Makasih loh yang masih setia sama sampai bab ini :) Love u all guys...
“Mas, kamu itu kenapa malah gangguin aku meeting, sih?” omel Isvara begitu mereka duduk di mobil. Kesal memang, tapi pipinya masih merah mengingat sepanjang meeting tadi tangan pria itu tidak pernah diam membelai pahanya.Untung saja Rangga tidak menyadari apa-apa dan meeting bisa berjalan lancar. Walau Isvara harus buru-buru menyudahi pembahasan sebelum wajahnya benar-benar ketahuan kaku.Alvano menyalakan mesin mobil, ekspresinya tenang seakan tidak ada yang salah. “Gangguin gimana?” tanyanya enteng, seolah polos.“Pura-pura nggak tahu lagi?!” Isvara menoleh cepat, matanya menyipit. “Kalau Pak Rangga sampai ngeh, gimana coba? Malu banget aku!”Alvano melirik sekilas, lalu senyum tipis melengkung di bibirnya. “Nggak akan. Dia terlalu sibuk lihat kamu, sampai nggak sempat perhatiin hal lain.”Isvara ternganga, kesal sekaligus ingin tertawa. “Astaga, jadi kamu sengaja? Biar apa?”“Biar dia tahu kamu nggak sendirian,” jawab Alvano datar, tapi jemarinya mengetuk setir dengan ritme pelan,
Karena Isvara harus menghadiri meeting dan Alvano bersikeras menemaninya, akhirnya diputuskan si kembar menginap di rumah Nenek dan Kakeknya, Anita dan Baskara. Rumah orang tua Isvara memang tidak sebesar kediaman keluarga Narendra, tetapi justru di situlah kedua anak itu merasa paling betah. Suasana hangat, penuh cerita, dan tentu saja dimanja habis-habisan oleh sang kakek-nenek.Biasanya si kembar anteng saja ditinggal di rumah dengan para pengasuh dan Wati. Namun malam ini ketiganya tidak ada, jadi mau tidak mau Avanil dan Avanira dititipkan. Untung saja begitu mendengar kabar akan menginap, mereka langsung bersorak gembira, sudah membayangkan main petak umpet di halaman belakang rumah bersama Baskara atau mendengar dongeng pengantar tidur dari Anita.“Anak-anak kayaknya malah senang banget dititipin, ya,” gumam Isvara sambil mengusap rambut Avanira yang tak henti-hentinya bertanya apakah boleh bawa boneka kesayangan ke rumah Nenek.“Ya, karena di sana mereka bisa bebas tanpa ada
Mobil yang dikendarai Isvara melaju kencang membelah siang yang terik. Itu adalah mobil milik Lita yang dipinjamnya terburu-buru. Tangannya mencengkeram setir erat, napasnya tersengal karena cemas. Pikirannya penuh bayangan buruk tentang si kembar.‘Ya Tuhan, semoga mereka baik-baik saja. Tolong jangan ada yang serius,’ batin Isvara berulang kali, sementara jarum penunjuk kecepatan terus naik.Begitu gerbang sekolah terlihat, Isvara langsung memarkir mobilnya sembarangan, tak peduli tatapan terkejut satpam yang berjaga. Dia keluar tergesa, sepatu haknya menghentak keras di paving block, hampir berlari menuju lobi sekolah.Di depan lobi, seorang guru dengan cardigan biru muda sudah menunggu–Ratih. Wajah wanita itu tampak tegang dan sedikit pucat.“Miss Ratih!” sapa Isvara. Napasnya tersengal ketika berhenti di depan guru itu. “Anak-anak saya … mereka di mana? Mereka tidak apa-apa, ‘kan?”Ratih cepat menghampiri, mencoba memberi senyum menenangkan meski jelas terlihat cemas. “Bu Isvara,
Mobil hitam keluarga itu meluncur mulus di jalanan kota. Alvano duduk di balik kemudi–pilihan yang jarang dia ambil, karena biasanya sopir pribadi yang bertugas. Namun, pagi ini berbeda. Dia ingin menikmati momen berharga mengantar sendiri keluarganya, sesuatu yang tidak selalu bisa dia lakukan di tengah jadwal padatnya.Di kursi belakang, Isvara duduk diapit si kembar. Avanira bersandar manja di bahu ibunya, sedangkan Avanil duduk tegak dengan ekspresi serius.“Hari ini jangan lupa bilang terima kasih sama guru kalian, ya,” pesan Isvara sambil menoleh ke kedua buah hatinya. “Khususnya kamu, Nil. Jangan jutek sama Miss Ratih.”“Aku nggak jutek, Mommy. Aku cuma nggak suka kalau Miss Ratih suruh Nira berdiri lama pas nyanyi. Nanti dia capek,” sanggah Avanil tenang.Avanira yang sedari tadi diam, menoleh dengan mata berkaca-kaca, ekspresinya persis seperti Isvara saat sedang terharu. “Nil baik banget sama aku,” gumam Avanira.Avanil menepuk dada kecilnya dengan mantap. “Aku kakak laki-la
Terkadang, Isvara masih tak percaya bagaimana waktu bisa berlalu begitu cepat.Rasanya baru kemarin dia berjuang di ruang bersalin, menatap dua wajah mungil yang langsung mencuri seluruh hatinya. Kini, lima tahun sudah berlalu, dan dua bayi itu telah tumbuh menjadi bocah yang bisa membuat rumah terasa hidup, tapi kadang seperti arena perang.Pagi ini, matahari menyelinap masuk lewat jendela besar dapur, menciptakan semburat hangat di meja makan yang sudah tertata rapi. Aroma roti panggang dan telur orak-arik bercampur dengan wangi kopi hitam yang mengepul dari mesin di pojok ruangan.Isvara mondar-mandir dengan tangan cekatan. Satu sisi dia memeriksa wajan di kompor, di sisi lain dia mengecek kotak bekal si kembar yang sudah tersusun di atas meja. Biasanya, Wati membantu semua ini. Namun pagi ini, baik Wati maupun pengasuh si kembar sedang cuti, sehingga Isvara merasa sepertinya harus punya sepuluh tangan.“Avanil, Avanira, ayo sarapan dulu!” panggil Isvara dari dapur dengan nada seten
Dua tahun kemudian.Lampu kristal berkilauan di langit-langit ballroom hotel bintang lima. Lantai marmer memantulkan cahaya keemasan, dan denting piano lembut mengiringi suasana hangat pesta pernikahan. Siapa sangka, seorang Jefri–dulu hanya dikenal sebagai asisten pribadi Alvano–kini berdiri gagah di pelaminan, bersanding dengan Adisti, putri pertama keluarga Narendra.Tidak ada campur tangan uang keluarga Narendra, tidak juga sentuhan dana dari keluarga Adisti. Semua murni usaha Jefri. Dan dia sengaja menegaskan hal itu: bahwa seorang ‘anak orang biasa’ pun bisa membiayai pernikahan mewah dengan putri konglomerat, bahkan sudah membeli rumah di kompleks yang sama dengan Alvano.Di antara tamu undangan yang mengenakan busana terbaik mereka, dua bocah kecil berlari-lari dengan tawa riang. Avanil dengan kemeja kecil dan rompi, wajahnya serius seperti miniatur ayahnya, sementara Avanira dengan gaun tulle krem muda, dan rambut dikuncir dua.“Avanil, Avanira! Jangan jauh-jauh!” suara pengas