Share

Uzur Itu Apa?

Berkali-kali lelaki dengan iris mata berwarna coklat itu menoleh ke arah Zahra. Setelah wanita berkerudung itu meraupkan kedua tangannya ke wajah, maka dirinya ikut melakukannya.

“Mari silakan makan, Marc.” Lelaki dengan rambut rapi itu langsung saja memulai menyeruput sari kurma. Suara seruputannya terasa nikmat. Setelah itu, mengambil buah kurma yang ada di depannya.

“Kau selalu puasa setiap bulan Ramadan, Zah?” tanya Marc. Dia mulai ketularan orang Indonesia setelah beberapa hari di Indonesia. Memanggil nama seseorang dengan penggalan nama saja.

“Ya, kecuali ada uzur.” Marc mengerutkan keningnya.

“Maksudnya? Uzur itu apa?” Tentu saja Marc tidak tahu jika wanita menstruasi tidak diperbolehkan puasa.

“Seorang wanita memiliki berbagai macam uzur, Marc. Seperti menstruasi, melahirkan, setelah melahirkan. Itu tidak boleh puasa juga tidak boleh salat.” Marc mengangguk tanda mengerti.

“Tapi mengapa? Berarti kalau lelaki tidak bisa libur, dong?” Zahra tersenyum setelah menelan kurma yang baru saja dikunyah.

“Karena kondisi perempuan yang menstruasi dan nifas sebutan untuk melahirkan adalah tidak suci. Tapi jangan salah dia bebas. Mereka tetap mengganti di hari yang lain atau membayar fidyah.” Marc bertanya semakin banyak lagi tentang ajaran yang dianut oleh Zahra. Awalnya dia hanya penasaran dengan kehidupan Zahra saja. Namun semakin berinteraksi dengan wanita Muslim itu, dirinya semakin merasa menyukai ajaran itu.

“Habiskan makananmu, Marc. Setelah ini aku harus salat Magrib.” Lagi-lagi Marc tercenung mendengarnya. Salat Magrib? Apalagi itu. Dia ingin mengetahui lebih dalam dan lebih dalam lagi. Maka Marc memakan makanannya dengan sedikit terburu-buru sehingga dirinya tersedak.

“Marc, kau baik-baik saja? Pelan-pelan. Allah tidak suka manusia yang terburu-buru.” Marc hanya nyengir memperlihatkan deretan gigi putihnya. Zahra dalam hati tersenyum. Marc sudah kepala tiga usianya. Namun terkadang sungguh lucu seperti anak-anak. Tingkah konyolnya membuat Zahra tersenyum sendiri. Mengenalnya selama dua hari ini.

Mereka sudah selesai makan dan Zahra meminta untuk berhenti di salah satu masjid. Marc bingung sekarang. Dia belum pernah masuk ke tempat ibadah apalagi masjid. Maka lelaki itu mengikuti Zahra dari belakang setelah sebelumnya melepas sepatunya. Sampai di depan tempat berwudu, ada salah satu wanita dengan usia sudah sepuh mencegah dia masuk.

“Maaf Mas, tempat wudu laki-laki ada di sebelah kanan masjid.”

“Maaf, saya tidak mengerti yang Anda katakan. Saya bersama wanita itu.” Wanita tua itu merasa kesal sehingga mengumpat. Mereka berkomunikasi tidak nyambung. Wanita tua itu dengan bahasa Bali, sedang Marc dengan bahasa Prancis. Mereka saling berdebat sehingga ketegangan itu membuat orang-orang menoleh. Demikian juga dengan Zahra.

 Refleks Zahra juga menoleh ke belakang. Wanita itu menepuk keningnya. Sedangkan lelaki bule itu masih terbengong karena dihalangi oleh wanita tua itu.

“Aduh, ayo ikut!” Zahra bergegas mengantar Marc untuk ke tempat wudu laki-laki. Kebetulan ada salah satu laki-laki yang baru melepas sepatu.

“Bli, mohon maaf. Teman saya ini dari Prancis mau belajar wudu. Apakah Bli bisa bantu saya?” Lelaki itu mengangguk dan sedikit menyunggingkan senyum.

“Alhamdulilah, apakah dia bisa bahasa Inggris? Soalnya saya tidak bisa bahasa Prancis, Mbok.” Zahra mengucap hamdalah.

“Bisa, Bli. Saya ucapkan terima kasih … Marc ikuti pria ini. Dia akan mengajarkan kamu tentang wudu.” Marc mengangguk dan mengikuti langkah lelaki itu. Sedangkan Zahra sendiri setengah berlari untuk menggapai tempat wudu. Zahra berwudu kemudian masuk ke tempat salat bersama jamaah yang lain.

Butuh beberapa saat untuk Zahra menunggu Marc di beranda depan. Dia ingin menyusul ke dalam, tapi tidak bisa karena memang area khusus laki-laki. Zahra hanya menunggu sambil memakai sepatunya. Sepatu flet berwarna coklat. Wanita itu membuka sosial media yang ada di ponselnya.

***Meyyis***

Lelaki bermata coklat itu berjalan dengan gagah dari dalam masjid menuju ke arah Zahra duduk. Dia duduk di samping Zahra, kemudian menarik sepatunya untuk dipakai. Lelaki yang selalu tampil modis itu merasakan hal yang bebeda. Setelah mengenal wudu dan salat, rasanya sangat tenang. Jujur saja, dia ingin tahu lebih banyak dari lelaki yang berjanggut mulai bersemu putih yang ditemui saat di dalam tadi.

“Kamu agak lama? Bagaimana belajarnya tadi?” tanya Zahra. Marc hanya menunjukkan jempolnya saja. Lelaki yang kini rambutnya basah karena air wudu itu tersenyum dengan senyum yang tulus ke arah Zahra.

“Zah, sebenarnya apakah aku sudah dikategorikan beragama Islam? Sepertinya aku mulai mencintai agamamu.” Zahra seperti mendapatkan berton-ton emas. Dia sangat bahagia mendengarnya.

“Kamu yakin dengan pilihanmu, Marc? Jika kamu menjadi Muslim, akan terikat dengan aturan. Bukan aku tidak mendukung. Tapi ketika kamu sudah berikrar, maka kamu harus bisa konsekuen. Baiklah, aku akan mengajarkan beberapa hal dasar dulu sebelum kamu benar-benar mengucapkan dua kalimat syahadat.”   Bukan karena Zahra tidak mendukung. Lebih kepada itu. Wanita berbibir tipis itu ingin agar Marc memantapkan hati terlebih dahulu. Sehingga saat nanti kontrak dengan dirinya selesai, dia bisa melanjutkan memperdalam dengan orang lain.

“Sepertinya iya. Aku merasa menemukan sesuatu.” Marc mengatakan hal itu dengan antusias. Sehingga Zahra bisa merasakan semangat untuk mengenal Islam lebih jauh dari perkataan singkat Marc tersebut. Lelaki itu seperti menemukan arah ketika selama ini merasa terombang-ambing berjalan tanpa cahaya. Zahra hanya bisa tercenung melihat lelaki yang kini memakai jas warna biru dongker semi formal itu jatuh cinta dengan Islam yang baru dikenalnya.

“Itu bagus, Marc. Kita akan melanjutkan bicara di sebuah tempat. Aku memeiliki tempat bagus yang cocok untuk kita bersantai.” Zahra menyunggingkan senyum. Wanita dengan bulu mata lentik alami tanpa maskara itu bangkit. Dia berjalan menuju ke mobil Marc yang terparkir. Dua cicitan menandakan kunci dibuka. Zahra menggapai hendle pintu, tapi dicegah oleh Marc.

“Kenapa?” Zahra menoleh ke arah suara Marc.

“Sebagai lelaki Prancis yang gentle, aku harus membukakan pintu mobil untuk pasanganku.” Hampir saja Zahra lupa bernapas. Entah mengapa dia merasa kalimat Marc kali itu menjurus. Entah Zahra yang sudah lama tidak mendengar rayuan lelaki, atau memang ketulusan Marc membuat hatinya berdebar. Zahra sepersekian detik merasa melayang dengan kalimat singkat Marc tersebut. Marc setengah berlari memutari mobil tersebut. Dia membuka pintu ruang kemudi.

Marc tersenyum melihat wanita yang kini mengisi hatinya tersebut diam termenung sampai lupa menggunakan sabuk pengaman. Lelaki itu menunggu beberapa saat sampai Zahra mengenakan sabuk pengaman tersebut. Namun wanita dengan alis rapi tanpa pewarna alis tersebut tidak juga bergerak untuk mengenakannya. Marc dengan sejuta pesonanya mencondongkan tubuhnya dan meraih sabuk pengaman tersebut. Zahra terkejut dan memundurkan tubuhnya. Aroma maskulin membuat matanya terpejam. Berulang kali Zahra mengucapkan istigfar karena sudah terpesona dengan Marc. Sekian menit wanita itu membeku. Demikian juga dengan Marc. Pertemuan mata mereka membuat saling menabuh genderang debaran jantung. Zahra terkesima dengan pandangan itu. Namun cepat-cepat dia memusnahkan dengan beristigfar sekali lagi.

Klik … suara dari pengait terdengar. Marc kembali meluruskan tubuhnya. Jangan ditanya perasaannya? Mencium aroma tubuh Zahra membuat otaknya mati rasa. Aroma lily yang menggoda reseptor hidungnya mengirimkan sinyal pada otaknya ingin memiliki wanita beranak satu itu. Dia sendiri kehilangan arah untuk menenangkan debaran hatinya. Ada apa ini?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status