Tinggalkan komentar ya guys... makasih loh yang masih setia :)
Pagi ini. Kabut hitam menyelimuti rumah duka, seakan langit pun turut meratap. Udara dipenuhi aroma dupa dan bunga melati yang samar, bercampur dengan bisikan pelan para pelayat yang datang silih berganti.Di tengah ruangan besar itu, peti berbalut kain putih berdiri anggun namun menyayat hati. Lilin-lilin menyala di sekelilingnya, menciptakan cahaya temaram yang membuat suasana semakin berat.Semua keluarga besar Narendra telah hadir. Wajah-wajah yang biasanya terlihat tegar dan berwibawa kini dipenuhi guratan duka. Bahkan para pria yang jarang menunjukkan emosi pun tak mampu menyembunyikan mata yang memerah.Keluarga Isvara pun tak luput hadir. Isvara duduk di deretan kursi depan, tubuhnya lemas seperti kehilangan tenaga. Matanya bengkak, kulit pucat, dan kedua tangannya saling meremas erat di pangkuannya.Giri. Sosok yang begitu menyayanginya meski hanya cucu menantu. Sosok yang selalu memperlakukannya seperti darah daging sendiri, bahkan saat yang lain meragukannya.Kini, beliau te
Esok malamnya, Isvara sedang menyiapkan makan malam di dapur. Hari ini mereka memang berencana makan bersama, jadi dia memastikan meja rapi, makanan hangat, dan semua terlihat istimewa. Alvano pun berjanji akan pulang tepat waktu.Sementara itu, di ruang keluarga, Avanira duduk manis di karpet empuk. Tangannya sibuk menyusun balok warna-warni hingga membentuk menara kecil, lalu boneka kelincinya dia taruh di puncak bangunan itu.“Nil, lihat! Ini kastil buat bonekaku,” ucap Avanira ceria, matanya berbinar bangga.Avanil hanya mengangguk datar. Wajah kecilnya serius, seolah tengah merencanakan sesuatu. Dalam diam, senyum licik terbit di bibirnya. Avanil pun mendekat, menunduk berbisik dramatis. “Nira …”Avanira menoleh polos. “Apa, Nil?”“Kalau nanti Mommy sama Daddy punya bayi lagi …” Avanil sengaja merendahkan suara, membuatnya terdengar misterius. “Kamu tahu nggak siapa yang nggak akan disayang?”“Siapa?” Avanira mengedip bingung. “Kamu. Soalnya kamu anak tengah. Anak tengah itu bia
Alvano yang berada di atasnya langsung merasakan perubahan itu. Gerakannya terhenti mendadak, wajahnya menunduk penuh cemas. “Cantik? Kamu sakit?”Isvara buru-buru menggeleng, meski pelipisnya basah oleh keringat dingin. “Nggak … cuma terlalu intens mungkin, Mas,” suaranya lirih, tapi matanya memohon agar jangan ditinggalkan di tengah jalan.Alvano menatapnya, rahangnya mengeras, napasnya memburu. Untuk sesaat dia hampir menghentikan semuanya. Namun, tatapan istrinya yang memohon, tubuhnya yang bergetar menahan, membuat pertahanannya runtuh.Dia kembali bergerak, kali ini lebih hati-hati, tapi tetap dengan ritme yang berat dan dalam. Setiap dorongan terasa semakin sulit dikendalikan, membuat suara Isvara pecah jadi erangan panjang yang menggema di kamar.Tubuh Alvano tegang, setiap ototnya menjerit, tanda bahwa dirinya sudah berada di ujung batas. Nalurinya ingin tenggelam sepenuhnya dalam tubuh istrinya, menyatu tanpa sisa. Namun suara Isvara sebelumnya–peringatan agar tidak kebablasa
Isvara mematuhi dengan senang hati. Paha indahnya terbuka, memberikan undangan yang tak tersiratkan kata-kata. Alvano menatap pemandangan itu dengan mata kelam, napasnya memburu. Dia mengurut miliknya yang sudah begitu keras dan siap, sebelum menunduk dan menyatu dengan istrinya.Ah, sial. Alvano menghentakkan kepalanya ke belakang, desahan tertahan lolos dari tenggorokannya.Isvara menahan napasnya, tubuhnya tegang saat penyatuan itu berlangsung perlahan. Inti tubuhnya yang sudah begitu basah menerima setiap inci bagian Alvano yang penuh, hangat, dan selalu saja membuatnya menggila. Benar-benar gila.Begitu Alvano mulai bergerak, Isvara diterpa badai kepanikan bernama nikmat. Setiap tarikan dan dorongan terasa seperti gelombang yang menghantam, membuat tubuhnya melengkung dan desahannya terdengar khidmat, hampir seperti doa yang terputus-putus.“Mas, tunggu.” Isvara menginterupsi, suaranya terputus-putus di tengah napasnya yang memburu.Alvano terhenti seketika. “Kenapa, Cantik?” tany
“Mas, kamu itu kenapa malah gangguin aku meeting, sih?” omel Isvara begitu mereka duduk di mobil. Kesal memang, tapi pipinya masih merah mengingat sepanjang meeting tadi tangan pria itu tidak pernah diam membelai pahanya.Untung saja Rangga tidak menyadari apa-apa dan meeting bisa berjalan lancar. Walau Isvara harus buru-buru menyudahi pembahasan sebelum wajahnya benar-benar ketahuan kaku.Alvano menyalakan mesin mobil, ekspresinya tenang seakan tidak ada yang salah. “Gangguin gimana?” tanyanya enteng, seolah polos.“Pura-pura nggak tahu lagi?!” Isvara menoleh cepat, matanya menyipit. “Kalau Pak Rangga sampai ngeh, gimana coba? Malu banget aku!”Alvano melirik sekilas, lalu senyum tipis melengkung di bibirnya. “Nggak akan. Dia terlalu sibuk lihat kamu, sampai nggak sempat perhatiin hal lain.”Isvara ternganga, kesal sekaligus ingin tertawa. “Astaga, jadi kamu sengaja? Biar apa?”“Biar dia tahu kamu nggak sendirian,” jawab Alvano datar, tapi jemarinya mengetuk setir dengan ritme pelan,
Karena Isvara harus menghadiri meeting dan Alvano bersikeras menemaninya, akhirnya diputuskan si kembar menginap di rumah Nenek dan Kakeknya, Anita dan Baskara. Rumah orang tua Isvara memang tidak sebesar kediaman keluarga Narendra, tetapi justru di situlah kedua anak itu merasa paling betah. Suasana hangat, penuh cerita, dan tentu saja dimanja habis-habisan oleh sang kakek-nenek.Biasanya si kembar anteng saja ditinggal di rumah dengan para pengasuh dan Wati. Namun malam ini ketiganya tidak ada, jadi mau tidak mau Avanil dan Avanira dititipkan. Untung saja begitu mendengar kabar akan menginap, mereka langsung bersorak gembira, sudah membayangkan main petak umpet di halaman belakang rumah bersama Baskara atau mendengar dongeng pengantar tidur dari Anita.“Anak-anak kayaknya malah senang banget dititipin, ya,” gumam Isvara sambil mengusap rambut Avanira yang tak henti-hentinya bertanya apakah boleh bawa boneka kesayangan ke rumah Nenek.“Ya, karena di sana mereka bisa bebas tanpa ada