Semoga kalian suka sama 2 bab yang udah aku up ya :) Ayo tinggalkan jejak...
Dua minggu berselang setelah kabar bahagia itu, hidup Alvano dan Isvara berubah cukup drastis.Ucapan selamat berdatangan dari seluruh keluarga besar Narendra, juga keluarga kecil Isvara. Mereka semua menyambut kabar ini dengan antusias. Bagaimana tidak? Isvara sedang mengandung cucu pertama di dua keluarga.Hadiah-hadiah mulai berdatangan hampir setiap hari. Dari baju bayi mungil, selimut rajut, hingga boneka beruang setinggi pinggang orang dewasa. Padahal usia kandungannya baru tujuh minggu. Rasanya memang agak berlebihan, tapi juga sekaligus membuat rumah mereka seperti sudah siap menyambut kehadiran seorang malaikat kecil.Malam itu, meja makan dipenuhi aroma sop buntut hangat dan roti garlic butter yang baru keluar dari oven. Isvara duduk sambil memainkan sendoknya, ekspresi wajahnya jelas menyimpan sesuatu.“Mas,” panggil Isvara akhirnya, dengan nada sedikit hati-hati.“Hm?” Alvano menoleh, sedang sibuk mengaduk supnya agar tidak terlalu panas.“Aku udah boleh mulai kerja belum?
Alvano terdiam, kedua matanya membelalak menatap layar USG yang menampilkan titik mungil berkedip pelan. Sesaat bibirnya kaku, lalu perlahan bergerak. “Iya, Ra… itu anak kita.”Air mata pria itu jatuh tanpa bisa ditahan, mengalir begitu saja. Dia menunduk mencium kening Isvara lama sekali, seolah menandai momen itu ke dalam ingatannya.“Terima kasih … kamu udah kasih aku hadiah terbesar dalam hidupku,” bisiknya dengan suara bergetar.Isvara tak sanggup menahan tangis. Jemarinya yang kecil menggenggam tangan Alvano erat-erat.‘Tolong lindungi kami, Tuhan,’ batin Isvara lirih. Air matanya menyusul turun deras, bukan karena takut, melainkan karena rasa syukur yang tak terkira.“Kondisi janin bagus. Detak jantungnya mulai terbentuk meski masih sangat dini. Tapi, saya tekankan: Ibu harus banyak istirahat. Tidak boleh kecapekan, tidak boleh stres. Itu kunci utamanya,” tutur dokter dengan senyum lembut di wajahnya.Belum sempat Isvara mengangguk, Alvano sudah lebih dulu menimpali cepat, “Say
Isvara menggeliat pelan, kelopak matanya berat saat terbuka. Pandangannya sempat kabur sebelum perlahan menangkap sosok suaminya yang duduk di sisi ranjang.Wajah pria itu pucat, rambutnya agak berantakan, dasi longgar seolah sudah lama tak tersentuh, jas yang Alvano pakai entah sudah di mana. Tatapannya terpaku pada jemari Isvara yang digenggamnya erat-erat, seakan jika dilepas, sesuatu yang berharga akan hilang begitu saja. Begitu melihat mata istrinya bergerak, Alvano langsung menunduk, menatapnya penuh lega.“Ra … kamu sadar juga akhirnya,” ucapnya dengan suara serak yang sulit disembunyikan.“Aku di rumah sakit?” Isvara memastikan, lalu mencoba tersenyum tipis meski tubuhnya masih terasa lemah. “Iya. Kamu tadi pingsan,” jawab Alvano lembut. Dia buru-buru menambahkan, “Tapi tenang, kamu udah stabil sekarang.”Isvara menarik napas pendek, menatap wajah suaminya yang jelas masih menyimpan sisa panik. “Maaf bikin kamu repot, Mas.”Alvano cepat menggeleng, genggamannya pada tangan Is
Dua minggu berselang, pesta pernikahan Aksara akhirnya tiba. Pernikahan yang dulu jadi alasan Isvara harus lebih dulu menikah, kini benar-benar terlaksana hari ini.Ballroom hotel malam itu berkilau dalam balutan dekorasi modern: lampu gantung kristal memantulkan cahaya keemasan, bunga putih dan eucalyptus tersusun anggun di setiap sudut.Alvano dan Isvara melangkah masuk bergandengan. Alvano tampak gagah dengan tuxedo hitam yang jatuh rapi di bahu bidangnya, sedangkan Isvara mengenakan gaun satin biru pastel dengan potongan simpel namun elegan, rambutnya disanggul rendah berhiaskan hairpin perak. Beberapa tamu sempat menoleh, tidak hanya karena reputasi mereka, tapi juga karena aura pasangan itu memang memikat.Begitu melihat keduanya, Anita langsung menyambut dengan senyum lebar, sementara Baskara menepuk pelan bahu menantunya. “Kalian datang tepat waktu. Ayo, ke pelaminan dulu, acaranya sebentar lagi dimulai.”Di atas pelaminan, Aksara berdiri gagah dengan setelan tuxedo putih yang
“Maksud Opa?” tanya Alvano dengan alis bertaut.Tatapan Giri beralih ke Isvara, lembut namun sarat makna. “Itu warisan yang Opa siapkan untuk cicit Opa nanti. Opa takut, saat dia lahir, Opa sudah tidak ada. Jadi, lebih baik Opa titipkan lebih dulu ke tangan yang bisa dipercaya.”Isvara tertegun. Saat menerima saham itu, Giri sama sekali tidak memberi penjelasan mengenai warisan ini. Dia pun tidak berani bertanya lebih jauh karena segan. Baru sekarang dia tahu alasan sebenarnya, dan penjelasan itu membuat dadanya sesak oleh rasa haru yang sulit didefinisikan.“Opa, kenapa harus lewat istriku? Kenapa tidak langsung ke aku?” tanya Alvano. Dia tidak mengerti apa yang ada di balik keputusan pria tua itu. Apalagi Isvara–dari kacamata bisnis–tidak punya kapasitas untuk menjaga saham sebesar itu.“Karena kamu terlalu sibuk menanggung tahta, Van. Saham itu bukan hanya angka atau kendali perusahaan. Itu perisai. Dan perisai paling kuat harus ada di tangan seorang ibu,” jawab Giri tenang.Ruangan
Suara-suara meledak seketika!“Apa?!” Salah satu direksi senior hampir terjungkal dari kursinya.“Lima belas persen?!” Investor asing sampai berdiri, menoleh satu sama lain.Wajah Soedibyo tua langsung mengeras, senyumnya sirna.Alvano menoleh, mata membelalak. “Kamu …?”Isvara hanya menatap sekilas, lalu kembali pada forum.“Dan saya menggunakan hak suara saya untuk mendukung Pak Alvano Narendra Putra sebagai CEO Valora,” suaranya mantap, nyaris tanpa getar.Sekretaris terperangah, buru-buru mencatat. Ketua rapat butuh waktu beberapa detik sebelum bisa bersuara.“Dengan tambahan lima belas persen, hasil voting akhir: 60% mendukung, 30% menolak, 10% abstain.”“Dengan suara mayoritas, Pak Alvano Narendra Putra tetap menjabat sebagai CEO Valora.” Setelah itu, ketukan palu terdengar keras, menggema di seluruh ruangan.Separuh ruangan menghela napas lega, separuh lainnya mendecak tak percaya. Soedibyo menunduk, menyembunyikan amarah yang hampir meledak.Ketukan palu baru saja mereda ketika