Maaf ya baru up sekarang, semalam ketiduran hehe...
Alvano dan sang ayah melangkah keluar ke balkon. Dari ketinggian itu, lampu-lampu kota berkelip seperti bintang yang jatuh ke bumi.Alvano bersandar sebentar pada pagar besi, lalu melipat kedua tangan di dada. Sorot matanya tajam, tapi ada bara yang jelas bersembunyi di baliknya.“Pap, sampai kapan Papa mau terus main-main sama urusan itu?” Alvano memulai percakapan.“Urusan apa maksudmu?” tanya Atma yang kini berdiri tidak jauh dari anak lelakinya. Tatapannya diarahkan ke jalanan yang ramai di bawah.“Wanita simpanan.” Alvano menjawab tegas tanpa basa-basi. “Aku tahu, Pap. Dari dulu aku diam, aku tutup mulut karena masih hormat. Tapi sekarang, Papa sebentar lagi jadi kakek. Masih mau begini terus?”“Kamu berani sekali bicara begitu pada ayahmu,” tukas Atma.“Aku berani karena aku muak, Pap!” nada Alvano meninggi, tapi matanya berkilat getir. “Papa yang ngajarin aku soal reputasi, kehormatan keluarga, soal nama besar. Tapi justru Papa sendiri yang main kotor di belakang keluarga.”Ang
Setelah hampir setengah jam berkeliling, lampu jalan sudah semakin sepi. Alvano mulai kesal sendiri, rahangnya mengeras sambil mengetuk setir. “Mana ada orang jual rujak malem-malem gini? Ini udah hampir jam sembilan, Ra,” gerutunya.“Aku kira ada, Mas. Biasanya, ‘kan ada aja tukang gerobak yang masih buka sampai malam,” cicitnya merasa bersalah, tapi juga masih berharap.“Kalau pun ada, itu bukan rujak Bangkok. Itu rujak random yang entah pakai apa,” sahut Alvano dingin, matanya tetap fokus ke jalan.Isvara cemberut, lalu meraih ponselnya. “Kalau gitu aku tanya Ibu, siapa tahu Ibu tahu tempatnya.” Namun, setelah beberapa kali mencoba, hasilnya nihil. “Ih, Ibu juga nggak tahu. Katanya paling besok baru ada.”Alvano menghela napas panjang, mencoba menahan frustrasi. Namun, begitu menoleh sebentar dan melihat wajah istrinya yang kecewa, hatinya langsung melembek. “Udah, biar aku cari cara lain.” Tanpa pikir panjang, pria itu menepikan mobil dan meraih ponselnya. Jarinya cepat menekan
Dua minggu berselang setelah kabar bahagia itu, hidup Alvano dan Isvara berubah cukup drastis.Ucapan selamat berdatangan dari seluruh keluarga besar Narendra, juga keluarga kecil Isvara. Mereka semua menyambut kabar ini dengan antusias. Bagaimana tidak? Isvara sedang mengandung cucu pertama di dua keluarga.Hadiah-hadiah mulai berdatangan hampir setiap hari. Dari baju bayi mungil, selimut rajut, hingga boneka beruang setinggi pinggang orang dewasa. Padahal usia kandungannya baru tujuh minggu. Rasanya memang agak berlebihan, tapi juga sekaligus membuat rumah mereka seperti sudah siap menyambut kehadiran seorang malaikat kecil.Malam itu, meja makan dipenuhi aroma sop buntut hangat dan roti garlic butter yang baru keluar dari oven. Isvara duduk sambil memainkan sendoknya, ekspresi wajahnya jelas menyimpan sesuatu.“Mas,” panggil Isvara akhirnya, dengan nada sedikit hati-hati.“Hm?” Alvano menoleh, sedang sibuk mengaduk supnya agar tidak terlalu panas.“Aku udah boleh mulai kerja belum?”
Alvano terdiam, kedua matanya membelalak menatap layar USG yang menampilkan titik mungil berkedip pelan. Sesaat bibirnya kaku, lalu perlahan bergerak. “Iya, Ra… itu anak kita.”Air mata pria itu jatuh tanpa bisa ditahan, mengalir begitu saja. Dia menunduk mencium kening Isvara lama sekali, seolah menandai momen itu ke dalam ingatannya.“Terima kasih … kamu udah kasih aku hadiah terbesar dalam hidupku,” bisiknya dengan suara bergetar.Isvara tak sanggup menahan tangis. Jemarinya yang kecil menggenggam tangan Alvano erat-erat.‘Tolong lindungi kami, Tuhan,’ batin Isvara lirih. Air matanya menyusul turun deras, bukan karena takut, melainkan karena rasa syukur yang tak terkira.“Kondisi janin bagus. Detak jantungnya mulai terbentuk meski masih sangat dini. Tapi, saya tekankan: Ibu harus banyak istirahat. Tidak boleh kecapekan, tidak boleh stres. Itu kunci utamanya,” tutur dokter dengan senyum lembut di wajahnya.Belum sempat Isvara mengangguk, Alvano sudah lebih dulu menimpali cepat, “Say
Isvara menggeliat pelan, kelopak matanya berat saat terbuka. Pandangannya sempat kabur sebelum perlahan menangkap sosok suaminya yang duduk di sisi ranjang.Wajah pria itu pucat, rambutnya agak berantakan, dasi longgar seolah sudah lama tak tersentuh, jas yang Alvano pakai entah sudah di mana. Tatapannya terpaku pada jemari Isvara yang digenggamnya erat-erat, seakan jika dilepas, sesuatu yang berharga akan hilang begitu saja. Begitu melihat mata istrinya bergerak, Alvano langsung menunduk, menatapnya penuh lega.“Ra … kamu sadar juga akhirnya,” ucapnya dengan suara serak yang sulit disembunyikan.“Aku di rumah sakit?” Isvara memastikan, lalu mencoba tersenyum tipis meski tubuhnya masih terasa lemah. “Iya. Kamu tadi pingsan,” jawab Alvano lembut. Dia buru-buru menambahkan, “Tapi tenang, kamu udah stabil sekarang.”Isvara menarik napas pendek, menatap wajah suaminya yang jelas masih menyimpan sisa panik. “Maaf bikin kamu repot, Mas.”Alvano cepat menggeleng, genggamannya pada tangan Is
Dua minggu berselang, pesta pernikahan Aksara akhirnya tiba. Pernikahan yang dulu jadi alasan Isvara harus lebih dulu menikah, kini benar-benar terlaksana hari ini.Ballroom hotel malam itu berkilau dalam balutan dekorasi modern: lampu gantung kristal memantulkan cahaya keemasan, bunga putih dan eucalyptus tersusun anggun di setiap sudut.Alvano dan Isvara melangkah masuk bergandengan. Alvano tampak gagah dengan tuxedo hitam yang jatuh rapi di bahu bidangnya, sedangkan Isvara mengenakan gaun satin biru pastel dengan potongan simpel namun elegan, rambutnya disanggul rendah berhiaskan hairpin perak. Beberapa tamu sempat menoleh, tidak hanya karena reputasi mereka, tapi juga karena aura pasangan itu memang memikat.Begitu melihat keduanya, Anita langsung menyambut dengan senyum lebar, sementara Baskara menepuk pelan bahu menantunya. “Kalian datang tepat waktu. Ayo, ke pelaminan dulu, acaranya sebentar lagi dimulai.”Di atas pelaminan, Aksara berdiri gagah dengan setelan tuxedo putih yang