Share

Bukan Siapa-Siapa

Zahra menoleh ke arah Marc. Sungguh jangan pernah bertanya bagaimana perasaan lelaki itu? Jantungnya sudah bergejolak bagai debur samudra yang ada di depannya saat ini. Kerudung Zahra yang melambai seakan menantangnya untuk melindungi wanita itu. Mata hitamnya membuat Marc tidak bisa berkutik.

“Tidak apa-apa. Kami sudah bercerai tiga tahun lalu. Sejak perpisahan itu, kami bahkan tidak pernah bertutur sapa lagi. Baru tadi dia menyapaku.” Zahra kembali fokus ke depan. Melihat samudra yang biru dan bergelombang di tepi. Terdapat banyak orang bermain di sana. Namun terasa sangat sepi bagi Zahra. Hidupnya hanya tertuju pada Jelita putri kecilnya. Bukan tidak ada yang ingin membangun mahligai bersamanya. Namun semuanya tidak ditanggapi. Ketakutan Zahra paling besar adalah jika suami barunya tersebut tidak dapat konsisten menyayangi putrinya.

“Separah itu? Kau mengatakan bahwa kalian sudah memiliki anak, apakah dia tidak merindukan anak tersebut?” Marc lebih jauh menanyakannya. Mungkin lelaki itu sudah lancang. Namun anehnya Zahra tidak keberatan dengan hal itu. Dia malah dengan lancar membagikan kisah lukanya. Ini berbeda, dengan Zahra biasanya. Wanita itu cenderung tertutup dengan orang lain. Tapi kenapa tidak dengan Marc. Pria asing yang baru dikenalnya.

“Iya, kami berpisah juga karena putri kami. Jelita nama putriku. Dia berbeda dengan anak lain. Anakku bisu. Raehan malu mengakuinya. Kami memilih berpisah daripada bertengkar terus.” Marc membeo. Dia semakin ingin dekat dengan wanita itu. Air laut mulai terlihat menguning. Marc ingat bahwa Zahra mengatakan dirinya akan makan ketika senja itu tiba. Sekarang adalah waktunya demikian pikir Marc.

“Zahra, kau bilang senja baru akan makan. Apakah sekarang waktunya?” Zahra melihat jam yang melingkar di tangannya. Marc benar. Namun dia belum mendengar suara azan berkumandang. Walau sebagian besar penduduk beragama Hindu, tepi mereka toleransinya tinggi. Marc mengajak Zahra beranjak. Lelaki itu menangkap tubuh Zahra ketika hampir saja wanita itu tercebur ke laut karena terpeleset. Jantung mereka saling berdebar saat dalam posisi seperti itu. Sungguh ini pengalaman pertama Marc merasa jantungnya lompat-lompat tanpa henti saat dekat dengan wanita. Apalagi pertemuan matanya dengan iris mata sayu milik Zahra. Rasanya momen ini ingin dia bekukan hingga wanita itu tidak akan lepas dari pelukannya.

“Terima kasih.” Zahra cepat-cepat menyadari bahwa posisinya ini tidak dibenarkan. Sebab Marc bukanlah orang yang tepat untuk menyentuh tubuhnya.

“Maaf, aku hanya takut kamu jatuh ke laut. Sekali lagi aku minta maaf. Bukan bermaksud kurang ajar.” Marc gugup.

“Tidak apa-apa, aku mengerti. Terima kasih untuk bantuannya. Aku harus menghubungi keluargaku. Sepertinya tidak bisa buka dengan mama dan anakku.” Zahra tersenyum canggung. Marc mengangguk saja. Zahra membuka tas kecilnya kemudian mengambil benda pipih itu. Wanita itu menghubungi sang ibu.

“Assalamualaikum, Ma. Zahra tidak bisa buka di rumah.” Mama Zahra di seberang terdengar memaklumi Zahra yang sedang bekerja. Zahra kembali memasukkan ponselnya setelah mengucapkan salam. Marc hanya memperhatikan saja wanita nusantara itu bicara dengan keluarganya.

“Kita makan di kafe itu?” Marc menunjukan ke arah kafe yang sudah hiruk-pikuk karena beberapa orang yang mungkin juga berbuka puasa. Mereka duduk di meja nomor tujuh yang kebetulan masih kosong. Tidak berapa lama, pelayan datang untuk menanyakan pesanan mereka. Wanita berjilbab itu tersenyum dengan pelayan wanita yang menghampiri.

***Meyyis***

Senyum Zahra di sambut oleh sang pelayan tersebut. Marc ikut menyunggingkan senyum. Wanita dengan kostum warna merah maroon dengan celemek di pinggangnya yang menutupi pakaian bawahnya itu menanyakan pesanan mereka.

“Ada menu berbuka?” tanya Zahra.

“Spesial untuk Nona yang sedang berpuasa. Ada kurma dan juga sirup kurma. Ada lagi?” Pelayan itu bersiap untuk mencatat.

“Mungkin itu saja. Marc kau mau pesan apa?” Marc tergagap karena ketahuan memperhatikan Zahra dengan sangat intens.

“Ah, kamu tidak makan besar?” Zahra menggeleng.

“Samakan saja.” Zahra mengerutkan kening.

“Kenapa? Kamu ‘kan tidak berpuasa Marc. Tidak usah mengikutiku. Kamu juga pasti lapar ‘kan?” Zahra memperingatkan lelaki tiga puluhan itu.

“Tapi aku juga tidak makan seperti kamu. Bisa dikatakan aku berpuasa ‘kan?” Zahra tersenyum mendengarnya. Ternyata Marc memperhatikan ucapannya. Mungkin lelaki itu mulai tertarik dengan puasa atau apa yang dilakukannya. Sepertinya hal yang baru memang selalu membuat penasaran.

“Kau tidak mau memesan makanan berat?” tanya Zahra.

“Aku akan memesan apa yang kamu pesan.” Pelayan itu menggaruk rambutnya tanpa disadari mendengar perdebatan mereka berdua. Zahra segera menyadari bahwa mereka ditunggu oleh pelayan tersebut.

“Oh, maaf ya. Jadi menunggu. Baiklah karena teman saya ini keras kepala. Maka saya pesan ayam betutu sekalian.” Wanita itu mencatat ayam betutu yang Zahra minta. Setelah itu Zahra menoleh ke arah Marc dan menanyakan dalam bahasa Prancis apakah lelaki itu makan nasi?

Porsi. Pelayan itu mengulangi pesanan mereka. Kemudian setelah dipastikan tidak ada yang salah, pelayan itu menyuruh menunggu.

“Zahra, berapa hari kamu harus tidak makan seperti itu?” tanya Marc.

“Kurang lebih satu bulan. Namanya puasa Marc. Tapi tidak hanya tidak makan minum. Selain itu harus menjaga perbuatan kita.” Marc menautkan kedua alisnya.

“Maksudnya?” Marc mencondongkan tubuhnya dengan siku bertumpu di meja dan kedua jari-jari tangannya saling menangkup.

“Selain tidak makan dan minum dari terbit fajar, maka kita harus menjaga tingkah laku. Tidak boleh marah, tidak boleh berbohong dan hal-hal lain yang dapat menimbulkan dosa.” Marc menggigit bibir bawahnya seolah merasa sangat takjub dengan yang disampaikan wanita cantik itu.

“Hmmm, aku merasa berubah pikiran setelah kamu jelaskan. Ternyata Islam seindah itu. Tidak seperti gosip yang aku dengar.” Zahra memahami yang dikatakan oleh Marc. Memang citra kaum Muslim buruk ketika banyak terjadi teroris yang berkedok orang muslim. Padahal Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan sama sekali.

“Kau termasuk orang yang percaya gosip, Marc?” Zahra sedikit tidak percaya bahwa orang berpendidikan seperti Marc bisa mempercayai berita yang belum tentu benar keabsahannya.

“Bukan! Tapi banyak yang terjadi teroris dan bentuk kejahatan lain mengatasnamakan agama.” Zahra mengangguk tanpa menyela. Tidak dipungkiri akhir-akhir ini memang orang dari garis keras menyudutkan kaum Muslim yang sepertinya menjadi bercitra jelek karena ulah dari segelintir orang.

“Kau tidak salah, Marc. Mereka hanya oknum. Nabi Muhammad sang pembawa risalah tidak pernah mengajarkan kekerasan. Namun juga tidak lari dan tetap melawan jika dimusuhi.” Marc mengangguk mendengarnya. Kungkungan atas nama agama yang selama ini membelenggu pikirannya hanya sekejap hilang oleh perkataan Zahra. Wanita itu membukakan pandangan sempit tentang agama Islam yang terlanjur merasuk ke dalam pikirannya.

“Silakan dinikmati!” Dua pelayan membawakan pesanan mereka.

“Terima kasih.” Lagi-lagi Marc mengikuti yang dilakukan Zahra. Dia menengadahkan tangannya. Berkali-kali Marc menoleh berharap mendengar kata doa yang diucapkan Zahra. Sayangnya, wanita itu tidak mengucap. Hanya mulutnya saja yang berkomat-kamit.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status