu dengan pandangan kosong. Kursor di layar berkedip-kedip seperti mengejek kebuntuannya.“Hhh… apalagi ya?” gumam Ariel pelan, menopang dagunya dengan tangan kiri.Di mejanya, segelas kopi sudah dingin. Di layar lain, notifikasi media sosial muncul—Cindy, rival sesama penulisnya, baru saja mengunggah postingan: ‘Launching my new book! Thank you for everyone’s support’Ariel menatap postingan itu dengan senyum miris.“Cindy meluncurkan buku barunya dan langsung booming… sementara aku di sini, masih memikirkan outline dan—” ia menatap layar laptopnya sejenak, lalu mendesah, “—dan pelajaran dari dr. Nathan…”Tiba-tiba, ting!Suara notifikasi dari ponselnya membuat Ariel tersentak. Ia meraih ponselnya yang tergelet

  • Ajari Aku Bercinta, Dokter Nate!    Bab 7 Sarung Penyelamat

    Ariel mengangguk gugup sebelum bersuara. “Lalu... apa hubungannya, Dok?”Tatapan Nathan yang tajam namun bukan menakutkan ─ lebih seperti seseorang yang menilai kesiapan lawan bicaranya. “Kau tahu gunanya kondom?” Nathan malah bertanya balik.Ariel mengangkat wajahnya perlahan, sedikit terkejut oleh pertanyaan yang tiba-tiba itu. Ia mengangguk, tapi nada suaranya ragu. “Ya... biar nggak hamil.”Nathan menatapnya tanpa ekspresi selama beberapa detik. “Apalagi?”Ariel menggigit bibirnya. “Hmm... apa ya...” ia menatap ke bawah, menatap ujung jarinya sendiri. “Kayaknya cuma itu deh.”Nathan menghela napas pendek, lalu tersenyum kecil. “Itu memang fungsi utamanya yang paling banyak dikenal. Tapi bukan satu-satunya.”Nathan merebut pulpen milik Ariel dan menarik buku catatan gadis itu, memulai menggambar garis sederhana di depan Ariel. “Kondom juga berfungsi sebagai pelindung dari penyakit menular sex seperti HIV, sifilis, gonore, klamidia... dan banyak lagi.”Ariel menatap serius. “Jadi, b

  • Ajari Aku Bercinta, Dokter Nate!    Bab 6 Safety

    “Ariel.. kau tahu, kemarin Cindy launching lagi buku terbarunya.”Ariel menahan sendok sereal di udara. “Cindy?” alisnya terangkat. “Launching buku baru lagi? Bukannya bulan lalu dia baru launching? Kok—kok sudah launching lagi?”Silvi memasang wajah takjub sembari mengusap cover buku yang ia pegang seperti mengelus kucing. “Ya, dan kau tahu, Riel… penjualannya langsung membludak dan—”“—dan kamu udah beli,” sela Ariel setengah manyun.Silvi tertawa kecil sambil memutar bola mata. “Aku membelinya dan memang ceritanya sangat bagus dan bikin penasaran tiap babnya. Lihat deh.” Ia mengayun-ayunkan buku itu seperti piala.Ariel memerhatikan judul di sampul dengan raut cemberut. Dadanya menghangat oleh sesuatu yang bukan kopi. “Cindy… penulis seangkatanku… editor George juga… kok bisa secepat itu?” gumamnya, lebih kepada diri sendiri.Silvi menyandarkan punggung ke sandaran ranjang. “Kayak gimana sih ceritanya? Penasaran nggak? Eh.. siapa tau kalau kau baca bisa membantu jadi referensimu, R

  • Ajari Aku Bercinta, Dokter Nate!    Bab 5 Pengetahuan

    “Jadi.. apa yang harus aku ketahui sebelum aku menulis adegan intim, dok?” Ariel begitu penasaran, tangannya yang memegang pulpen siap menulis di buku catatan yang sudah ia siapkan sendiri. “Pertanyaan yang bagus dan terlalu to the point...” kata Nathan dengan alis terangkat. “Untuk menulis adegan intim agar pembacamu bisa larut dalam tulianmu, tentu yang pertama kau harus tahu rasanya berhubungan intim, Ariel,” tambahnya dengan raut wajah serius. “Aku siap, Dok!” koar Ariel begitu semangat. Nathan mengangguk-ngangguk kecil. “Tapi... sebelum kamu mengenai praktik bercinta lebih lanjut, kau harus tahu urutan yang mesti kau pelajari.” “Apa saja itu, dok?” Ariel bertanya antusias. “Yang pertama pengetahuan, kedua keamanan, ketiga komunikasi, keempat kesiapan emosional, kelima foreplay, dan yang terakhir...” Nathan mendekatkan wajahnya ke Ariel hingga gadis itu menarik punggungnya, wajah Nathan begitu serius menatap mata Ariel. “Intercourse itu sendiri,” tambah Nathan. Ar

  • Ajari Aku Bercinta, Dokter Nate!    Bab 4 Deal

    “Maaf, aku sudah mengatakan pada nona ini kalau dokter Nathan sudah selesai dengan pasien hari ini,” ucap perawat berparas manis itu, sedikit khawatir melihat tamunya yang tampak keras kepala. Belum sempat Ariel membalas, suara berat nan tenang terdengar dari mulut Nathan. “Tidak apa-apa, Laura. Nona ini hanya sebentar saja,” kata dr. Nathan, langkahnya mantap dan wajahnya tetap tenang seperti biasanya. Perawat bernama Laura menatap heran, tapi segera mengangguk hormat. “Baik, dokter.” Ia lalu meninggalkan ruangan, menutup pintu dengan lembut di belakangnya. Ariel menelan ludah. Suara detak jantungnya seolah menggema di ruang hening itu. “Dr. Nathan…” ucapnya pelan sambil melangkah maju. “Aku penulis… penulis yang waktu itu datang ke seminar dokter hari Sabtu lalu. Aku sempat memperkenalkan diri—” Nathan menyandarkan punggungnya ke kursi empuk, matanya menatap lekat perempuan muda di hadapannya. “Ya, aku ingat,” katanya singkat. “penulis cerita dewasa itu, kan?” Ariel

  • Ajari Aku Bercinta, Dokter Nate!    Bab 3 Pertemuan Tanpa Janji

    Ariel masih berdiri terpaku di ujung lorong hotel, napasnya belum juga tenang meski punggung dokter itu telah lama menghilang dari pandangan. Jantungnya berdetak keras, tidak hanya karena malu atau panik—tapi karena sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Ada sesuatu di mata Nathan tadi, sesuatu yang membuatnya yakin kalau pria itu tidak sepenuhnya menolak dirinya. Ia mengusap bibirnya pelan. “Aku gila,” gumamnya dengan suara bergetar. Tapi senyum kecil justru muncul di wajahnya. “Setidaknya… dia tidak akan lupa padaku.” Langkah-langkah cepat terdengar mendekat. Ariel buru-buru menegakkan tubuh, bersiap kalau-kalau Nathan kembali untuk menegurnya lagi. Tapi ternyata yang muncul adalah pria berkacamata dengan wajah ramah—orang yang tadi ia lihat berdiri di dekat dokter Nathan saat seminar berlangsung. “Permisi, Nona Penulis, benar?” tanya pria itu sopan. Ariel mengangguk bingung. “Iya, saya memang seorang penulis. Ada apa, Pak?” Pria itu tersenyum kecil, lalu mengeluarkan sesuat

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status