Alvano yang kesabarannya setipis tissue, harus berhadapan sama anak yang lagi aktif-aktifnya :)
Pagi itu matahari baru menembus tirai kamar, menebar cahaya lembut ke seluruh ruangan. Isvara berdiri di depan suaminya, jari-jarinya cekatan memasang dasi di leher Alvano.“Mas, aku kurang perhatian nggak sama kamu?” tanya Isvara pelan tanpa menatap langsung.Pertanyaan itu keluar begitu saja, tapi di kepala Isvara masih terngiang ucapan Marina kemarin, tentang bagaimana suami bisa merasa terlupakan saat istri terlalu sibuk mengurus anak dan pekerjaan.Alvano menunduk sedikit, matanya menelusuri wajah istrinya. “Kenapa tiba-tiba tanya gitu, hm?” tanyanya lembut tapi ingin tahu.Isvara mengangkat bahu kecil. “Entahlah. Aku cuma takut, selama ini aku terlalu sibuk sama semuanya. Anak-anak, kantor, klien, proyek baru di agensi. Takut kamu ngerasa aku nggak lihat kamu lagi.” Dia menarik simpul terakhir dasi, lalu merapikannya dengan hati-hati.“Aku tahu aku sering pulang malam, dan kadang kita ngobrol juga cuma seperlunya. Aku cuma nggak mau kamu ngerasa sendirian,” lanjut Isvara.Alvano
Sebulan setelah pulang dari Singapura, rutinitas kembali berjalan seperti biasa.Isvara kini disibukkan oleh satu hal baru: persiapan si kembar masuk sekolah dasar. Dari mencari sekolah terbaik, fitting seragam, sampai memilih peralatan sekolah. Semuanya ingin dia urus sendiri dengan teliti.Sebenarnya, ada satu hal yang masih mengganjal di pikirannya: pesan dari Citra yang belum sempat dia tindaklanjuti. Sahabatnya itu bersikeras ingin bicara langsung, bukan lewat telepon, tapi hingga kini mereka belum sempat bertemu.“Ra, tempat minum ini bagus nggak?” Pertanyaan Marina memecah lamunan itu.Isvara menoleh. Mertuanya itu sedang memegang dua botol minum stainless berwarna pastel di rak perlengkapan anak. Sementara di sisi lain toko, si kembar sibuk berlarian kecil di lorong mainan, masing-masing dijaga oleh pengasuh mereka.“Mam, ini kemahalan. Mereka cuma butuh tempat minum, bukan perhiasan,” protes Isvara lembut.Marina menaikkan alis, tersenyum tipis. “Nggak apa-apa, Ra. Ini Mam ya
Setelah beberapa jam penuh pemeriksaan–mulai dari pengambilan darah, USG transvaginal, hingga pengisian formulir lanjutan–akhirnya sesi hari itu selesai juga.Isvara tampak sedikit letih, tapi wajahnya jauh lebih tenang. Di sepanjang jalan keluar dari klinik, tangannya tak pernah lepas dari genggaman Alvano.“Capek?” tanya Alvano pelan sambil menatap istrinya ketika mereka berjalan menuruni tangga kaca menuju lobi.Isvara mengangguk kecil. “Lumayan. Tapi entah kenapa, rasanya lega.”“Good. Hari pertama udah lewat, sisanya tinggal nunggu hasil dan istirahat,” sahut Alvano sambil mengusap punggung tangannya. Perjalanan menuju hotel hanya memakan waktu dua puluh menit. Mereka memang sengaja memesan kamar di area Marina Bay, agar dekat dengan rumah sakit dan sekaligus bisa sedikit beristirahat di sela jadwal pemeriksaan berikutnya.Begitu memasuki lobi hotel, aroma bunga segar dan wangi citrus menyambut. Dari kejauhan, suara tawa si kembar sudah terdengar.Siti duduk manis di sofa, memper
Setelah seminggu penuh menimbang, akhirnya Isvara menyetujui rencana program kehamilan itu.Dan pagi ini, rumah mereka terasa sedikit lebih sibuk dari biasanya.Dua koper besar berdiri di dekat pintu masuk, ditemani dua koper kecil milik si kembar yang dipenuhi stiker warna-warni. Di meja konsol, map hitam berisi paspor dan dokumen medis tersusun rapi. Dari dapur, aroma roti panggang bercampur suara tawa anak-anak yang berlarian di ruang tamu.“Mommy, Mommy! Kita jadi liburan ke Singapura, kan?” tanya Avanira sambil menarik tangan ibunya.Isvara tersenyum kecil, menunduk untuk mengikat tali sepatunya. “Bukan liburan, Sayang. Mommy sama Daddy mau ke rumah sakit. Mommy mau periksa.”“Tapi di Singapura, ‘kan?” tanya Avaira.“Iya.”“Berarti habis periksa boleh beli es krim?” Kali ini Avanil yang bertanya.Isvara menatap ke arah suaminya yang sedang sibuk dengan ponsel. “Mas, tolong jelasin ke anak-anak, deh,” pintanya setengah menyerah.Alvano menutup ponselnya dan berjalan ke arah mereka,
“Ra, gimana? Mau coba program hamil nggak?”Suara Alvano terdengar tenang, tapi nadanya berat. Dia duduk di tepi ranjang, sudah mengenakan kaus hitam longgar dan celana santai. Lampu kamar temaram, hanya menyisakan cahaya lembut dari sisi meja rias.Isvara yang sedang berdiri di depan cermin sambil menepuk pelembap ke pipinya, sempat terdiam beberapa detik. Tatapannya di pantulan kaca sempat goyah.“Mas, stock skincare aku udah mau habis nih. Mau minta ke Valora,” kata Isvara ringan. Seolah mengalihkan pembicaraan.Alvano menyandarkan punggung ke headboard, menyilangkan tangan di dada. “Aku, ‘kan, udah bukan CEO Valora lagi. Nanti minta aja ke Jefri.”“Dan jangan ngeles. Aku serius nanya, Ra. Mau coba program hamil nggak?”Isvara berhenti menepuk wajahnya. Suasana kamar tiba-tiba hening, hanya terdengar suara detak jam di dinding. Dia menatap bayangannya sendiri di cermin.“Mas, aku masih takut,” jawab Isvara pelan, hampir seperti bisikan. Alvano menurunkan tangan, menatapnya dalam. “
Tak lama kemudian, suara langkah berat terdengar menuruni tangga. Setiap langkahnya berirama mantap, membuat tiga kepala di ruang keluarga otomatis menoleh.Alvano turun dengan pakaian santai. Kaus putih bersih yang menempel pas di tubuhnya, celana jeans gelap, dan jam tangan perak di pergelangan tangan yang baru dia pasang sambil berjalan.Rambutnya masih sedikit basah, sementara aroma sabun dan cologne segar langsung memenuhi ruangan.“Siap semua?” tanya Alvano dengan suara dalam tapi lembut.“Siap, Daddy!” jawab si kembar serempak, hampir seperti prajurit kecil yang sedang briefing.Avanil sudah memeluk bola di tangannya, wajahnya serius seperti sedang menuju pertandingan besar. Sementara Avanira sibuk memastikan pita di bungkusan hadiahnya tidak lepas, bibirnya mengerucut lucu setiap kali pita itu berputar arah.Alvano memperhatikan mereka satu per satu, lalu pandangannya berhenti pada Isvara.Perempuan itu mengenakan blouse biru muda dan celana putih sederhana. Rambutnya disanggul