Tinggalkan komentar guys :)
Alvano yang berada di atasnya langsung merasakan perubahan itu. Gerakannya terhenti mendadak, wajahnya menunduk penuh cemas. “Cantik? Kamu sakit?”Isvara buru-buru menggeleng, meski pelipisnya basah oleh keringat dingin. “Nggak … cuma terlalu intens mungkin, Mas,” suaranya lirih, tapi matanya memohon agar jangan ditinggalkan di tengah jalan.Alvano menatapnya, rahangnya mengeras, napasnya memburu. Untuk sesaat dia hampir menghentikan semuanya. Namun, tatapan istrinya yang memohon, tubuhnya yang bergetar menahan, membuat pertahanannya runtuh.Dia kembali bergerak, kali ini lebih hati-hati, tapi tetap dengan ritme yang berat dan dalam. Setiap dorongan terasa semakin sulit dikendalikan, membuat suara Isvara pecah jadi erangan panjang yang menggema di kamar.Tubuh Alvano tegang, setiap ototnya menjerit, tanda bahwa dirinya sudah berada di ujung batas. Nalurinya ingin tenggelam sepenuhnya dalam tubuh istrinya, menyatu tanpa sisa. Namun suara Isvara sebelumnya–peringatan agar tidak kebablasa
Isvara mematuhi dengan senang hati. Paha indahnya terbuka, memberikan undangan yang tak tersiratkan kata-kata. Alvano menatap pemandangan itu dengan mata kelam, napasnya memburu. Dia mengurut miliknya yang sudah begitu keras dan siap, sebelum menunduk dan menyatu dengan istrinya.Ah, sial. Alvano menghentakkan kepalanya ke belakang, desahan tertahan lolos dari tenggorokannya.Isvara menahan napasnya, tubuhnya tegang saat penyatuan itu berlangsung perlahan. Inti tubuhnya yang sudah begitu basah menerima setiap inci bagian Alvano yang penuh, hangat, dan selalu saja membuatnya menggila. Benar-benar gila.Begitu Alvano mulai bergerak, Isvara diterpa badai kepanikan bernama nikmat. Setiap tarikan dan dorongan terasa seperti gelombang yang menghantam, membuat tubuhnya melengkung dan desahannya terdengar khidmat, hampir seperti doa yang terputus-putus.“Mas, tunggu.” Isvara menginterupsi, suaranya terputus-putus di tengah napasnya yang memburu.Alvano terhenti seketika. “Kenapa, Cantik?” tany
“Mas, kamu itu kenapa malah gangguin aku meeting, sih?” omel Isvara begitu mereka duduk di mobil. Kesal memang, tapi pipinya masih merah mengingat sepanjang meeting tadi tangan pria itu tidak pernah diam membelai pahanya.Untung saja Rangga tidak menyadari apa-apa dan meeting bisa berjalan lancar. Walau Isvara harus buru-buru menyudahi pembahasan sebelum wajahnya benar-benar ketahuan kaku.Alvano menyalakan mesin mobil, ekspresinya tenang seakan tidak ada yang salah. “Gangguin gimana?” tanyanya enteng, seolah polos.“Pura-pura nggak tahu lagi?!” Isvara menoleh cepat, matanya menyipit. “Kalau Pak Rangga sampai ngeh, gimana coba? Malu banget aku!”Alvano melirik sekilas, lalu senyum tipis melengkung di bibirnya. “Nggak akan. Dia terlalu sibuk lihat kamu, sampai nggak sempat perhatiin hal lain.”Isvara ternganga, kesal sekaligus ingin tertawa. “Astaga, jadi kamu sengaja? Biar apa?”“Biar dia tahu kamu nggak sendirian,” jawab Alvano datar, tapi jemarinya mengetuk setir dengan ritme pelan,
Karena Isvara harus menghadiri meeting dan Alvano bersikeras menemaninya, akhirnya diputuskan si kembar menginap di rumah Nenek dan Kakeknya, Anita dan Baskara. Rumah orang tua Isvara memang tidak sebesar kediaman keluarga Narendra, tetapi justru di situlah kedua anak itu merasa paling betah. Suasana hangat, penuh cerita, dan tentu saja dimanja habis-habisan oleh sang kakek-nenek.Biasanya si kembar anteng saja ditinggal di rumah dengan para pengasuh dan Wati. Namun malam ini ketiganya tidak ada, jadi mau tidak mau Avanil dan Avanira dititipkan. Untung saja begitu mendengar kabar akan menginap, mereka langsung bersorak gembira, sudah membayangkan main petak umpet di halaman belakang rumah bersama Baskara atau mendengar dongeng pengantar tidur dari Anita.“Anak-anak kayaknya malah senang banget dititipin, ya,” gumam Isvara sambil mengusap rambut Avanira yang tak henti-hentinya bertanya apakah boleh bawa boneka kesayangan ke rumah Nenek.“Ya, karena di sana mereka bisa bebas tanpa ada
Mobil yang dikendarai Isvara melaju kencang membelah siang yang terik. Itu adalah mobil milik Lita yang dipinjamnya terburu-buru. Tangannya mencengkeram setir erat, napasnya tersengal karena cemas. Pikirannya penuh bayangan buruk tentang si kembar.‘Ya Tuhan, semoga mereka baik-baik saja. Tolong jangan ada yang serius,’ batin Isvara berulang kali, sementara jarum penunjuk kecepatan terus naik.Begitu gerbang sekolah terlihat, Isvara langsung memarkir mobilnya sembarangan, tak peduli tatapan terkejut satpam yang berjaga. Dia keluar tergesa, sepatu haknya menghentak keras di paving block, hampir berlari menuju lobi sekolah.Di depan lobi, seorang guru dengan cardigan biru muda sudah menunggu–Ratih. Wajah wanita itu tampak tegang dan sedikit pucat.“Miss Ratih!” sapa Isvara. Napasnya tersengal ketika berhenti di depan guru itu. “Anak-anak saya … mereka di mana? Mereka tidak apa-apa, ‘kan?”Ratih cepat menghampiri, mencoba memberi senyum menenangkan meski jelas terlihat cemas. “Bu Isvara,
Mobil hitam keluarga itu meluncur mulus di jalanan kota. Alvano duduk di balik kemudi–pilihan yang jarang dia ambil, karena biasanya sopir pribadi yang bertugas. Namun, pagi ini berbeda. Dia ingin menikmati momen berharga mengantar sendiri keluarganya, sesuatu yang tidak selalu bisa dia lakukan di tengah jadwal padatnya.Di kursi belakang, Isvara duduk diapit si kembar. Avanira bersandar manja di bahu ibunya, sedangkan Avanil duduk tegak dengan ekspresi serius.“Hari ini jangan lupa bilang terima kasih sama guru kalian, ya,” pesan Isvara sambil menoleh ke kedua buah hatinya. “Khususnya kamu, Nil. Jangan jutek sama Miss Ratih.”“Aku nggak jutek, Mommy. Aku cuma nggak suka kalau Miss Ratih suruh Nira berdiri lama pas nyanyi. Nanti dia capek,” sanggah Avanil tenang.Avanira yang sedari tadi diam, menoleh dengan mata berkaca-kaca, ekspresinya persis seperti Isvara saat sedang terharu. “Nil baik banget sama aku,” gumam Avanira.Avanil menepuk dada kecilnya dengan mantap. “Aku kakak laki-la