Nah loh Isvara mau jelasin gimana nih sama Adisti?
Setelah syuting selesai, Isvara masih belum berhenti senyum-senyum sendiri. Di dalam mobil, sepanjang perjalanan kembali ke hotel, dia terus saja mengulang-ulang dengan wajah berbinar.“Mas, sumpah itu momen fangirl of the year. Aku nggak nyangka bisa sedekat itu sama San!”Alvano hanya fokus menyetir. Bibirnya melengkung tipis, tapi jelas sekali dia menahan kesal.“Serius aku seneng banget deh tadi! Besok kita ke sana lagi ya? Soalnya–”“Ra.” Suara rendah itu memotong, penuh peringatan.Isvara langsung menutup mulut, mengerti bahwa keinginannya kali ini akan menemui penolakan, meski pipinya masih memerah menahan geli. Dia melirik ke arah suaminya sekilas, lalu cepat-cepat menunduk, pura-pura sibuk dengan ponsel padahal layar bahkan belum menyala. Jantungnya masih berdebar saking euforianya, tapi ada getaran lain yang tak kalah kuat, tatapan Alvano yang sedari tadi terasa menusuk.Mobil melaju menembus jalanan malam yang mulai sepi. Isvara menempelkan kepalanya ke kaca jendela, mencob
Pasangan itu akhirnya sampai di Jungmun Saekdal Beach. Angin laut langsung menyambut, membawa aroma asin dan debur ombak yang berkejaran. Di kejauhan, sudah terlihat kru yang sibuk menyiapkan kamera, lampu, dan properti untuk syuting MV idol yang ditunggu-tunggu Isvara.Isvara hampir melompat kegirangan, matanya berbinar. “Mas, itu mereka! Aku lihat–” suaranya tercekat, jari telunjuknya teracung.Alvano hanya menatap istrinya dengan senyum tipis. “Hm. Jadi segini semangatnya kamu kalau lihat cowok lain, ya?”Isvara menoleh cepat, wajahnya memerah, tapi terlalu antusias untuk berhenti. “Bukan cowok lain. Ini idol, beda kelas, Mas.”Isvara menarik lengan suaminya, hampir menyeretnya ke arah kerumunan penggemar lain yang sudah berkumpul di tepian. Membuat Alvano mendengus pelan, tapi tetap mengikuti langkah kecil itu. Tangannya otomatis menggenggam pinggang Isvara, seolah menandai bahwa perempuan di depannya tetap miliknya.“Kalau aku nggak salah, kamu kaburnya buat nenangin diri. Kok se
Isvara terdiam. Jantungnya seolah ikut merosot mendengar kata cerai. Dia tidak bisa berkata apa-apa untuk menanggapi kalimat tersebut, karena memang perceraian tidak pernah sekalipun terlintas di pikirannya. Yang dia butuhkan hanyalah jeda, bukan perpisahan.“Kamu pergi ke mana pun, aku bisa ngejar. Tapi kalau kamu pergi dari hidup aku, Ra … aku beneran nggak tahu gimana caranya buat nyusul kamu lagi,” ucap Alvano serius. Seolah setiap kata adalah pengakuan yang telanjang.Keheningan merayap di meja mereka. Hanya ada suara sendok garpu dari meja lain, samar bercampur dengan musik restoran yang mengalun lembut.Isvara menunduk, jemarinya meremas serbet di pangkuannya. Senyumnya tipis, tapi matanya berkaca-kaca. Dia tahu, di balik gurauan dan rayuan Alvano selama ini, ternyata ada rasa takut yang nyata.“Jadi kamu mau cerita apa?” tanya Alvano ketika makan siang mereka hampir habis.Isvara menggigit bibir, jemarinya sibuk meremas serbet. “Mas … jangan marah ya?”“Iya apa?”Isvara menghel
“Mas!” Isvara spontan mendorong dadanya sambil tertawa. “Apa? Aku cuma nyaranin,” jawab pria itu santai. “Nyaranin atau ngajak?” “Dua-duanya.” Tawa mereka menyatu dengan suara air yang beriak pelan. Isvara akhirnya pasrah kembali bersandar di pelukannya. Meski dia tahu, kalau Alvano sudah bilang ‘dua-duanya’, artinya hari ini belum benar-benar selesai. Beberapa saat mereka hanya diam, hanya ada suara napas dan riak kecil air di sekitar mereka. Sampai akhirnya Isvara bertanya pelan, hampir seperti gumaman, “Mas, kalau aku hamil, gimana?” “Gimana apanya?” Suara Alvano terdengar santai, dia menunduk sedikit untuk melihat wajah wanitanya. “Aku takut aku belum siap,” ucap Isvara lirih. Ada getar di ujung suaranya, seolah kalimat itu berat sekali untuk diucapkan. Alvano terdiam sejenak. Lalu tangannya yang sejak tadi melingkari pinggang Isvara bergeser perlahan, mengusap perut istrinya di bawah air. Gerakannya pelan, hati-hati, seakan menyampaikan jawaban lebih dulu lewat sentuhan.
Uap hangat mulai memenuhi kamar mandi hotel. Air di bathtub beriak pelan, mengeluarkan aroma sabun khas hotel yang menenangkan. Isvara bersandar di dada suaminya, matanya terpejam, tubuhnya perlahan reda dari gemetar tangis sebelumnya. Wajahnya masih sembab, tapi uap hangat membuat pipinya bersemu samar, menambah kesan rapuh sekaligus manis.Alvano duduk di belakangnya, tubuh besar itu setia membungkus istrinya dengan kedua lengan dari bawah air. Dagu dan bibirnya sesekali menyentuh bahu Isvara, kecupan ringan yang lebih mirip permintaan maaf daripada godaan.“Enakan, ‘kan?” bisik Alvano pelan, seolah takut memecah keheningan.Isvara hanya mengangguk kecil. “Hmm … jauh lebih enak.”Alvano menutup mata sebentar, jemarinya mengusap lembut perut istrinya di bawah air. “Aku janji, mulai sekarang aku nggak akan bikin kamu ngerasa sakit lagi. Aku cuma mau kamu kayak gini aja. Tenang, nyaman, dan selalu ada di pelukan aku.”Keheningan menyelimuti, hanya suara air yang bergemericik. Isvara me
Alvano terperanjat, tubuhnya terhempas ke sandaran sofa. Sementara Isvara langsung bangkit dengan kaki yang sedikit goyah, lalu berjalan cepat ke arah ranjang hotel. Dia meraih selimut di atasnya, kemudian membungkus diri rapat-rapat. Punggungnya membelakangi Alvano, bahunya bergetar hebat menahan tangis.Air mata jatuh deras, membasahi selimut yang ditekan kuat ke wajahnya. Semua amarah, sakit hati, dan lelah yang perempuan itu tahan akhirnya pecah jadi tangisan.“Ra …” panggilnya serak. Tidak ada jawaban. Hanya tangisan yang semakin menohok daripada teriakan.Pelan, Alvano berdiri. Dia meraih bathrobe yang tergantung di sisi kamar, memakainya cepat. Tubuhnya masih panas, tapi dia tidak peduli. Lalu dia membuka lemari kecil di samping meja, mengambil satu bathrobe lain yang masih terlipat rapi.Dengan langkah hati-hati, pria itu mendekati ranjang. Tangannya sempat terhenti di atas selimut yang membungkus tubuh Isvara, ragu untuk menyentuh. Akhirnya dia hanya meletakkan bathrobe itu di