Semoga kalian suka ya sama bab ini :)
Isvara menoleh cepat ke arah suara itu, lalu mendapati sosok pria berdiri tidak jauh dari mereka. Wajahnya tegang, sorot matanya tajam, rahang mengeras. Napasnya tampak memburu menahan emosi.Aksara, sang adik, melangkah maju dengan langkah berat, jelas hendak menyerang Tara. Namun, Isvara segera mengangkat tangannya, menahan lengan Aksara dengan kuat.“Jangan,” ucap Isvara tegas. “Nggak usah mengotori tangan kamu buat orang yang bahkan nggak penting lagi.”Aksara menoleh sekilas, masih dengan dada naik-turun. Namun, tatapan kakaknya cukup untuk membuatnya mengurungkan niat. Lalu keduanya berbalik pergi. Langkah mereka tegap, tidak sudi menoleh sedikit pun. Sementara Tara hanya bisa berdiri terpaku—ditinggalkan oleh harga diri yang terjun bebas dan kenyataan pahit bahwa dia benar-benar kalah.__Di atas sepeda motor milik Aksara, suasana sempat hening beberapa saat. “Kak, kamu kok nggak pernah cerita kalau dia kayak gitu orangnya?” tanya Aksara, pelan tapi tidak bisa menyembunyikan k
Begitu membuka mata, Isvara menyadari bahwa Alvano sudah tidak ada di sofa tempat pria itu tidur tadi malam. Padahal, saat sempat terbangun dini hari, dia masih melihat Alvano duduk di sana sambil membaca buku dalam temaram lampu meja. Namun pagi ini, ruang keluarga itu kosong. Sepi.‘Dia memang pekerja keras,’ pikir Isvara sambil bangkit perlahan, lalu melangkah menuju kamar untuk bersiap mandi.Setelah selesai berganti pakaian dan merapikan diri, Isvara memilih langsung pergi tanpa menyentuh sarapan. Entah kenapa, perutnya terasa penuh, padahal dia belum makan apa pun sejak semalam.Pertemuan dengan keluarganya baru akan berlangsung siang nanti, tapi Isvara memilih pergi lebih awal. Bukan karena terburu-buru, melainkan karena butuh waktu. Untuk diam, berpikir, dan mengumpulkan keberanian.Isvara memutuskan berjalan-jalan ke taman dekat restoran tempat mereka janjian. Menghirup udara pagi, menenangkan diri. Dan satu hal lagi—menyusun alasan yang masuk akal. Karena sesuai pesan ibunya
“Alvano!” seru Isvara lagi, kali ini lebih kencang, lebih tercekik.Sebuah bayangan hitam dari masa kecilnya menyelinap ke benaknya—kilasan rumah sakit saat kakeknya meninggal, lorong panjang tanpa cahaya, tubuh kecilnya yang menggigil di bawah lampu mati. Semuanya menabrak kesadaran wanita itu bersamaan.Tok! Tok! Tok!Pintu kamar diketuk keras dari luar sebelum terbuka cepat. Sosok Alvano muncul dengan cahaya ponsel yang menerangi ruangan. Wajahnya sempat terkejut, tapi seketika berubah menjadi khawatir saat melihat Isvara berdiri di dekat lemari, tubuhnya menegang, wajahnya pucat pasi.“Ra?” panggil Alvano cepat, penuh cemas. “Kamu kenapa?”Isvara menggeleng cepat, berusaha menepis bayangan-bayangan yang menyesakkan pikirannya. Matanya basah. Napasnya pendek dan tidak teratur, seperti sedang berlari dalam gelap tanpa arah. Dan detik berikutnya, begitu melihat wajah Alvano, tubuhnya seakan bergerak sendiri.Langkahnya goyah, tapi pasti. Isvara berjalan cepat ke arah Alvano dan langs
Isvara masih tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Alvano akan ikut dengannya menonton konser? Apa pria itu serius?Anggapan bahwa mereka tidak akan campur urusan langsung runtuh seketika.Bukan karena apa-apa, Isvara hanya merasa canggung.Renjiro yang lebih dulu mengajak, dan sekarang dia harus bilang bahwa dirinya akan datang bersama suami?Meskipun sah secara status, tetap saja rasanya ... aneh.Apalagi Isvara belum bilang kalau dia sudah menikah.“Kenapa?” Alvano mengangkat alis. “Kamu keberatan?”“Bukan gitu, Van. Tiketnya udah habis. Nggak mungkin kamu bisa ikut juga.” Isvara mengangkat bahu sedikit, berusaha menjelaskan logis. “Itu konser gede, tiketnya sold out dalam dua menit. Tiketnya rebutan banget!”Alvano menyandarkan punggung ke kursi dan menatapnya lekat-lekat, lalu berkata dengan nada sangat serius, “Emang kamu pikir aku nggak bisa beli tiket cuma karena sold out?”Isvara membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Mulutnya sempat membentuk huruf E sebelum akhirnya menye
[Kamu di mana? Tumben nggak ngabarin aku.]Pesan itu masuk ketika Isvara baru saja melangkah keluar dari kafe, beberapa menit setelah berpamitan dengan Renjiro. Angin sore menyapa lembut wajahnya, sementara langkahnya melambat saat membaca nama pengirim pesan itu.‘Suami’.Isvara sempat terkesiap kecil, bukan karena isi pesannya, tapi karena dia lupa. Lupa mengabari Alvano kalau dia keluar siang ini, terlalu tenggelam dalam euforia album baru dan obrolan nostalgia bersama Renjiro.[Aku lagi jalan pulang kok. Ini udah mau naik bus. Mau titip sesuatu?] Isvara membalas cepat sambil mengetik dengan satu tangan, sementara tangan satunya menggenggam tas belanja kecil berisi album.Balasan dari Alvano datang tidak sampai dua menit kemudian.[Mau nyogok aku karena pergi nggak bilang dulu?]Isvara tersenyum kecil. Balasan itu bukan karena marah, mungkin Alvano mencoba menggoda Isvara. Aneh, mengingat dulu pria itu yang bilang mereka tidak perlu repot saling kabari, bahwa pernikahan mereka ada
Pria itu juga menatap balik, seolah sedang memastikan sesuatu. Wajahnya nyaris tertutup hoodie hitam, topi bucket gelap, dan masker, tapi sepasang mata cokelat hangat dengan garis kelopak yang khas membuat Isvara terhenti sejenak. "Isvara ...? Is that you?” tanya pria itu dengan suara rendah dan aksen asing yang masih terdengar akrab. Isvara masih mematung beberapa detik. Suara itu. Aksen yang sedikit kaku tapi jelas. Tatapan yang seperti membawa memori masa lalu yang terkubur. “Ren? Renjiro?” gumam Isvara ragu. Pria itu menurunkan maskernya perlahan. Bibirnya membentuk senyum kecil yang tidak banyak berubah sejak dulu. “Wow. Kamu masih ingat aku?” kata Renjiro sambil tertawa pelan, senyumnya bertahan lebih lama dari ekspresi biasa. Isvara terkekeh tidak percaya. “Aku nyariin kamu dulu waktu lulus, loh. Terus kamu kayak ... hilang ditelan bumi.” Renjiro mengusap tengkuknya, terlihat sedikit canggung. “Aku ganti nomor, terus kembali ke Jepang. Sorry, aku nggak pamit.” Isvara ter