Mas Al memang selalu di luar prediksi :(
Alvano terperanjat, tubuhnya terhempas ke sandaran sofa. Sementara Isvara langsung bangkit dengan kaki yang sedikit goyah, lalu berjalan cepat ke arah ranjang hotel. Dia meraih selimut di atasnya, kemudian membungkus diri rapat-rapat. Punggungnya membelakangi Alvano, bahunya bergetar hebat menahan tangis.Air mata jatuh deras, membasahi selimut yang ditekan kuat ke wajahnya. Semua amarah, sakit hati, dan lelah yang perempuan itu tahan akhirnya pecah jadi tangisan.“Ra …” panggilnya serak. Tidak ada jawaban. Hanya tangisan yang semakin menohok daripada teriakan.Pelan, Alvano berdiri. Dia meraih bathrobe yang tergantung di sisi kamar, memakainya cepat. Tubuhnya masih panas, tapi dia tidak peduli. Lalu dia membuka lemari kecil di samping meja, mengambil satu bathrobe lain yang masih terlipat rapi.Dengan langkah hati-hati, pria itu mendekati ranjang. Tangannya sempat terhenti di atas selimut yang membungkus tubuh Isvara, ragu untuk menyentuh. Akhirnya dia hanya meletakkan bathrobe itu d
Dengan langkah berat, Alvano menggiring Isvara mundur hingga betis perempuan itu menyentuh tepi sofa. Tangannya terulur, menarik scarf dari leher Isvara dengan gerakan tegas, melemparkannya asal ke lantai. Baru setelah itu jemarinya menyusup ke rambut hitam istrinya yang terurai, kali ini menarik kuat hingga lehernya terekspos. Bibirnya turun ke sana, mencium, menggigit, menghisap, meninggalkan jejak merah basah yang membuat Isvara mendesis.“Jangan–” suara Isvara lemah, nyaris rintihan.Alvano menahan bibirnya di kulit Isvara lebih lama, suaranya pecah rendah di antara helaan napas. “Kamu boleh marah, boleh jauhin aku … tapi jangan pernah bikin aku ngerasa kamu udah bukan milikku lagi.”Dorongan di bahu membuat Isvara terduduk di tepi sofa. Punggungnya tegak, napasnya tidak beraturan, sementara tubuh Alvano menjulang di depannya. Hanya butuh satu langkah baginya untuk turun berlutut di lantai, tepat di antara kedua kaki istrinya, membuat posisi Isvara semakin tak berdaya.Resleting
Isvara akhirnya menoleh, tapi sudut bibirnya nyaris terangkat. Bukan karena lucu, tapi karena pria ini memang selalu tahu cara membuatnya kesal setengah mati.“Lihat ini, video dari CCTV lantai bawah.” Alvano menggeser ponselnya lebih dekat.Di layar, Isvara melihat sosok Alvano yang sedang mabuk di meja bar bersama Jefri, lalu seorang perempuan mendekat, menarik-narik lengannya. Gerakannya jelas memaksa.“Lihat gimana dia narik-narik aku. Bukan aku yang nyari dia, Ra. Dia yang maksa ikut,” ucap Alvano tegas.Isvara masih diam, matanya terpaku pada layar, tapi bibirnya terkatup rapat.“Lagian, ngapain aku beli pelacur sih? Kalau aku punya istri yang …,” Alvano mencondongkan tubuh, menatap Isvara lekat-lekat, “… jauh lebih cantik. Dan jauh lebih memuaskan.”Isvara langsung menoleh cepat, wajahnya memanas. “Kamu–”“Karena cuma kamu yang bisa bikin aku kehilangan kendali,” potong Alvano. “Nggak ada yang lain bisa bikin aku segila ini.”Isvara mengerjap, mencoba mempertahankan tatapan taja
Isvara tercekat. Kata-kata itu sederhana, tapi justru membuat dadanya berdenyut. Dia buru-buru memalingkan wajah, melanjutkan langkah dengan lebih cepat. Dan Alvano tetap mengikuti, tanpa menambah kata.Sekitar sepuluh menit kemudian mereka sampai. Isvara masuk, memesan secangkir matcha latte hangat. Alvano ikut masuk beberapa detik kemudian, hanya memesan kopi hitam, lalu duduk di meja terdekat.Mereka tidak duduk bersama, tapi posisi kursi mereka cukup dekat untuk tetap saling tahu.Isvara membuka novel yang dia bawa dari kamar, pura-pura sibuk membaca. Namun, dari sela-sela halaman, dia bisa merasakan tatapan Alvano yang kadang jatuh ke arahnya. Tidak menuntut, tidak mendesak. Hanya ada.Dan entah kenapa, jauh lebih sulit diabaikan daripada jika pria itu memaksa.Isvara menutup bukunya keras-keras, lalu mendengus. “Kalau kamu kira aku bakal luluh cuma karena kamu diem-diem ngikutin aku kayak gini … kamu salah besar.”“Aku nggak pernah bilang aku benar,” sahut Alvano lalu menyesap ko
“Oke, kalau gitu aku nginep di kamar lain.” Suara Alvano terdengar rendah, berat, tapi tetap keluar. Mengalah lebih baik daripada memaksa dan makin menyakiti.“Bagus.” Itu satu-satunya kata dari Isvara yang menutup percakapan mereka.Alvano tidak membantah. Dia hanya mengambil kopernya, melangkah ke pintu, lalu keluar dengan langkah berat.__Malam harinya, Isvara turun ke restoran hotel untuk makan malam. Scarf melingkari lehernya, langkahnya pelan, seolah setiap meter menuju ruang makan hanya menambah beban di bahunya. Walau malas, tubuhnya tetap butuh makanan.Ruang makan dipenuhi cahaya lampu gantung yang hangat, dentingan sendok-garpu berpadu dengan musik akustik rendah. Isvara memilih meja di pojok, jauh dari keramaian. Dia memesan bibimbap dan segelas hallabong tea, menu paling aman tanpa banyak berpikir.Namun sebelum pesanan datang, perasaannya sudah terganggu. Dari ekor matanya, dia menangkap sosok pria tinggi berjaket hitam, duduk di meja tak jauh darinya. Alvano.Pria itu t
Pagi berikutnya.Cahaya pagi menyelinap lembut lewat celah tirai bata vulkanik. Isvara duduk di tepi balkon, bersandar di kursi rotan dengan jaket tipis menutup bahu. Uap teh hangat di tangannya menari pelan, sementara angin laut membawa aroma asin bercampur segar rerumputan.Hari ini perempuan itu memutuskan keluar, hanya untuk berjalan tanpa tujuan jelas. Kafe Chi Chi, yang katanya terkenal di kalangan wisatawan dan penduduk lokal, hanya berjarak beberapa menit dari hotel. Menu deli sederhana, hallabong tea, dan carrot cake khas Jeju menjadi alasan kecil untuk keluar dari kepompong kamarnya.Jalan setapak menuju kafe dihiasi pohon pinus ramping dan rerumputan tinggi yang bergoyang oleh angin. Di kejauhan, samar-samar terdengar debur ombak. Setiap langkah membuat napas perempuan itu sedikit lebih lega, seolah tiap meter menjauhkan dirinya dari kenangan yang menyesakkan.Chi Chi tampak hangat dari luar. Interior kayu lembut, aroma kopi bercampur citrus dari hallabong, dan musik akusti