MasukKaki Ariel menggantung santai, dressnya tersingkap memperlihatkan paha mulusnya yang putih. Nathan berdiri di antara kakinya, tangannya memegang pinggul Ariel erat, menariknya lebih dekat hingga pinggul mereka hampir bersentuhan. Mata mereka bertemu, penuh api yang membara pelan. Nathan condongkan wajahnya, bibirnya menyentuh bibir Ariel dengan lembut, seperti belaian angin musim semi. Ciuman itu dimulai lambat, penuh kelembutan—bibir mereka saling menggesek ringan, lidah Nathan menyapa ujung bibir bawah Ariel, mengundang. Ariel membalas dengan antusias, tangannya melingkar di leher Nathan, menariknya lebih dalam. Ciuman mereka semakin dalam, lidah saling menari dalam ritme romantis, napas mereka bercampur menjadi satu. Tangan Nathan mulai bergerak eksploratif, naik perlahan menyusuri sisi tubuh Ariel. Jari-jarinya menyusup ke balik dress selutut itu, membelai kulit perutnya yang halus, lalu naik ke payudara yang montok. Ia meremas lembut, ibu jarinya mengelus puting Ariel ya
Sendok di tangannya berhenti bergerak. Ia menutup mata sejenak, berusaha menahan respon tubuhnya. Tidak… ini terlalu pagi untuk hal semacam ini. “Ariel…” panggil Nathan pelan, hampir seperti rintihan. Ariel langsung menoleh cepat. “Ya, dok?” tanyanya dengan tatapan polos. “Bisakah kau pindah membersihkan ruang tamuku dulu?” Ariel sempat memiringkan kepala, bingung. “Ruang tamu? Eee… oh!” Ia kemudian tersenyum dan mengangguk. “Siap, dok!” Ia pun segera berjalan ke ruang tamu. Nathan menghembuskan napas panjang, sangat lega. “Terima kasih…” gumamnya pada udara, lalu melanjutkan sarapan. Beberapa menit kemudian, Nathan berdiri dan menuju ruang tamu setelah menyelesaikan makan. Tapi begitu ia tiba di sana— Ariel lagi-lagi sedang membungkuk, mengelap permukaan sofa dengan penuh semangat. Dan posisi itu… sama saja membuat Nathan ingin menutupi wajahnya. “Tahan, Nathan… ini masih terlalu pagi…” batinnya putus asa. Ia memalingkan wajah, berjalan cepat melewati Ariel
Ruang tamu apartemen Nathan terasa hening malam itu. Lampu kuning redup menerangi ruangan dengan cahaya lembut. Nathan dan Ariel duduk berhadapan di sofa—posisi yang seolah menempatkan mereka dalam dua dunia berbeda, tapi cukup dekat untuk membuat jantung Ariel berdegup tidak wajar. Nathan menautkan jemarinya di atas pangkuan. Tatapannya fokus pada Ariel yang tampak gugup, memegangi tali tasnya berulang kali. “Lalu… bagaimana dengan karir menulismu?” tanya Nathan akhirnya, suaranya tenang namun mengandung ketertarikan. Ariel tertegun sejenak, lalu tersenyum kaku. “Aku masih menulis, dok,” jawabnya hati-hati. “Tapi… menjadi ART hanya sambilan saja, dok. Aku butuh uang tambahan.” Nada sedikit lirih itu membuat Nathan mengangguk kecil. Wajahnya tetap datar, namun matanya menunjukkan bahwa ia mempertimbangkan kata-kata Ariel dengan serius. “Kebetulan kau sudah sering ke sini…” Nathan menyandarkan tubuhnya ke sofa, suaranya rendah. “Dan aku cukup mengenalmu…” Ariel mengangkat
Ariel berdiri mematung di depan meja kerja Pak George. Di tangannya, selembar kontrak dengan lambang perusahaan majalah Gentleman itu masih terpegang kaku. Matanya terpaku pada kolom angka yang tercetak tebal di bagian bawah. Nominal gaji itu seperti menertawai hidupnya. Tangannya terangkat, siap menandatangani, tapi berhenti di tengah udara—menggantung begitu saja. “Kenapa, Ariel?” tanya Pak George lembut namun penasaran. Ariel mendongak pelan. Bibirnya terangkat membentuk senyum kecut, seperti senyum yang dipaksa hidupnya sendiri. “Pak… apa nominalnya cuma segini ya?” tanyanya hati-hati. Pak George mengangguk tanpa menutupi fakta itu. “Ya. Nominalnya memang segitu. Tapi kamu juga akan mendapatkan profit kalau tulisanmu banyak pembacanya. Bonusnya bisa lumayan, lho.” Ariel terdiam. Kata “profit” itu menghantamnya, tapi bukan dalam arti positif. Profit dari mana, kalau cerbungku aja goyang terus dan aku harus cari bahan setiap malam? Aduh… hidup… hidup… batinnya leti
Nathan mendorong kepala Ariel pelan, miliknya keluar dari mulutku dengan suara 'pop' basah. Dia angkat pinggul wanita itu, menarik celana dalamnya sepenuhnya, dan membaringkan wanita itu di kursi belakang yang sempit. Kaki Ariel terbuka lebar, miliknya terpampang tepat di depan Nathan—bibir bawah itu merah bengkak, klitorisnya menonjol seperti mutiara kecil yang basah kuyup. Nathan menunduk, napas panasnya menyentuh paha mulus Ariel. "Aku mau menjilatmu sampai kau menjerit." Lidahnya langsung menyerang, menjilat klitoris itu dari bawah ke atas dengan gerakan datar panjang. "Ahhh! Dokter!" Ariel menjerit, tangannya mencengkeram rambut Nathan. Lidah Nathan kini berputar-putar di sekitar klitorisnya, menghisapnya seperti sedang menyedot permen. Dia masukkan satu jari ke dalam liang itu, mengaduk-aduk dinding dalamnya sambil lidahnya terus menyerbu klitorisnya. Rasa itu gila—basah, panas, licin. Dia tambah jari kedua, pompa masuk-keluar cepat, sambil gigit ringan klitori
Malam itu, ternyata hujan deras mengguyur kota, membuat jalanan licin dan sepi. Mobil Nathan terparkir di pinggir apartemen kecil nan sepi, jauh dari lampu jalan yang redup. Ciuman lembut, seperti hembusan angin yang lembut. Tangan Nathan kini memegang pipi Ariel dengan lembut, jari-jarinya menyusuri garis rahang wanita itu, membuatnya merinding. "Ariel," bisiknya di sela ciuman, suaranya dalam dan hangat, "kau manis sekali malam ini." Ariel terkejut sesaat lalu tersenyum di balik bibirnya, membalas ciumannya dengan lebih dalam. Lidahnya menyentuh lidah Nathan pelan, menari-nari seperti dua kekasih yang baru bertemu setelah lama terpisah. Mobil terasa lebih sempit sekarang, kursi belakang yang mereka pilih sengaja untuk praktek malam ini mulai terasa panas. Nafas Ariel mulai memburu, dada naik-turun cepat. Ciuman yang tadinya lembut itu berubah. Bibir sang dokter menekan lebih keras, gigitan ringan di bibir bawahnya membuatnya mengerang pelan. "Oh, dokter...," desah Ariel, tang







