Kira-kira Isvara kenapa ya??
Langit di luar jendela mulai terang, tapi ruangan itu tetap sunyi.Isvara membuka mata perlahan.Langit-langit putih. Bau alkohol menyengat. Selimut rumah sakit terasa berat menutupi tubuhnya. Kepalanya nyeri, pandangannya buram, dan seluruh badannya seperti baru disatukan dari kepingan tubuh yang sempat hancur.Oh, tidak.Ruangan ini. Bau ini. Ketidakberdayaan ini.Rumah sakit. Ini tempat yang paling ingin dia hindari seumur hidupnya.Isvara menoleh pelan. Seluruh tubuhnya terasa seperti dihantam berkali-kali. Nyeri menyebar dari perut bawah, tapi perih di lengannya juga tak kalah menusuk. Perban di sana terasa lembap, denyutnya seperti mengingatkan luka yang belum pulih. Dia mencoba menarik napas, tapi setiap helaan seolah menyentuh rongga kosong di dalam tubuhnya.Di samping ranjang, Alvano duduk membungkuk. Wajahnya tertutup kedua telapak tangan. Kemejanya lusuh, rambutnya acak-acakan, dan bahu yang biasanya tegak dan percaya diri itu, kali ini nyaris tak bergerak. Terlalu diam un
Alvano mengangkat kepala. Tidak langsung menangkap makna kata-kata itu.Janin?Kandungan?“Siapa yang hamil?” tanya Alvano pelan, nyaris seperti bukan berasal dari dirinya sendiri.“Istri Anda sedang hamil lima minggu. Kami mengetahuinya setelah melihat hasil USG cepat. Kandungannya masih sangat muda. Tapi trauma di bagian perut cukup parah. Ada jaringan yang luruh saat kami menghentikan pendarahan,” ungkap dokter dengan hati-hati.Alvano tidak bergerak. Seolah-olah otaknya berhenti mengirimkan perintah pada tubuhnya. Ruangan itu mendadak terasa terlalu dingin. Terlalu terang. Terlalu nyata.Dokter ini tidak sedang bercanda, ‘kan?Namun, sang dokter hanya menghela napas perlahan, lalu mengeluarkan selembar formulir dari clipboard yang dibawanya.“Kami perlu melakukan tindakan kuretase. Masih ada sisa jaringan dalam rahim yang harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi. Kami butuh tanda tangan persetujuan Bapak sekarang.”Di bagian atas kertas itu tertera jelas:Persetujuan Tindakan Medi
Gelap. Bau darah. Napas tercekat. Ruangan itu kacau. Kardus berserakan. Kursi terbalik. Udara terasa pekat–seolah kemarahan masih menggantung di setiap sudutnya. “PAK! JANGAN!!” Jefri masuk dengan langkah terburu. Dadanya naik turun, tapi matanya langsung tertuju pada sosok Isvara yang tergeletak di lantai. Babak belur. Hampir tak bergerak. “Pak! Nona Isvara butuh Bapak sekarang! Dia bisa mati kalau kita terlambat!” seru Jefri lagi, nyaris histeris, mencoba menyadarkan Alvano yang sudah bersiap menghantam. Pipa di tangan Alvano berhenti di udara. Genggamannya gemetar. Napasnya berat. Namun, suara Jefri memecah kabut gelap yang menyelimuti pikirannya. Alvano berbalik. Dan dunia seakan berhenti ketika Alvano melihat tubuh istrinya terbaring. Wajahnya pucat, bibirnya sobek, tangannya masih terikat. “Ra ...,” suara lelaki itu akhirnya pecah. Alvano menjatuhkan pipa dan berlari ke sisi istrinya. Dia berlutut, mendekap wajah Isvara yang dingin dengan kedua tangan. “Cantik ... aku di
Itu menampar lebih keras dari tamparan manapun. Namun, tubuh Isvara tidak bereaksi. Dia hanya diam. Karena ... diam itu lebih aman. Diam itu bertahan.“Aku ... nggak ada hubungannya sama itu,” jawab Isvara jujur.“Ada!” Tara membentak lebih keras. “Dia lihat kamu keluar konser. Masuk hotel bareng suami kamu.”“Terus?”“Dia stres. Nggak makan. Nggak tidur. Terus anak kami mati!”Napas Isvara terhenti setengah jalan. Namun, dia tak berusaha mengisi paru-parunya. Mungkin karena tubuhnya tahu ... bahwa bernapas tidak akan membantu.“Kamu yang buat semua keputusan, Tara,” suara Isvara akhirnya keluar, pelan. “Kenapa sekarang kamu datang, dan nyalahin aku atas kehancuran yang kamu sendiri bangun?”“Karena sekarang aku udah nggak punya apa-apa!” Tara membanting kakinya ke lantai. Dentumannya membuat debu bergetar.“Maksud kamu apa?”“Setelah ninggalin kamu, keluargaku marah. Mereka tarik semuanya. Fasilitas, koneksi, uang. Semua!” Tatapan Tara buram. Pupus. Namun, masih membakar. Dan di sana
“Jefri, cepat!” suara Alvano membelah udara di dalam mobil. Tegas. Nyaris tak sabar.Dia menggenggam ponselnya erat, menatap layar kosong yang sejak setengah jam lalu tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan dari Isvara. Nomor tidak aktif. Lokasi tidak terbaca.Sial.Alvano memejamkan mata sesaat, berusaha menenangkan diri, tapi rasanya sia-sia. Dia sudah mencium ada yang tidak beres sejak sore tadi, dan fakta bahwa Tara sudah kembali ke Indonesia sekitar pukul tujuh malam hanya memperkuat firasat buruk itu.Karena itulah, Alvano langsung mengadakan rapat darurat dengan tim keamanan dan legal. Semua protokol lama dibuka kembali, semua skenario terburuk dipertimbangkan. Namun sekarang, hanya ada satu yang penting: menemukan istrinya.Alvano memang pernah menyematkan alat pelacak di ponsel istrinya. Bukan karena posesif, tapi sebagai bentuk perlindungan sejak Tara buron ke luar negeri. Namun, jika ponselnya mati, pelacak itu juga ikut mati. Dan itulah yang terjadi sekarang.Mobil berhent
Mobil berhenti mulus di depan restoran The Velvet Spoon. Amin segera turun dan membukakan pintu dengan sigap. Isvara mengangguk pelan, lalu turun dengan langkah hati-hati. Tumit kecilnya menyentuh lantai batu berpola mozaik di teras restoran.Begitu memasuki ruangan, hawa dingin dari pendingin ruangan langsung menyapu kulitnya. Aroma butter dan rosemary menggantung samar di udara.“Selamat malam. Reservasi atas nama siapa?” Seorang host pria yang berdiri di depan menyambut dengan senyum sopan. Isvara tersenyum kecil, lalu menjawab, “Alvano.”Pelayan itu langsung memeriksa daftar di perangkat digitalnya, lalu mengangguk. “Baik, silakan ikut saya.”Dia berjalan pelan, mengantar Isvara melewati beberapa meja yang sudah terisi. Musik klasik lembut mengalun di latar, diselingi suara alat makan beradu sesekali. Isvara berjalan dengan tenang, menyadari betul sepatu hak rendahnya nyaris tidak berbunyi di karpet tebal yang menghiasi lantai.Sebelum tiba di meja yang dituju, pelayan itu menole