Jangan lupa tambahkan ke daftar pustaka kamu dan vote gem buat Hana, Beb. Biar makin semangat gituu. Terima kasih, Zheyenkk
"Ya, tapi sebentar lagi aku bukan lagi istrimu. Tunggu aja gugatan dariku!"Aku terus meronta. Tapi, tetap saja Mas Firman tidak mau melepaskan. Tatapan aneh dan sinis pengunjung pun tak kunjung membuatnya takut."Jangan pikir, aku akan menceraikanmu, Jane! Jangan mimpi!" "Aaaw, sakit, Mas!" erangku, karena cengkeramannya berpindah ke pergelangan tangan."Hei, lepaskan!" Tiba-tiba, Steve mendorong bahu Mas Firman, hingga terhuyung ke belakang.Cepat kuusap pergelangan tangan kanan, yang terasa panas dan sedikit perih akibat cengkeraman tadi."Siapa lo! Nggak usah ikut campur urusan rumah tangga gue!" Mas Firman bergerak maju dengan dagu yang diangkat, menantang."Gue Steve. Jane ini temen gue. Lagian sikap lo itu b4nci banget, tau nggak! Beraninya sama perempuan. Kalau berani, lawan gue!" Hanya dengan sekali hentakan bahu, Mas Firman kembali terhuyung ke belakang.Ukuran tubuh Mas Firman yang hanya bertinggi 167 cm, sungguh tidak sebanding dengan Steve, yang memiliki tinggi 180 cm dan
Aku berlari tergopoh menuju ruang keluarga. Tak kuhiraukan lagi rasa sakit luka di tangan, karena guncangan ketika berlari.Mataku membelalak, nyaris ke luar dari sarangnya, begitu melihat lantai di ruang yang biasa kami gunakan untuk bersantai itu, sudah penuh dengan beling berserakan."Ada apa ini, Bik?" tanyaku pada Bik Tarna yang masih berteriak menutupi telinganya.Praaang. Aku terlonjak kaget, ketika mendengar satu lagi suara kaca yang dibanting hingga berderai di lantai. Baru kusadari, meja buffet yang digunakan khusus untuk memajang foto-foto keluarga telah kosong."Ya Allah, Zahwa! Hentikan, Nak! Mama mohon," Aku berusaha berjalan, melintasi lantai yang penuh dengan pecahan-pecahan kaca."Aku benci dia, Ma. Aku benciii!" Praaang.Aku menutup telinga, ketika foto Mas Firman yang berpose dengan memeluk Zahwa saat ia masih berusia sepuluh tahun, dibanting keras ke lantai. "Udahlah, Nak. Dengarkan mama. Mama mohon berhenti," Kuraih gadis kecil yang mulai beranjak remaja itu, k
"Bapak," Segera kuhampiri dan mencium punggung tangannya dengan takzim."Bapak sendiri aja? Ibu mana?""Ada di dalam, Nak Jane.""Bapak dan Ibu kapan datang?""Tadi malam. Kami langsung meluncur ke Jakarta, begitu mendengar kabar dari Firman, kalau kalian akan bercerai hari ini," ujarnya dengan logat Jawa Timur yang khas.Kutatap wajah keriput, yang tua melebihi umurnya. Dulu, Pak Darmo-bapaknya Mas Firman bekerja sebagai kuli panggul di pasar. Sedangkan ibunya berjualan jamu gendong keliling.Kemudian aku berinisiatif untuk membangunkan sebuah toko sembako untuk Bapak dan gerobak jamu untuk Ibu supaya bisa berjualan di depannya.Mana tega aku membiarkan mereka masih bekerja keras, sementara anak dan menantunya hidup bergelimangan kemewahan di Jakarta.Mereka menolak ketika aku mengajak untuk tinggal bersama kami di Jakarta. Dengan alasan, mereka tidak terbiasa hidup di kota yang penuh hingar bingar."Nak Jane," Bapak melambaikan tangannya pelan, di depan wajahku.Aku terkesiap. "Eng,
"Bang, Zahwa, Bang!" ujarku setengah memekik."Kenapa dengan Zahwa?" Bang Yudha yang tadinya bersandar, ikut terduduk tegak."Zahwa kayaknya mau bunuh diri, Bang," Suaraku bergetar panik. Seakan akalku hilang dan tak sanggup berpikir lagi."Apa?" pekik Bang Yudha dan Kak Vera serentak.Mas Firman yang berdiri tak jauh dari kami, tersentak kaget. Ia menatap penuh tanya kemudian melangkah menghampiri."Ada apa, Jane? Selintas, aku mendengar kalian berteriak panik menyebut nama Zahwa.""Ini semua gara-gara kamu, tahu nggak! Kalau sampai terjadi apa-apa dengan keponakanku itu, habislah kau di tanganku," geram Bang Yudha. Begitu marahnya ia, sampai gerahamnya pun mengatup keras."Maksud kalian apa? Aku benar-benar nggak ngerti.""Udahlah, Bang. Kita harus cepat ke sana. Takut terjadi apa-apa pada Zahwa," tukasku dengan suara yang masih bergetar."Ya udah, kamu pergi sama abang aja. Mobil kamu biar aja di sini dulu. Kalian sekarang nunggu di mobil aja. Biar abang ngomong ke Pak Armand dulu.
"Ya Allah, istighfar, Nak. Jangan begitu. Kamu nggak kasihan sama mama? Mama sayang banget sama kamu," Aku berteriak, berusaha membujuk putri semata sayangku itu."Aku ini cupu, b3go kan, Ma? Aku ini anak dari tukang selingkuh juga kan, Ma? Aku malu, waktu foto Papa dipajang di mading. Aku terus diejek setiap hari karena papaku ketahuan selingkuh dan digerebek massal. Untuk apa aku hidup, Ma. Aku capek dibully terus, huhuhu ….""Nggak gitu, Nak. Kamu itu cantik, pintar, selalu juara umum kan? Siapa yang bilang kamu b3go? Nggak ada!""Ada, Ma, ada. Mereka …." Telunjuk Zahwa menunjuk ke arah sekumpulan anak-anak perempuan di luar kerumunan. Mereka langsung menundukkan kepala, begitu semua mata menoleh."Mereka yang nyebarin foto-foto Papa, Ma. Mereka yang terus ngehina aku. Mereka bilang jangan-jangan aku ini juga anak haram. Apa benar aku ini anak haram?"Aku ternganga mendengar penuturan gadis, yang baru duduk di kelas dua sekolah menengah pertama itu. Sampai seperti itukah perkembanga
Jantungku nyaris berhenti berdetak, melihat putri semata wayangku memijak bagian rapuh pinggiran balkon. Beruntung Allah masih mengizinkannya untuk tetap hidup. Zahwa masih bisa menjaga keseimbangan tubuh, hingga jatuh ke belakang. Orang-orang di sekitar ikut menarik napas lega. Ketegangan yang ada, seperti sedang menonton adegan action di film Hollywood. "Mama ke atas ya, Nak." Zahwa mengangguk lemah. Pasti saat ini dia pun sedang shock. Aku dan Kak Vera berlari menuju bagian atap sekolah, dengan menggunakan lift terlebih dahulu sampai ke lantai tiga. Lalu disambung dengan tangga biasa. Kudapati Zahwa menangis dengan posisi telungkup. Perlahan aku dan Kak Vera melangkah mendekati gadis malang itu. Sesekali kami melempar pandang. Tersirat kesedihan mendalam di netra kakak iparku itu. "Zahwa … Sayang …." Kuletakkan tangan dengan hati-hati di atas pundaknya. "Huhuhu," Bahunya masih berguncang "Kita pulang, yuk," bujukku pelan. Zahwa mengangguk dalam tunduknya. Perlahan ia bangk
Aku membalikkan badan menghadap gadis polos itu. Wajahnya sudah basah lagi dengan air mata. Kubingkai wajahnya dengan kedua tangan seraya tersenyum. "Coba kamu lihat mama. Apa kamu lihat mama sesedih yang kamu pikirkan, hum?" Zahwa menelusuri wajahku dan menyelami netra yang kuupayakan untuk tidak terlihat ada luka. Perlahan gadis itu menggeleng. Senyumku pun mengembang. "Mama baik-baik aja kan? Mama sama sekali nggak peduli. Karena apa? Karena selain Eyang, Pakde, Bude, mama juga sudah punya kamu, itu sudah lebih dari cukup!" Bola mata yang sendu itu bergerak-gerak menatap mataku. Lalu perlahan senyum tipis mengembang di wajah putih mulus itu. "Mama memang wanita yang hebat. Aku salut banget, Ma." "Makasih, Sayang. Kamu itu sumber kekuatan mama untuk selalu kuat dan bertahan. Tapi, kamu harus janji, kejadian seperti tadi, jangan sampai terulang lagi ya? Mama bisa gila kalau kehilangan kamu." "Maafin aku ya, Ma." *Ya udah, sekarang, kamu ke kamar, mandi, terus istirahat ya."
"Udah deh, kamu jangan bawel! Abang dan Revan sudah mengantongi kartu as si Firman. Dan itu bisa digunakan untuk merampas aset-aset rahasianya nanti." Kartu as Mas Firman? Apa maksud Bang Yudha sih? Cepat kusambar kunci mobil dan tas di nakas. Sebelum turun, kuperiksa Zahwa di kamarnya, untuk mengetahui apa yang dilakukannya saat ini. Pelan-pelan, kutekan pegangan pintu dan mendorong sedikit daun pintunya. Dari balik pintu, tampak Zahwa sedang berbaring miring. Kuhampiri gadis semata sayangku itu. Sebenarnya dulu, pernah juga sempat mengalami kehamilan saat Zahwa berusia delapan tahun. Hanya saja, kondisi kandunganku yang memang tidak begitu kuat, aku harus merelakan janin lima bulan itu mesti diangkat. Aku berlutut di hadapan gadis yang tengah terlelap itu. Kuusap perlahan rambutnya. Wajahnya benar-benar sangat mirip dengan Mas Firman. Mungkin itu salah satu sebab, kenapa Zahwa begitu dekat dengan papanya. Lagi, air mata kembali berderai tanpa izin. Membasuh perih yang teru