"Sebenarnya saya kurang begitu yakin. Tapi mereka terus mendesak saya dan berusaha meyakinkan. Alasan mereka, kartu keluarga sedang diurus, karena saat itu mereka masih baru menikah. Ketika saya minta buku nikah, mereka beralasan masih tertinggal di Bandung." "Setelah itu, Bapak tidak minta lagi data-data mereka?" Pak Samsul menghela napas sambil membuka kaca matanya. "Itulah kecerobohan saya, Dik. Beberapa kali saya ingin menemui mereka, tapi selalu gagal. Mereka jarang di rumah. Kabar yang saya terima, mereka sering pulang larut malam. Lama kelamaan, saya jadi lupa," sesalnya. "Lalu, apa rencana Adik?" Istri Pak Samsul bersuara. "Saya dan abang-abang saya berencana menggerebek mereka. Makanya saya ke mari. Supaya Bapak bisa menyaksikan sendiri kelakuan salah satu warga Bapak. Setelah itu, tinggal Bapak yang memutuskan. Masih menerima mereka kumpul kebo di sini atau tidak." "Sebenarnya rumah itu bukan rumah Pak Firman." Mataku membelalak kaget. "Terus, rumah siapa, Pak?" "Itu r
"Maafkan aku, Sayang. Aku- " "Nggak usah banyak alasan!" potongku cepat. "Mendingan sekarang turun dan bicara langsung!" Suara napas Mas Firman terdengar dihela panjang. "Tunggu … Aku turun," Suaranya tercekat, serak. Sambungan telepon terputus. Kutatap nanar mobil paj*ro hitam yang terparkir. Bisa-bisanya tadi dia memeluk dan mencumbu, setelah itu dia berpindah ke pelukan wanita lain untuk dicumbu juga. "Gimana, Jane, mana si Firman?" tegur Bang Revan. "Sebentar, Bang. Katanya dia akan turun." "Udah gatal tangan abang ini. Pengen nonjok aja rasanya," Tangan Bang Revan mengepal keras. Tak lama suara anak kunci terdengar diputar lalu pintu kayu bercat putih itu membuka. Mas Firman dengan mengenakan kaos putih dan celana boxer pendek, melangkah tertunduk menuju pagar yang hanya setinggi dada orang dewasa. Tubuhku bergetar di dalam rangkulan Bang Revan. Kakak keduaku itu mengeratkan rangkulannya. Berharap bisa memberikan kekuatan pada adik perempuannya yang tengah terluka. Tiba-t
"Dulu, setiap aku mau perawatan ke salon, mau beli obat pelangsing, selalu kamu larang. Kamu bilang itu berbahaya lah, nggak baik untuk kesehatan lah, kamu menerimaku apa adanya lah. Bullsh*t! Kenyataannya apa? Kamu malah menyimpan perempuan di belakangku," Kuungkapkan isi hati yang selama ini terpendam. Air mata menganak sungai. Hati ini benar-benar hancur. Lebih dari sekedar memergoki mereka dari kolong meja saat itu. Kali ini, bahkan aku melihat sendiri penghianatan suami yang selama ini kukira benar-benar tulus. Bagaimana nanti jika Zahwa mengetahui kelakuan ayah yang selama ini ia puja? Pasti hancur. Dan aku tidak bisa membayangkan itu. Tapi aku juga tidak mau dimadu. Melihat kelakuan suami seperti ini, sungguh tidak bisa untuk diberi maaf.Tungkaiku seakan lemas dan tak mampu berdiri. Hingga terhuyung ke belakang, tersandar ke dada Bang Revan."Aku minta maaf, Jane," ucapnya dengan tampang memelas. Wajah yang sudah dipenuhi luka lebam di mana-mana itu, dibuat sesedih mungkin.
"Jaaane!" pekik Bang Yudha dan Bang Revan berlari menghampiri.Darah mengucur deras dari tangan kiri yang sempat tergores pisau, saat aku mencoba menangkis serangan Lina. "Sia*an!" geram Lina dan kembali mencoba menyer4ngku."Awas, Jane!" Tiba-tiba Mas Firman bergerak kilat, dan mendorong tubuh Lina dari samping hingga tersungkur."Aduh," pekik Lina karena sikunya menghantam lantai.Mas Firman menendang pis4u yang terlepas dari genggaman Lina."Amankan Lina, cepat, Bang!" teriaknya pada Bang Yudha."Bantu abang, Man!" "Cepat cari tali!""Mas, kamu tega melakukan ini padaku?" ujar Lina pada Mas Firman. Ia tak menyangka, lelaki yang dikira mencintainya, justru lebih membelaku."Perasaanku udah berubah, Lina. Aku nggak nyangka, kamu bisa sejahat itu."Bang Yudha yang dibantu Pak RT, meringkus Lina dengan mengikat tang4n wanita itu menggunakan tali."Lepaskan aku!" teriak Lina seraya meronta-ronta dalam ringkusan Bang Yudha dan Pak RT."Cepat telepon polisi!" perintah Pak RT."Sudah, Pa
"Nggak usah sok perhatian, Mas! Aku muak! Sumpah, aku muak melihat tingkahmu!""Jane, mas benar-benar khawatir dan peduli sama kamu.""Bohong! Kamu nggak pernah benar-benar peduli padaku, Mas.""Nggak, Jane. Mas peduli dan khawatir. Mas masih mencintaimu.""Diaaam!" Kututup telingaku dengan menggunakan tangan kanan. "Sebaiknya kamu pergi, Mas. Aku nggak mau lihat kamu lagi. Aku udah muak! Aku benci! Pergi, Mas, pergiiii!" teriakku seraya mendorong tubuhnya, meski gerakanku masih sangat lemah."Jane, tolong jangan usir mas.""Pergi, Mas. Pergiii!"Tiba-tiba pintu membuka. Bang Yudha, Bang Revan, dan Kak Vera masuk ke dalam ruang rawat inapku. "Ada apa ini ribut-ribut? Astaga, kenapa ada gelas pecah di sini?" tanya Bang Yudha."Ah, itu tadi aku nggak sengaja menyenggolnya, Bang," jawab Mas Firman. "Aku panggil petugas kebersihan dulu." Lelaki berkulit putih itu ke luar dari ruangan."Gimana keadaan kamu, Dik?" tanya Bang Yudha."Alhamdulillah, jauh lebih baik, Bang. Walaupun masih saki
"Kamu kenapa, Nak?" Mas Firman mendekati Zahwa seraya membingkai wajah gadis empat belas tahun itu, dengan kedua tangannya."Lepasin, Pa. Aku nggak sudi punya papa kayak kamu, huhuhu," Ditepisnya kasar tangan ayah kandungnya itu, lalu berlari menghambur ke pelukanku."Ada apa sih ini sebenarnya, Nak?" tanyaku bingung.Zahwa tak menjawab. Gadis yang mulai beranjak remaja itu, masih terus menangis sesegukan di bahuku."Ternyata ada yang merekam kasus penggrebekan kemarin, lalu di upload ke sosial media. Kemudian dengan cepat disebarkan oleh akun-akun gosip," imbuh Kak Rossa."Astaghfirullahal 'Adhiim," Serentak kami beristighfar. "Dan Zahwa melihat sendiri semua berita viral tentang perselingkuhan papanya di sosial media. Tahu sendiri, kalau berita yang disebar akun gosip, sudah pasti dibumbui sedemikian mungkin.""Mama, aku benci Papa! Aku benci," ujar Zahwa sambil menghentakkan tubuhnya dalam pelukanku."Zahwa sayang, papa nggak seburuk yang kamu kira, Nak?" Mas Firman berjalan mengha
"Ya, tapi sebentar lagi aku bukan lagi istrimu. Tunggu aja gugatan dariku!"Aku terus meronta. Tapi, tetap saja Mas Firman tidak mau melepaskan. Tatapan aneh dan sinis pengunjung pun tak kunjung membuatnya takut."Jangan pikir, aku akan menceraikanmu, Jane! Jangan mimpi!" "Aaaw, sakit, Mas!" erangku, karena cengkeramannya berpindah ke pergelangan tangan."Hei, lepaskan!" Tiba-tiba, Steve mendorong bahu Mas Firman, hingga terhuyung ke belakang.Cepat kuusap pergelangan tangan kanan, yang terasa panas dan sedikit perih akibat cengkeraman tadi."Siapa lo! Nggak usah ikut campur urusan rumah tangga gue!" Mas Firman bergerak maju dengan dagu yang diangkat, menantang."Gue Steve. Jane ini temen gue. Lagian sikap lo itu b4nci banget, tau nggak! Beraninya sama perempuan. Kalau berani, lawan gue!" Hanya dengan sekali hentakan bahu, Mas Firman kembali terhuyung ke belakang.Ukuran tubuh Mas Firman yang hanya bertinggi 167 cm, sungguh tidak sebanding dengan Steve, yang memiliki tinggi 180 cm dan
Aku berlari tergopoh menuju ruang keluarga. Tak kuhiraukan lagi rasa sakit luka di tangan, karena guncangan ketika berlari.Mataku membelalak, nyaris ke luar dari sarangnya, begitu melihat lantai di ruang yang biasa kami gunakan untuk bersantai itu, sudah penuh dengan beling berserakan."Ada apa ini, Bik?" tanyaku pada Bik Tarna yang masih berteriak menutupi telinganya.Praaang. Aku terlonjak kaget, ketika mendengar satu lagi suara kaca yang dibanting hingga berderai di lantai. Baru kusadari, meja buffet yang digunakan khusus untuk memajang foto-foto keluarga telah kosong."Ya Allah, Zahwa! Hentikan, Nak! Mama mohon," Aku berusaha berjalan, melintasi lantai yang penuh dengan pecahan-pecahan kaca."Aku benci dia, Ma. Aku benciii!" Praaang.Aku menutup telinga, ketika foto Mas Firman yang berpose dengan memeluk Zahwa saat ia masih berusia sepuluh tahun, dibanting keras ke lantai. "Udahlah, Nak. Dengarkan mama. Mama mohon berhenti," Kuraih gadis kecil yang mulai beranjak remaja itu, k