Marc mengangguk. Dia tidak memaksa jika memang Azahra tidak ingin makan bersamanya. Lelaki berdada bidang itu mempersilakan dengan tangannya untuk wanita berjilbab itu diantar pulang.
“Boleh aku mengantarmu pulang?” tanya Marc.
“Apa tidak merepotkan?” Zahra menatap Marc yang sudah berdiri di depannya.
Marc tersenyum dengan manisnya seluruh gula menempel di bibirnya. Bahkan senyum itu baru pertama kali tersungging untuk sang wanita.
“Sama sekali tidak. Ayo!” Mereka berjalan beriringan. Ingin jari-jari Marc meraih pundak Zahra yang ada di sampingnya. Kemudian ingat beberapa kalimat yang diucapkan oleh Jason Bahwa itu termasuk tidak sopan bagi wanita Muslim semacam Zahra. Marc menggaruk tengkuknya untuk menetralkan perasaannya. Belum pernah dirinya salah tingkah di depan seseorang apalagi seorang wanita. Apa sebenarnya yang dimiliki Zahra? Marc sendiri tidak mampu menjawab pertanyaan hatinya.
“Oh, sekarang lagi senang jalan dengan bule, ya?” Zahra bertemu dengan Raehan di pintu masuk restoran tersebut. Ya, Raehan sosok mantan suami yang memberinya sejuta kesengsaraan. Marc mengerutkan keningnya. Dia tidak paham dengan bahasa yang dikatakan Raehan. Tapi melihat raut wajah yang ditunjukkan Azahra pertanda bahwa lelaki itu mengatakan hal yang tidak baik.
“Are you ok, Zahra?” Marc sengaja menggunakan bahasa Inggris supaya lawan bicaranya mengerti. Dia hanya mengira bahwa lelaki yang di depannya ini tidak mengerti bahasa Prancis.
“let’s go!” Zahra menggenggam jari-jari Marc refleks. Wanita itu tidak menjawab perkataan Raehan tapi langsung menarik tangan lelaki yang bersamanya. Tatapan tajam Raehan seolah merendahkan Syifa dan menguliti jiwanya dengan seluruh pedih yang ditinggalkan.
“Zahra, tunggu!” Raehan melepaskan gandengan pada seorang wanita dan mengejar Zahra.
Zahra berhenti mendengar panggilan dari mantan suaminya itu. Suara tutukan sepatu itu terdengar mendekat dan berhenti tepat di depan Zahra yang sudah berhenti menunggu kata yang akan diucapkan oleh Raihan.
“Apakah dia tahu kalau anak itu bisu? Kau harus memberitahu dia. Aku tidak mau nanti dia kecewa saat tahu anak itu. Aku sudah bilang untuk melempar anak itu ke panti asuhan. Supaya kamu bebas.” Entah otak dari mana Raehan dapat mengatakan hal serendah itu. Yang dibicarakan adalah putrinya, darah dagingnya. Tega sekali mulut tajamnya itu mengalun bebas.
“Jangan urusi urusanku lagi. Kau bukan siapa-siapa di sini. Jelita akan tetap bersamaku. Kau mengerti? Pasang telingamu baik-baik! Satu hal lagi, aku tidak sepicik kamu, Tuan Raehan Dewantara! Dia lahir dari rahimku. Aku tidak pernah merasa terbebani dengan keistimewaannya. Hanya lelaki picik macam kamu yang melihat sesuatu dari kesengsaraan. Karena otakmu yang penuh kesombongan.” Zahra akan beranjak namun lagi-lagi dicegah oleh Raehan entah apa yang diinginkannya. Dada Zahra kembang kempis menahan rasa. Ingin dia melesakkan emosi yang sudah tidak teratur dalam kepalanya. Tangannya semakin erat menggenggam tangan Marc. Bahkan dia lupa dengan menjaga wudunya. Dia meremas jari-jari Marc karena merasa sangat marah dengan mantan suami yang tidak tahu diri itu.
“Zahra, Zahra. Ternyata kau sengsara tanpa aku. Sampai-sampai harus menjual diri.” Darah Zahra sudah mendidih rasanya. Jika tidak malu karena di tempat umum, mungkin dirinya sudah meladeni lelaki bermulut iblis itu agar mulut sampahnya dapat disumpal. Tidak berhenti sampai di situ. Dia juga mempengaruhi Marc.
“Tuan, apa kau tahu jika Zahra seorang janda? …. ” (dalam bahasa Inggris).
Marc mengerutkan keningnya. Lelaki itu bingung apa yang dikatakan Raehan. Marc melepaskan genggamannya pada tangan Zahra. Dia mendengarkan semua yang dikatakan lelaki itu. Lelaki alis tebal itu terus mengatakan hal-hal buruk tentang Azahra sehingga membuat wanita dengan gigi-gigi yang serupa biji timun dan bibir serupa buah delima itu mengeratkan rahangnya karena merasa muak dengan semua yang dikatakan mantan suaminya.
***Meyyis***
Marc tertawa dengan yang dilakukan oleh Raehan. Lelaki dari Prancis itu memperlihatkan gigi-gigi putihnya karena dijaga dengan baik. Lelaki itu ingin mempermalukan Azahra tapi malah dirinya sendiri yang malu. Nyatanya Marc tidak peduli walau Raehan mengatakan bahwa Azahra adalah seorang janda.
“Hai, Dude. Kau hidup jaman kapan? Aku tidak peduli mau dia janda, perawan atau apa pun. Selama dia berstatus singgle, tidak masalah bagiku. Satu lagi, jangan mencampuri urusannya. Karena kau akan berurusan denganku mulai saat ini.” Marc meraih tangan Zahra dan menariknya untuk masuk ke mobil meninggalkan lelaki itu. Entah mengapa Marc merasa sangat geram dengan lelaki itu. Rasanya ingin dia tonjok sampai babak belur. Marc membukakan pintu mobil untuk Zahra dan menutupnya kembali setelah itu berputar menuju ruang kemudi. Raehan hanya terbengong. Dia sadar ketika Zoya memanggilnya.
Zahra menunduk. Sekuat tenaga dirinya menyimpan luka dalam hati. Tidak diperkenankan orang lain melihat hatinya yang berduka. Marc menjadi serba salah. Dia ingin bertanya pada Zahra tapi takut wanita itu tersinggung. Ini sungguh lucu. Sejak kapan Marc peduli dengan perasaan orang lain. Apalagi takut jika partner bicaranya tersinggung atau semacamnya. Hanya kepada Zahra saja, dia merasakan takut kehilangan. Perasaan macam apa ini? Marc bahkan tidak bisa mencerna perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya.
“Zahra, kalau mau menangis boleh saja. Jangan menahannya! Jika butuh bahu juga aku siap.” Kata itu akhirnya lolos ketika Marc menimbang-nimbang.
“Tidak perlu, Marc. Aku tidak apa-apa. Dia tidak penting lagi.” Zahra terlihat memaksakan senyumnya. Namun bagi Marc, hal itu masih tetap terasa sangat manis dan mengagumkan. Ini sungguh sebuah hal yang membingungkan bagi diri Marc. Dari sekian banyak wanita yang dikenal, mengapa baru Zahra yang membuat detik-detiknya penuh dengan bayangan wajah ayunya.
“Oh, baiklah. Temani aku ke suatu tempat. Sepertinya kita butuh sedikit saling bicara supaya lebih kenal.” Marc membelokkan mobilnya ke suatu tempat. Sesungguhnya Zahra tidak berniat untuk pergi ke mana pun. Perkataan mantan suaminya yang kasar cukup menyita otaknya untuk berpikir. Sampai Marc sudah berada di tepi laut, barulah Zahra tersadar bahwa lelaki bule itu membawanya ke pantai Kuta.
“Kita turun?” Zahra menoleh dan melihat sekeliling. Matanya sembab walau tidak menangis. Ralat, bukan tidak menangis tapi menahan tangis. Marc membukakan pintu mobil untuk wanita itu. Zahra hanya mengikuti Marc dari belakang.
“Kau pemanduku, Zahra. Bukan pelayanku. Berjalanlah disampingku.” Zahra hanya mengangguk dan menuruti Marc. Mereka sampai di batu karang tepian laut. Suara debur ombak seakan senada dengan gejolak jiwanya saat ini. Mereka duduk menghadap laut.
“Zahra, boleh aku tahu siapa dia? Sepertinya dia berperangai buruk terhadapmu.” Marc memandang ke arah wanita berjilbab itu. Marc memang tidak mengerti karena Raehan berbicara dalam bahasa Indonesia. Zahra mengenakan Jilbab warna coklat susu yang dia kenakan tampak anggun dengan gaun warna batik yang disulap dengan desain sederhana tapi elegan.
Satu embusan napas Zahra terdengar lelah. Wanita itu memandang lurus ke arah lautan lepas. “Dia mantan suamiku.” Marc terlihat tidak percaya.
“Mantan suami? Jika benar, seharusnya dia mendukungmu. Apa kalian berpisah ada masalah?” Zahra menoleh ke arah lelaki itu penuh selidik. Melihat aura dingin yang ditunjukkan Zahra, lelaki itu nampak menyesal telah menanyakan hal itu.
“Maaf, bukan bermaksud membubuhi luka lama kamu agar timbul kembali. Aku hanya akan memberikan sedikit pandangan. Karena kebetulan aku terlibat dalam pertengkaran kalian. Aku juga minta maaf, tadi sudah mengaku sebagai kekasihmu.” Marc berharap mulut lancangnya ini tidak membuat Zahra membatalkan kontraknya untuk menjadi pemandunya.
“Aku berbuat baik dengan siapa pun, Brina. Kau yang kelewat baper. Bukan hanya kamu yang aku baikin, dengan Bu Rusda juga aku baikin. Lalu bagaimana bisa kau menuduhku memberi harapan palsu?” Fatih meninggalkannya masih sesenggukan. Dia setengah berlari menaiki tangga. Sedangkan Sabrina sangat kacau sekarang. Diva sendiri juga kacau saat melihat Fatih dan Sabrina ... ah, apa tadi? Berpelukan dan Fatih menerima saja. Terang saja, karena Sabrina begitu cantik. Demikian pikir Diva.***MEYYIS***Diva tengkurap di atas tempat tidur saat Fatih mulai masuk ke dalam kamar. Fatih tersenyum karena mengira Diva telah tidur seharian. Dia mendekat dan memeluk Diva. Tapi dia mengerutkan kening setelah tidak sengaja memegang pipinya basah.“Hai, istriku menangis? Kenapa? Aku tahu, kamu melihat Sabrina memelukku? Jangan cemburu ... dia ....” Fatih menghentikan kaliamtnya.“Lepaskan aku! M
Sementara itu meninggalkan kekepoan seorang Diva yang begitu tinggi maka di bawahFatih sedang berbicara dengan seorang wanita keturunan Mesir. Dia seorang wanita yang cerdas juga cantik. Sudah lama mengagumi Fatih. Tapi rasa sukanya dianggap Fatih hanya rasa biasa sesama teman saja. “Sabrina? Kamu menyusul kemari? Ada apa?”BAB CXVWANITA LAIN?Sementara itu meninggalkan kekepoan seorang Diva yang begitu tinggi maka di bawahFatih sedang berbicara dengan seorang wanita keturunan Mesir. Dia seorang wanita yang cerdas juga cantik. Sudah lama mengagumi Fatih. Tapi rasa sukanya dianggap Fatih hanya rasa biasa sesama teman saja. “Sabrina? Kamu menyusul kemari? Ada apa?”Gadis berkerudung lebar itu tersenyum. “Aku sengaja menu
“Tidak perlu minta maaf, kau selalu cantik apa pun kondisinya. Aku tetap mencintaimu, Bidadariku.” Ah, jantung Diva terasa lompat-lompat cari perhatian untuk di sentuh dadanya. Wajah Diva sudah serupa kepiting rebus yang baru diangkat dari dandang. Merah merona.“Ih, peres.” Diva menutup wajahnya yang sduah kepalang malu.“Bener, kamu sangat cantik.” Fatih mencolek dagu Diva. Wanita berkerudung navy itu semakin panas dingin dibuatnya.***MEYYIS***Hari ini sudah hampir satu bulan Diva dan Fatih di negeri piramida itu. Malam ini Fatih sudah bilang akan pulang terlambat. Sebenarnya Diva diajak, tapi dia tidak mau karena merasa lelah. Sepertinya sering bercinta bukan hanya memberikan efek bahagia saja, lebih dari itu maka efek lelah membuatnya hari ini tidak semangat untuk ikut. “Ya sudah, nanti akan aku kirim makanan saja ke rumah. I Love you, Sayang.”&nb
“Tidak perlu minta maaf, kau selalu cantik apa pun kondisinya. Aku tetap mencintaimu, Bidadariku.” Ah, jantung Diva terasa lompat-lompat cari perhatian untuk di sentuh dadanya. Wajah Diva sudah serupa kepiting rebus yang baru diangkat dari dandang. Merah merona.“Ih, peres.” Diva menutup wajahnya yang sduah kepalang malu.“Bener, kamu sangat cantik.” Fatih mencolek dagu Diva. Wanita berkerudung navy itu semakin panas dingin dibuatnya.***Meyyis***Diva berjalan di atas pembatas jalan sambil sesekali melompat. Wanita itu memang pantas dijuluki bola bekel. Selalu saja tingkahnya begitu.“Sayang, hati-hati.” Diva melompati bangku panjang dan berputar kemudian mendarat di depan dua muda mudi yang sedang memadu kasih. Sang lelaki memberinya bunga dan berlutut. Diva mengambil bunga yang ada di tangan pria itu kemudian menyelipkan ke
“Kenapa? Laper, ya? Kita makan di luar saja.” Fatih menyuruh Diva mengenakan matel karena udara malam di sini dingin. Diva mengikuti arahan suaminya. Karena belum punya, dia memakai punya Fatih sehingga terlihat kedodoran.***MEYYIS***Diva berjalan di atas pembatas jalan sambil sesekali melompat. Wanita itu memang pantas dijuluki bola bekel. Selalu saja tingkahnya begitu.“Sayang, hati-hati.” Diva melompati bangku panjang dan berputar kemudian mendarat di depan dua muda mudi yang sedang memadu kasih. Sang lelaki memberinya bunga dan berlutut. Diva mengambil bunga yang ada di tangan pria itu kemudian menyelipkan ke telinga kiri wanitanya, sehingga mereka melongo kemudian tertawa.“Success for you, don’t take too long to apply.” Diva memutar dan meninggalkan pemuda itu yang mematung. Fatih menepuk jidadnya. Dia setengah berlari mengejar sang istri. Wanita itu mende
Fatih membuka pintu rumahnya. Diva tersenyum malu. Suaminya bahkan lebih rapi dari pada dirinya. Dia menggaruk kepalanya yang sesungguhnya tidak gatal. Fatih ebrterima kasih pada seseorang kemudian memberikan lembaran uang.***Meyyis***Fatih membuka pintu rumahnya. Diva tersenyum malu. Suaminya bahkan lebih rapi dari pada dirinya. Dia menggaruk kepalanya yang sesungguhnya tidak gatal. Fatih ebrterima kasih pada seseorang kemudian memberikan lembaran uang.“Masih pusing?” Fatih membuka lemari es yang sempat dia bersihkan. Hanya ada mi instan di sana. Untuk mengganjal perut, mungkin mi isntan cukup menolong. Diva berbaring di sofa. Sedang Fatih langsung ke dapur. Bodo amat, pikir Diva. Dia merasakan pusing yang berkepanjangan. Wanita tomboy itu sudah pergi ek alam mimpi ketika Fatih menuang segelas susu untuknya. Fatih meletakkan susu tersebut kemudian menutup agar serangga kecil tidak mengotori.