Renjana adalah cinta sejatinya Opa Giri :(
Hari-hari terasa bergulir begitu cepat. Satu bulan telah berlalu sejak kepergian Giri.Mereka perlahan mulai belajar merelakan, mencoba kembali berdiri dan sibuk dengan aktivitas masing-masing. Atma yang awalnya masih terpukul, kini mulai memimpin Narendra Group, memikul beban tanggung jawab yang sebelumnya berada di tangan sang ayah.Sementara Alvano, selain tetap memimpin Valora, juga mulai masuk aktif ke Narendra Holdings. Beban itu bukan hanya berat, tapi juga memakan waktu.Alvano jarang pulang tepat waktu. Tubuhnya hampir tak pernah benar-benar beristirahat, pikirannya penuh dengan angka, rapat, dan strategi bisnis yang berjalan bersamaan di dua perusahaan raksasa.Pagi itu, matahari mulai menembus tirai ruang makan rumah keluarga kecil mereka. Aroma roti panggang, susu hangat memenuhi udara, bercampur dengan suara sendok yang beradu pelan di atas piring.“Mom, Daddy ke mana? Kok Nira nggak lihat Daddy dari kemarin?” tanya Avanira dengan wajah mungilnya yang cemberut. Gadis kec
“Mas, sini tiduran di kasur,” ajak Isvara kepada sang suami yang sedari tadi hanya duduk di sofa kamar tamu. Mereka masih di kediaman Giri dan berencana untuk pulang esok hari. Giri baru dikebumikan petang tadi, dan rumah itu masih menyimpan aroma bunga tabur bercampur dupa, seolah kesedihan ikut melekat di dindingnya.Anak-anak sudah tertidur pulas di ranjang, tubuh kecil mereka meringkuk di bawah selimut tebal.Karena Alvano tak juga beranjak, Isvara menghampirinya lalu duduk di sebelahnya. Dia meraih tangan suaminya yang terasa dingin, lalu menggenggamnya erat.“Mas, nggak usah pura-pura kuat sekarang. Kalau Mas mau nangis, nangis aja. Nggak ada yang lihat kecuali aku,” ucap Isvara lembut, matanya memandang suaminya dengan penuh rasa sayang.Alvano mengangkat wajahnya pelan. Mata yang biasanya tajam itu kini tampak lelah dan basah. Rahangnya mengeras, tapi tangannya menggenggam balik tangan Isvara, seakan berpegangan pada satu-satunya jangkar yang tersisa.Sejenak mereka hanya diam
Pagi ini. Kabut hitam menyelimuti rumah duka, seakan langit pun turut meratap. Udara dipenuhi aroma dupa dan bunga melati yang samar, bercampur dengan bisikan pelan para pelayat yang datang silih berganti.Di tengah ruangan besar itu, peti berbalut kain putih berdiri anggun namun menyayat hati. Lilin-lilin menyala di sekelilingnya, menciptakan cahaya temaram yang membuat suasana semakin berat.Semua keluarga besar Narendra telah hadir. Wajah-wajah yang biasanya terlihat tegar dan berwibawa kini dipenuhi guratan duka. Bahkan para pria yang jarang menunjukkan emosi pun tak mampu menyembunyikan mata yang memerah.Keluarga Isvara pun tak luput hadir. Isvara duduk di deretan kursi depan, tubuhnya lemas seperti kehilangan tenaga. Matanya bengkak, kulit pucat, dan kedua tangannya saling meremas erat di pangkuannya.Giri. Sosok yang begitu menyayanginya meski hanya cucu menantu. Sosok yang selalu memperlakukannya seperti darah daging sendiri, bahkan saat yang lain meragukannya.Kini, beliau te
Esok malamnya, Isvara sedang menyiapkan makan malam di dapur. Hari ini mereka memang berencana makan bersama, jadi dia memastikan meja rapi, makanan hangat, dan semua terlihat istimewa. Alvano pun berjanji akan pulang tepat waktu.Sementara itu, di ruang keluarga, Avanira duduk manis di karpet empuk. Tangannya sibuk menyusun balok warna-warni hingga membentuk menara kecil, lalu boneka kelincinya dia taruh di puncak bangunan itu.“Nil, lihat! Ini kastil buat bonekaku,” ucap Avanira ceria, matanya berbinar bangga.Avanil hanya mengangguk datar. Wajah kecilnya serius, seolah tengah merencanakan sesuatu. Dalam diam, senyum licik terbit di bibirnya. Avanil pun mendekat, menunduk berbisik dramatis. “Nira …”Avanira menoleh polos. “Apa, Nil?”“Kalau nanti Mommy sama Daddy punya bayi lagi …” Avanil sengaja merendahkan suara, membuatnya terdengar misterius. “Kamu tahu nggak siapa yang nggak akan disayang?”“Siapa?” Avanira mengedip bingung. “Kamu. Soalnya kamu anak tengah. Anak tengah itu bia
Alvano yang berada di atasnya langsung merasakan perubahan itu. Gerakannya terhenti mendadak, wajahnya menunduk penuh cemas. “Cantik? Kamu sakit?”Isvara buru-buru menggeleng, meski pelipisnya basah oleh keringat dingin. “Nggak … cuma terlalu intens mungkin, Mas,” suaranya lirih, tapi matanya memohon agar jangan ditinggalkan di tengah jalan.Alvano menatapnya, rahangnya mengeras, napasnya memburu. Untuk sesaat dia hampir menghentikan semuanya. Namun, tatapan istrinya yang memohon, tubuhnya yang bergetar menahan, membuat pertahanannya runtuh.Dia kembali bergerak, kali ini lebih hati-hati, tapi tetap dengan ritme yang berat dan dalam. Setiap dorongan terasa semakin sulit dikendalikan, membuat suara Isvara pecah jadi erangan panjang yang menggema di kamar.Tubuh Alvano tegang, setiap ototnya menjerit, tanda bahwa dirinya sudah berada di ujung batas. Nalurinya ingin tenggelam sepenuhnya dalam tubuh istrinya, menyatu tanpa sisa. Namun suara Isvara sebelumnya–peringatan agar tidak kebablasa
Isvara mematuhi dengan senang hati. Paha indahnya terbuka, memberikan undangan yang tak tersiratkan kata-kata. Alvano menatap pemandangan itu dengan mata kelam, napasnya memburu. Dia mengurut miliknya yang sudah begitu keras dan siap, sebelum menunduk dan menyatu dengan istrinya.Ah, sial. Alvano menghentakkan kepalanya ke belakang, desahan tertahan lolos dari tenggorokannya.Isvara menahan napasnya, tubuhnya tegang saat penyatuan itu berlangsung perlahan. Inti tubuhnya yang sudah begitu basah menerima setiap inci bagian Alvano yang penuh, hangat, dan selalu saja membuatnya menggila. Benar-benar gila.Begitu Alvano mulai bergerak, Isvara diterpa badai kepanikan bernama nikmat. Setiap tarikan dan dorongan terasa seperti gelombang yang menghantam, membuat tubuhnya melengkung dan desahannya terdengar khidmat, hampir seperti doa yang terputus-putus.“Mas, tunggu.” Isvara menginterupsi, suaranya terputus-putus di tengah napasnya yang memburu.Alvano terhenti seketika. “Kenapa, Cantik?” tany