Kasihan Isvara udah mau ditinggal aja ya :(
Alvano mengangkat kepala. Tidak langsung menangkap makna kata-kata itu.Janin?Kandungan?“Siapa yang hamil?” tanya Alvano pelan, nyaris seperti bukan berasal dari dirinya sendiri.“Istri Anda sedang hamil lima minggu. Kami mengetahuinya setelah melihat hasil USG cepat. Kandungannya masih sangat muda. Tapi trauma di bagian perut cukup parah. Ada jaringan yang luruh saat kami menghentikan pendarahan,” ungkap dokter dengan hati-hati.Alvano tidak bergerak. Seolah-olah otaknya berhenti mengirimkan perintah pada tubuhnya. Ruangan itu mendadak terasa terlalu dingin. Terlalu terang. Terlalu nyata.Dokter ini tidak sedang bercanda, ‘kan?Namun, sang dokter hanya menghela napas perlahan, lalu mengeluarkan selembar formulir dari clipboard yang dibawanya.“Kami perlu melakukan tindakan kuretase. Masih ada sisa jaringan dalam rahim yang harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi. Kami butuh tanda tangan persetujuan Bapak sekarang.”Di bagian atas kertas itu tertera jelas:Persetujuan Tindakan Medi
Gelap. Bau darah. Napas tercekat. Ruangan itu kacau. Kardus berserakan. Kursi terbalik. Udara terasa pekat–seolah kemarahan masih menggantung di setiap sudutnya. “PAK! JANGAN!!” Jefri masuk dengan langkah terburu. Dadanya naik turun, tapi matanya langsung tertuju pada sosok Isvara yang tergeletak di lantai. Babak belur. Hampir tak bergerak. “Pak! Nona Isvara butuh Bapak sekarang! Dia bisa mati kalau kita terlambat!” seru Jefri lagi, nyaris histeris, mencoba menyadarkan Alvano yang sudah bersiap menghantam. Pipa di tangan Alvano berhenti di udara. Genggamannya gemetar. Napasnya berat. Namun, suara Jefri memecah kabut gelap yang menyelimuti pikirannya. Alvano berbalik. Dan dunia seakan berhenti ketika Alvano melihat tubuh istrinya terbaring. Wajahnya pucat, bibirnya sobek, tangannya masih terikat. “Ra ...,” suara lelaki itu akhirnya pecah. Alvano menjatuhkan pipa dan berlari ke sisi istrinya. Dia berlutut, mendekap wajah Isvara yang dingin dengan kedua tangan. “Cantik ... aku di
Itu menampar lebih keras dari tamparan manapun. Namun, tubuh Isvara tidak bereaksi. Dia hanya diam. Karena ... diam itu lebih aman. Diam itu bertahan.“Aku ... nggak ada hubungannya sama itu,” jawab Isvara jujur.“Ada!” Tara membentak lebih keras. “Dia lihat kamu keluar konser. Masuk hotel bareng suami kamu.”“Terus?”“Dia stres. Nggak makan. Nggak tidur. Terus anak kami mati!”Napas Isvara terhenti setengah jalan. Namun, dia tak berusaha mengisi paru-parunya. Mungkin karena tubuhnya tahu ... bahwa bernapas tidak akan membantu.“Kamu yang buat semua keputusan, Tara,” suara Isvara akhirnya keluar, pelan. “Kenapa sekarang kamu datang, dan nyalahin aku atas kehancuran yang kamu sendiri bangun?”“Karena sekarang aku udah nggak punya apa-apa!” Tara membanting kakinya ke lantai. Dentumannya membuat debu bergetar.“Maksud kamu apa?”“Setelah ninggalin kamu, keluargaku marah. Mereka tarik semuanya. Fasilitas, koneksi, uang. Semua!” Tatapan Tara buram. Pupus. Namun, masih membakar. Dan di sana
“Jefri, cepat!” suara Alvano membelah udara di dalam mobil. Tegas. Nyaris tak sabar.Dia menggenggam ponselnya erat, menatap layar kosong yang sejak setengah jam lalu tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan dari Isvara. Nomor tidak aktif. Lokasi tidak terbaca.Sial.Alvano memejamkan mata sesaat, berusaha menenangkan diri, tapi rasanya sia-sia. Dia sudah mencium ada yang tidak beres sejak sore tadi, dan fakta bahwa Tara sudah kembali ke Indonesia sekitar pukul tujuh malam hanya memperkuat firasat buruk itu.Karena itulah, Alvano langsung mengadakan rapat darurat dengan tim keamanan dan legal. Semua protokol lama dibuka kembali, semua skenario terburuk dipertimbangkan. Namun sekarang, hanya ada satu yang penting: menemukan istrinya.Alvano memang pernah menyematkan alat pelacak di ponsel istrinya. Bukan karena posesif, tapi sebagai bentuk perlindungan sejak Tara buron ke luar negeri. Namun, jika ponselnya mati, pelacak itu juga ikut mati. Dan itulah yang terjadi sekarang.Mobil berhent
Mobil berhenti mulus di depan restoran The Velvet Spoon. Amin segera turun dan membukakan pintu dengan sigap. Isvara mengangguk pelan, lalu turun dengan langkah hati-hati. Tumit kecilnya menyentuh lantai batu berpola mozaik di teras restoran.Begitu memasuki ruangan, hawa dingin dari pendingin ruangan langsung menyapu kulitnya. Aroma butter dan rosemary menggantung samar di udara.“Selamat malam. Reservasi atas nama siapa?” Seorang host pria yang berdiri di depan menyambut dengan senyum sopan. Isvara tersenyum kecil, lalu menjawab, “Alvano.”Pelayan itu langsung memeriksa daftar di perangkat digitalnya, lalu mengangguk. “Baik, silakan ikut saya.”Dia berjalan pelan, mengantar Isvara melewati beberapa meja yang sudah terisi. Musik klasik lembut mengalun di latar, diselingi suara alat makan beradu sesekali. Isvara berjalan dengan tenang, menyadari betul sepatu hak rendahnya nyaris tidak berbunyi di karpet tebal yang menghiasi lantai.Sebelum tiba di meja yang dituju, pelayan itu menole
Kali ini, keheningannya seperti membentur dinding. Membekas.“Jangan pernah ngomong gitu,” suara Alvano terdengar rendah dan tajam. “Sekali aja kamu ngomong kayak gitu, Ra … aku bisa gila.”Isvara memejamkan mata. Di antara semua luka yang pernah singgah, suara itu adalah yang paling sulit dia tolak. Lembut, tapi menghantam.“Kita boleh berjarak hari ini. Tapi jangan pergi. Karena kamu itu rumah yang aku pilih. Dan kalau rumah itu hilang, aku nggak tahu mau pulang ke mana,” lanjut Alvano.Hening lagi. Namun kini, bukan karena saling menjauh, melainkan saling menahan. Supaya tidak runtuh bersamaan.“Ra,” suara Alvano terdengar seperti bisikan doa yang jatuh dari tenggorokan yang nyaris putus, “aku pengen kamu sembuh, bukan karena kamu harus siap punya anak. Tapi karena kamu sendiri layak buat tenang. Buat bahagia.”Isvara menutup mulutnya, menahan isak yang akhirnya pecah. Pelan, tapi nyata. Dia tahu, Alvano tidak sempurna. Namun sejak awal, yang dia butuhkan memang bukan kesempurnaan.