Makasih yang udah setia baca sampai bab ini ya... jangan lupa tinggalkan jejak :)
Venue konser sudah ramai ketika mereka tiba. Lantai luar stadion dipenuhi ribuan fans dengan dress code tidak tertulis: jaket oversized, sepatu nyaman, dan lightstick menyala yang warnanya berganti-ganti seperti pelangi yang bergerak.Isvara menunduk sedikit, menggandeng tangan Alvano secara natural. Bukan karena romantis, tapi karena kalau tidak, pria itu bisa saja menghilang tertelan lautan fans.Langkah Isvara cepat, penuh antusiasme. “Itu booth merch! Tapi nanti aja deh, ya. Kita langsung masuk dulu.”Alvano mengangguk, membiarkan dirinya diseret masuk ke dunia yang sama sekali baru baginya. Matanya menelusuri ekspresi para fans: semangat, haru, euforia. Juga banner raksasa di sisi gedung dengan wajah grup idol yang bahkan namanya saja belum dia hafal betul.“Jadi segitunya, ya?” gumam Alvano pelan.Isvara melirik cepat. “Apa?”“Dunia kamu,” sahut Alvano tanpa berpaling. “Kayaknya selama ini aku cuma lihat bagian permukaannya aja.”Isvara diam sesaat. Kalimat itu sederhana, tapi ad
Dengan iseng, Alvano mengambil paksa ponsel dari tangan Isvara.“Van! Itu—eh, itu ponsel aku!” seru Isvara spontan, refleks menoleh dan berusaha merebutnya kembali. Namun, Alvano malah memutar ponsel itu, menatap sekilas ke arah layar.“Ngapain sih kamu nonton beginian terus?” tanya Alvano santai. “Nggak bosen?”“Nggak lah,” sahut Isvara cepat. “Mana mungkin aku bosen lihat cowok ganteng?”Alvano mengangkat alis, pura-pura kecewa. “Oh gitu? Jadi ... aku kalah ya sekarang?”Isvara menyeringai, lalu berhasil merebut kembali ponselnya. “Tenang, kamu masih juara satu di dunia nyata.”Alvano mendengus pelan. “Terserah. Tapi kalau kamu sampai nyium layar, aku anggap itu selingkuh.”Isvara tertawa kecil. Namun, tawanya perlahan mereda. Dia duduk lebih tegak, lalu menatap layar yang mulai meredup. Ekspresinya berubah, tidak lagi bercanda.“Oh iya,” kata Isvara pelan. “Kamu jangan bercanda soal ... itu, ya.”Alvano memiringkan kepala. “Soal apa?”Isvara menahan napas. “Yang kamu bilang tadi ...
Ini bukan mimpi, ‘kan?Tatapan Isvara beralih ke Alvano. Dan seperti cermin, pria itu pun menatapnya balik, sama terkejutnya.Mereka saling pandang.Sekilas. Sunyi.“Siapa yang hamil sih, Kak?” Kini Alvano yang angkat suara, terdengar bingung.“Loh, tadi Mbak Wati telepon Mama. Katanya pagi-pagi Isvara mual, muntah, terus tiba-tiba baking segala macam. Kayak lagi ngidam, gitu. Makanya aku langsung ke sini,” jawab Adisti sambil menyeruput teh dari gelasnya. Ekspresinya terlalu polos untuk tuduhan segila itu.Oke. Jadi pelakunya Wati.‘Astaga, Mbak Wati!’ jerit Isvara dalam hati.“Nggak kok, Kak,” kata Isvara cepat, gelagapan. “Aku nggak hamil. Tadi pagi cuma ... masuk angin aja.” Jelas Isvara tidak mungkin bilang muntah karena habis mabuk semalam.“Ohhh ...” Adisti mengangguk, lalu menatap cheesecake-nya lagi. “Kirain beneran kamu hamil. Padahal aku udah senang banget.”Alvano menyandarkan punggungnya, lalu menatap kakaknya. “Kenapa sih kayaknya pengen banget aku punya anak?”“Ya jelas,
Deg.Isvara mencelos. Sial. Wanita baru sadar, dia tidak keluar dari kamar Alvano.Sebentar. Isvara harus jawab apa? Mau beralasan apa?“Kak, bentar ya. Kueku gosong!” seru Isvara cepat, mencoba menyelamatkan diri sambil berlari kecil ke dapur.Namun, Adisti terlalu cepat.“Udah, nggak usah mikirin kue,” ucap Adisti sambil melirik ke arah dapur. “Biar Mbak Wati yang beresin. Nggak apa-apa ‘kan, Mbak?”“Iya, Non,” sahut Wati sambil mengibaskan kain lap ke arah oven terbuka. Bau gosong sudah menyebar ke seluruh ruangan.Isvara menunduk malu, aroma cheesecake gosong menyeruak seolah ikut mempermalukannya.Adisti berdiri dari sofa, mengambil kunci mobil dan tasnya, lalu menatap Isvara dengan tatapan penuh makna. Oke, tatapan itu terlalu sulit untuk Isvara baca.“Udah, kamu ganti baju dulu sana. Aku tunggu di mobil.”“Loh, mau ke mana, Kak?” tanya Isvara, masih bingung. Kuenya baru gosong, sekarang sudah diajak keluar rumah?“Kita beli aja cheesecake-nya. Nggak usah repot-repot bikin. Aku t
“Gila!”Isvara rasanya ingin menampar pipinya sendiri saat melihat layar monitor CCTV di ruangan kontrol kecil di belakang dapur.Dia menatap layar, terpaku. Ini bukan adegan sinetron. Bukan juga potongan drama Korea yang biasa dia tonton sambil makan mie instan di kamar.Ini ... dirinya sendiri.Yang merengek di pintu, minta dibukakan sepatu.Yang menunjuk ke sofa, lalu jatuh, dan menindih suaminya.Yang mencium pipi Alvano, lalu …Ya Tuhan. Lalu bibir pria itu. Dan bukan sekadar ciuman.Ciuman panas. Penuh hasrat.Yang bahkan saat menontonnya sekarang, membuat wajah Isvara memanas, jari-jarinya mencengkeram ujung kaos rumah yang dia kenakan.Isvara buru-buru menunduk, wajahnya nyaris meleleh karena malu. Kedua telinganya panas. Ujung hidungnya merah.Untung saja Isvara menonton ini sendirian. Kalau Wati atau siapa pun sempat ikut menonton ... dia tidak tahu harus taruh muka di mana.Oke. Oke. Isvara memang istri sah dari pria itu. Namun, melihat video tadi rasanya … seperti nonton vi
“Alvano!”Pukulan pelan mendarat di lengan pria itu. Tidak menyakitkan. Namun, cukup untuk menunjukkan rasa malu dan protes dari Isvara yang pipinya sekarang sudah semerah saus sambal.“Santai. Bercanda.” Alvano lalu mendekat sedikit, tangannya terulur, membetulkan helaian rambut yang jatuh di wajah Isvara. “Tapi serius, semalam kamu ... bikin aku setengah gila.”Dan Isvara hanya bisa diam, otaknya masih menyusun potongan-potongan yang hilang dari malam sebelumnya. Yang dia ingat hanya satu gelas ... lalu gelap. Samar-samar ada bayangan dia dipapah keluar, tapi sisanya? Kosong.Apa iya Isvara selemah itu?“Oh iya, satu lagi.” Alvano memutar tubuhnya, menatap Isvara dari samping.“Aku nggak akan pernah ngizinin kamu buat minum alkohol lagi.” Kalimat itu terdengar seperti peringatan. Tegas. Penuh penekanan.“Please, Ra. Itu bukan cuma bikin kamu nggak sadar ... tapi juga bikin aku hampir kehilangan kendali.” Nada suara pria itu menurun di akhir kalimat, seolah dia sedang berbicara dengan