“Sudah, ini ada sisa terus dibungkus.” Zahra meletakkan panganan itu di kulkas. Zahra pamit untuk mandi. Wanita itu meraih handuknya kemudian mengguyur seluruh tubuhnya berharap bayangan Marc juga dapat lenyap dari kepalanya. Tapi ternyata sia-sia saja.
***MEYYIS***
Marc terbangun dengan kebingungan. Pasalnya, saat memindai ini bukan kamarnya. Lelaki dengan baju warna putih itu mencoba akan bangkit dan berjalan ke arah kamar mandi. Namun bagian selangkangnya merasa berdenyut. Dia meringis.
“Oh, iya, aku baru saja di khitan. Zahra ke mana ya?” Tenggorokan Marc merasa sangat kering. Dia ingin minum air putih. Lelaki itu keluar dari klinik itu dengan tertatih dan memegang bagian kain yang tepat di depan. Rasanya nyeri jika kain itu menyentuh alat vitalnya yang masih basah terluka. Dia membuka pintu. Lelaki itu berjalan ke lorong. Bermaksud mencari Zahra.
“Tuan, ada perlu apa? M
Raehan adalah penjahat cinta dalam mata Reza. Bukan hanya sekali. Berkali-kali lelaki itu menyakiti Zahra dan menduakannya. Reza tercenung ketika mengingat hal itu. Termasuk dia memilih tugas di Bali juga karena mendengar Reza pindah ke Bali. Namun ternyata Raehan juga pindah ke Bali hingga Zahra memang selalu berkaitan dengan Raehan. Ah, hidup yang penuh dengan drama rumah tangga.“Dokter, kau baik-baik saja?” Marc mengagetkan Reza ketika lelaki itu masih dalam lamunan.***Meyyis***“Tidak apa-apa, Marc. Aku hanya terpikir sesuatu. Kau sudah lebih baik? Bisa kembali tidur. Panggil aku kalau ada apa-apa.” Marc mengangguk. Lelaki itu melanjytkan tidurnya karena selepas minum obat merasa mengantuk. Sedangkan Reza pergi ke kamarnya kembali. Melam ini berjalan seperti biasa. Tapi saat pukul dua dini hari, obat yang Marc minum tidak bereaksi lagi. Dia menggigil dan sedikit demam. Mungkin disebabkan juga
“Maaf, Marc.” Zahra membantu melepaskan kemeja Marc, sehingga tersisa hanya kaos dalam saja. Jujur saja, hati Zahra sangat lompat-lompat karena hal itu. Namun sekuat tenaga dia menahannya. Tujuannya baik, hanya menolong saja. Marc merasa damai. Seandainya Zahra sudah menjadi istrinya, kali ini dia pasti memeluknya saat merasa kedinginan seperti ini.***MEYYIS***Waktu sahur telah tiba. Zahra berada di samping Marc dan tertidur di kursi dengan posisi kepala ada di tepi ranjang. Marc belum tidur. Dia mengelus puncak kepala Zahra. Reza yang baru banguntidur terkejut saat Zahra ada di ruangan itu. Lelaki itu merasa cemburu dengan keadaan itu. Zahra memiliki kedekatan khusus dengan lelaki bule itu.“Bi, kapan Zahra datang?” tanya Reza pada Bi Siti yang sedang menyiapkan menu makan sahur.“Sekitar jam dua, Tuan. Kayaknya Tuan Marc demam.” Reza mengangguk. Reza menyuruh Bi Siti untuk membangunkan Za
Zahra memapah tubuh besar Marc. Reza sengaja tidak membantu untuk mengentahui perasaan Zahra kepada lelaki itu. Reza menarik napas pasrah ketika dia sampai pada satu kesimpulan bahwa Zahra memang benar-benar mencintai lelaki itu.“Zahra, jika lelaki itu memang baik untukmu dan Jelita, aku ikhlas.” Reza bebalik badan dan masuk ke rumah.***Meyyis***Marc duduk di samping Zahra. Kali ini wanita cantik itu yang menyetir. Marc hanya menyenderkan tubuhnya di jok mobil. Tidak terbayang sakitnya. Perih, nyeri, kepala pusing karena tambah demam. Mungkin juga karena dia sangat lelah jadi kuman mudah menyerang daya tahan tubuhnya.“Marc mau ke rumah sakit saja?” tawar Zahra. Marc menggeleng. Zahra lebih cepat melajukan mobilnya supaya sampai lebih dini. Mereka sampai juga di tempat parkir apartemen itu. Zahra dengan terpaksa memapah Marc yang keusahan berjalan. Mungkin bagian yang baru disunat bengkak. Perkiraan Z
“Marc, jangan tidur dulu, ya? Minimal nunggu zuhur.” Marc mengangguk. Untuk mengusir jenuh, dia main games di ponselnya. Zahra membantu beres-beres. Dasar cowok, selalu saja berantakan tidak teratur.***MEYYIS***Zahra memasak untuk Marc. Lelaki itu hanya mencuri pandang saja melihatnya. Siang sudah menjelang. Kantuk mulai meratapi mata Marc. Lelaki tinggi seratus delapan puluh itu merebahkan diri di sofa tersebut. Lama kelamaan terlelap. Karena suhu ruangan sangat panas, Zahra menyetel pendingin ruangan lebih rendah suhunya. Dia tersenyum melihat kedamaian dari wajah lelaki itu.Dia seperti bayi yang damai. Tidak ada raut khawatir terlihat. Tidak seperti beberapa saat lalu ketika dia merasa sangat gusar karena bagian yang disunat terasa sangat sakit. Zahra sudah selesai beres-beres. Dia menelepon ibunya untuk mengabarkan bahwa dirinya bersama Marc.“Iya, Nak. Bagaimana dia? Pasti sangat sa
Reza setengah berlari untuk sampai ke hunian milik Marc. Dia menekan bel. Di dalam, Zahra buru-buru mebuka pintu melihat Marc yang sudah kesakitan. “Tolong, Za. Aku memang lalai menjaganya. Tadi tertidur di sofa saat kejadian itu.” Reza menelan ludahnya sangat susah. Dia belum pernah melihat Zahra sepanik itu. ***Meyyis*** Sepersekian detik, Reza terpaku. Zahra menyadari ada yang berbeda dari sahabatnya itu. “Ada apa?” tanya Zahra. “Tidak ada. Di mana Marc?” tanya Reza. “Ada di kamarnya.” Reza mengangguk. Entah untuk alasan apa? Lelaki itu selalu menurut pada Zahra yang jelas-jelas tidak menanggapi perasaannya. Ada perasaan bersalah jika wanita itu menunggunya, atau tidak mengindahkan permintaannya. Tidak pernah ada kemarahan dalam hatinya, walau kenyataanya cintanya bertepuk sebelah tangan. “Marc, bagaimana ceritanya? Kau bisa jatuh?” tanya Reza sambil menilik burung beo Marc yang sepertinya sudah
Lelaki itu bukan manusia halal yang bisa dia khawatirkan. Zahra mencoba membuang pikirannya. Semakin mencobanya, perasaan itu semakin nyata membelenggu jiwanya. Mungkin harus berkompromi dengan hatinya. ***MEYYIS*** Marc bangun tidur pada sore hari. Zahra mengelap tubuhnya saja. Jangan bertanya perasaan mereka. Zahra merasakan dadanya mau meledak. Perasaan apa ini? Apalagi saat iris mata hitam arang Zahra menyapa iris mata coklat Marc. Keduanya tidak dapat menahan sehingga benda kenyal itu tanpa ragu mendekati dosa. Sepersekian menit mereka menikmatinya. Hingga Zahra sadar dan mendorong tubuh Marc. Zahra keluar dari kamar Marc untuk menetralkan perasaannya. “Ya Tuhanku, apa yang aku lakukan? Kenapa tidak bisa mengendalikan diri?” Marc menyesali yang dia lakukan. Dia menepuk keningnya berkali-kali dengan tinjunya. Penyesalan mungkin tidak berarti. Nyatanya, dia sudah melakukannya. Semua sudah terjadi tanpa bisa dihindari. Tidak be
“Boleh aku berpikir dulu, Marc. Ada banyak hal yang tidak kau tahu tentang diriku, selain maslaah Jelita.” Marc melepaskan cekalannya. Zahra memilih pergi dari kamar itu untuk memasak. Senja sudah hampir tiba. Bahkan sebentar lagi buka puasa menjelang.***Meyyis***Sore sudah menjelang. Zahra membantu Mrac untuk bangkit. Selain Zahra harus berbuka, sekalian Marc juga harus makan dan minum obat. Mereka makan dalam diam. Baik Zahra dan Marc tidak ada yang buka suara. Sampai selesai makan pun tetap diam. Jujur saja, Marc merasa tersiksa. Dia merasa sangat bersalah. Sudah mencium Zahra tanpa meminta ijin terlebih dahulu. Jika waktu bisa diulang kembali, dia akan lebih menahan hasratnya.Marc bangkit dan berjalan hati-hati menuju kamarnya. Zahra mengikutinya bermaksud untuk mengambil obat agar Marc meminumnya lalu tidur. Zahra kebingungan. Obat Marc tidak ada di mana pun.“Kau mencari apa, Zah?”
Mimpi itu mengusik pikirannya. Marc dengan tertatih mengambilkan air putih di meja yang agak jauh dari Zahra. Wanita itu menenggaknya sampai tandas. Zahra mengembuskan napas perlahan untuk mengingat kembali beberapa detik lalu dalam mimpinya.“Apa yang terjadi? Pertanda apa mimpi itu?” Wanita itu memejamkan matanya. Dia memandang Marc dengan lekat. Ada keraguan membayangi.***MEYYIS***“Zahra, bangun! Ada apa?” tanya Marc saat Zahra sudah siuman dari tidurnya.“Aku mimpi buruk, Marc.” Zahra terlihat ngos-ngosan. Marc berjalan sedikit tertatih karena bagian yang di sunat masih terasa perih. Lelaki itu mengambilkan air yang ada di nakas kecil.“Minumlah!” Marc memberikan segelas air itu kepada Zahra sedangkan wanita itu menenggaknya sambil tandas.“Kau belum tidur?” Zahra duduk dan bersandar di head board. Marc den