Share

Bab 4

Author: Tedy
Penyembuhan luka di kakinya sangat lambat, siang dan malam terus berdenyut pelan dengan rasa nyeri.

Saat dokter membuka perban untuk memeriksa, alisnya langsung berkerut dan berulang kali mengingatkan, “Pantangannya harus benar-benar dijaga. Alkohol, makanan pedas dan makanan yang memicu alergi… semuanya nggak boleh disentuh sama sekali. Kalau nggak, lukanya gampang meradang dan bekasnya bisa jauh lebih parah.”

Wiliam berdiri di samping, mendengarkan dengan serius, lalu mengangguk, “Baik, dok. Tenang saja.”

Sesampainya di rumah, Wiliam melonggarkan dasinya dan berkata pada Celine yang sedang naik tangga dengan langkah pelan, “Malam ini ada jamuan perayaan penting. Gwen juga ikut. Ini pertama kalinya dia datang ke acara seperti itu, dia belum paham apa-apa. Kamu lebih perhatikan dia dan sekalian membimbingnya.”

Langkah Celine tidak berhenti. Punggungnya menegang sesaat, lalu menjawab sangat pelan, “Iya.”

Jamuan malam itu gemerlap dengan cahaya lampu dan para tamu berdandan mewah.

Celine mengenakan gaun panjang hitam yang sederhana, berusaha sebisa mungkin untuk tidak menarik perhatian.

Sementara Gwen mengenakan gaun pendek merah muda yang mencolok, menempel erat di sisi Wiliam, sambil menatap sekeliling dengan rasa ingin tahu.

Bisikan-bisikan seperti nyamuk berdengung di sekelilingnya.

“Lihat, pemilik asli dan pengganti sama-sama datang.”

“Pak Wiliam jelas lebih memanjakan yang muda, ke mana-mana selalu diajak.”

“Sepertinya Celine benar-benar bakal tersingkirkan. Sepuluh tahun juga percuma, namanya juga laki-laki.”

Setiap kalimat seperti jarum halus, menusuk hatinya yang sudah penuh luka.

Baru keluar dari kamar mandi, Celine bahkan belum sempat melihat jelas keadaan sekitar, pergelangan tangannya sudah dicengkeram kuat dan diseret ke sudut ruangan.

Wajah Wiliam muram, matanya penuh amarah dan ketidaksabaran, “Kamu ke mana saja? Bukannya aku menyuruhmu menjaga Gwen?!”

Celine kesakitan karena cengkeramannya, belum sempat bicara, dirinya sudah diseret kembali ke tengah aula.

Suasana di sana tegang. Seorang mitra bisnis bertubuh gemuk, bernama Pak Anton, bajunya basah dan bau alkohol menyengat. Dia menunjuk Gwen yang gemetaran dan mata berkaca-kaca, sambil memakinya.

“Nggak punya mata?! Kamu mampu ganti bajuku ini?!”

Gwen ketakutan, terus bersembunyi di belakang Wiliam, menangis tersedu-sedu, “Kak Wiliam, aku nggak sengaja. Dia… dia menyentuhku, makanya aku….”

Wajah Wiliam semakin memuram. Dia melindungi Gwen lebih erat dan berkata pada Anton, “Pak Anton, hanya ketidaksengajaan, nggak perlu semarah ini. Bajunya kuganti sepuluh kali lipat. Aku minta maaf atas nama dia.”

“Minta maaf?” ujar Anton mencibir, jelas sudah mabuk. Dia tak mau mengalah, “Pak Wiliam, membela orang juga ada batasnya! Kalau mau minta maaf, harus ada niat baiknya! Suruh dia!”

Jarinya pun menunjuk Gwen, “Habiskan semua alkohol ini! Setetes pun nggak boleh tersisa! Kalau nggak, urusan ini nggak bisa dianggap selesai!”

Itu satu botol minuman keras berkadar tinggi.

Gwen menjerit ketakutan, memeluk lengan Wiliam erat-erat, “Aku nggak mau! Kak Wiliam, aku nggak mau minum! Aku bisa mati!”

Kening Wiliam berkerut dalam.

Melihat itu, Anton terkekeh, matanya menyapu Celine dan Gwen bergantian dengan tatapan cabul, “Kalau begitu, begini saja Pak Wiliam. Pilih salah satu, siapa yang minum.”

Dia menunjuk Gwen, “Entah dia.”

Lalu menunjuk Celine, “Atau dia.”

Seketika, semua pandangan tertuju pada Wiliam.

Wiliam mengatupkan bibirnya, matanya bergerak cepat di antara dua wanita itu.

Dia hanya ragu selama tiga detik.

Jarinya pun menunjuk Celine, suaranya dingin dan datar, “Dia yang minum.”

Telinga Celine berdengung. Kata-kata dokter masih terngiang jelas.

Luka di kakinya masih berdenyut nyeri.

Namun, Wiliam sudah lupa.

Atau mungkin… memang sudah tidak peduli.

Celine menatap Wiliam. Seluruh perhatiannya tertuju pada wanita di pelukannya, menepuk punggung Gwen dengan lembut untuk menenangkan, bahkan tak melirik ke arahnya.

Hatinya sudah mati.

Mungkin begitulah rasanya.

Sudut bibir Celine terangkat sedikit, seperti tersenyum, tapi lebih menyakitkan daripada tangis.

Dia tak mengatakan apa-apa. Tak menatap siapapun, langsung melangkah maju dan mengambil botol minuman keras itu.

Detik pertama saat cairan itu melewati tenggorokannya terasa seperti disayat pisau.

Perutnya bergejolak hebat.

Satu gelas.

Dua gelas.

Tiga gelas….

Sorak-sorai di sekeliling mulai terdengar samar. Yang bisa kulihat hanya punggung Wiliam yang dengan hati-hati melindungi Gwen.

Sepuluh gelas, setetes pun tak tersisa.

Botol kosong diletakkan keras di atas meja. Tenggorokannya perih hingga tak bisa bicara. Hatinya serasa tertusuk lubang besar, angin berembus melewatinya.

“Sudah cukup?” Suara Celine terdengar sangat serak.

Anton terdiam sesaat, tampaknya tak menyangka Celine akan secepat itu. Dia mendengus dan tak berkata apa-apa lagi.

Wiliam baru seolah menyadari bahwa Celine sudah selesai minum. Alisnya agak berkerut, tapi Gwen dalam pelukannya kembali terisak, langsung menarik seluruh perhatiannya.

Celine berbalik, berlari keluar dengan terhuyung, langsung menuju kamar mandi.

Pintu ditutup dengan keras. Dia membungkuk di atas wastafel dingin, muntah hebat, tapi tak ada yang keluar.

Rasa sakit membuat keringat dingin bercucuran. Dia membungkuk, jari-jarinya gemetar saat ingin mengangkat ujung gaun, ingin memeriksa apakah lukanya terbuka lagi, apakah berdarah lagi?

Dia mencondongkan tubuh ke arah bagian yang sakit itu, tanpa sadar meniupnya pelan, seperti terjatuh saat kecil dan meniup lukanya sedikit agar tak terlalu sakit.

Tiba-tiba, dari bilik sebelah terdengar suara napas terengah-engah yang begitu familiar.

Suara Wiliam terdengar penuh gairah, “Dasar nakal, pintar sekali menggoda orang.”

Disusul tawa manja Gwen, sambil terengah-engah, “Hm, Kak Wiliam, lalu bagaimana dengan Kak Celine?”

“Emangnya dia siapa? Sekarang, kamu yang paling penting,” ujar Wiliam dengan suara yang semakin kabur, lalu terdengar suara bibir saling beradu, desah ambigu dan gesekan kain.

Suara itu semakin menjadi, tanpa sedikit pun rasa sungkan.

Celine membungkuk dan membeku di tempat.

Rasa sakit membuatnya hampir tak bisa bernapas.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Akhir Dari Segalanya   Bab 24

    Di Singpur, kehidupan Celine perlahan terisi oleh ritme yang baru.Pekerjaan tetap menjadi pusat hidupnya. Tim yang dia pimpin dengan cepat berjalan stabil dan beberapa proyek sulit berhasil dirinya tuntaskan dengan hasil yang sangat memuaskan.Promosi jabatan, kenaikan gaji, semuanya berjalan lancar.Di akhir pelan, Celine sesekali mengunjungi museum seni atau mengajak teman-teman baru yang dikenalnya untuk mencoba berbagai jenis makanan.Dia juga belajar memasak beberapa hidangan sederhana dan ternyata hasilnya cukup enak.Dia sangat jarang memikirkan Wiliam. Hanya sesekali, saat melihat berita ekonomi yang menyinggung Grup Vier, pandangannya akan berhenti beberapa detik lebih lama, lalu menggeser layar dengan tenang.Pria itu seolah menepati sebuah kesepakatan tak terucap, tak pernah muncul lagi dan tak pernah mencoba menghubunginya.Hal itu membuatnya lega dan juga merasa mungkin Wiliam benar-benar sudah melepaskannya.Di Makas, Wiliam menjadi jauh lebih pendiam dibanding sebelumny

  • Akhir Dari Segalanya   Bab 23

    Celine kembali ke apartemennya dengan hati yang luar biasa tenang.Dia mengunci pintu dari dalam, tidak menyalakan lampu utama, hanya menyalakan lampu lantai. Cahaya kekuningan menyelimuti hunian kecil yang sebenarnya belum lama dirinya tempati itu.Dia berjalan ke jendela dan memandang jalanan di bawah.Beberapa hari sebelumnya, bos besar memanggilnya ke ruang kantor. Bukan karena ada kesalahan dalam pekerjaannya, melainkan memberinya sebuah pilihan yang sama sekali tak terduga.“Cabang Singpur di Wilayah ASIYA membutuhkan seorang penanggung jawab. Bisnis di sana berkembang pesat, tapi timnya butuh penataan ulang. Tantangannya besar.”Bos menatapnya dengan sorot mata tajam, “Ada anggota dewan yang merekomendasimu. Mengingat kinerjamu di kasus akuisisi sebelumnya dan sepertinya kamu juga membutuhkan perubahan lingkungan.” Ucapan itu disertai lirikan bermakna ke arah jendela, ke bawah gedung.Seketika, Celine mengerti maksudnya.Gangguan yang terus-menerus dari Wiliam akhirnya tetap sa

  • Akhir Dari Segalanya   Bab 22

    Seperti biasa, Wiliam menunggu di bawah gedung kantor itu. Dia bahkan sudah terbiasa dengan penantian tanpa harapan seperti ini.Meski setiap kali sosok itu muncul, yang dirinya dapat hanya bayangan yang menjauh.Namun, hari ini tampaknya berbeda.Saat Celine keluar , dia tak langsung berjalan lurus menuju stasiun kereta seperti biasa, melainkan berhenti tepat di hadapannya.Jantung Wiliam berdetak keras, sampai-sampai dia hampir mengira dirinya sedang berhalusinasi.“Ayo, makan bersama,” kata Celine dengan suara yang sangat tenang, tanpa emosi yang jelas. “Di restoran Ital depan sana saja.”Seketika kegembiraan yang luar biasa membanjiri hati Wiliam.Wiliam menjadi salah tingkah, bahkan bicaranya pun menjadi terbata-bata, “Iya, iya, ayo makan. Aku tahu tempat itu, tunggu aku sebentar, aku akan segera ke sana.”Dia berlari kencang menuju apartemennya, lalu dengan terburu-buru merogoh kotak beludru dari laci penyimpanan.Akhirnya Celine luluh dan memberinya kesempatan. Ternyata kegigih

  • Akhir Dari Segalanya   Bab 21

    Setelah keluar dari rumah sakit, Wiliam hanya mengingat helaan napas terakhir Celine dan dengan keras kepala menafsirkan helaan napas itu sebagai tanda hatinya melunak.Ujian… ini pasti ujian terakhir darinya.Celine hanya butuh waktu, butuh bukti ketulusannya yang lebih besar.Wiliam kembali bangkit, bahkan menjadi lebih nekat dari sebelumnya.Dia melepaskan sebagian besar urusan di dalam negeri yang mengharuskan kehadirannya secara langsung dan memilih bekerja jarak jauh, seolah-olah ‘mengejar kembali Celine’ telah menjadi satu-satunya karir yang dirinya tekuni saat ini.Percobaan pertama, dia membawa seikat mawar merah yang segar dan menunggunya di bawah gedung perusahaan.Saat Celine keluar, matanya menyapu sosok pria itu, beserta gumpalan warna merah di pelukannya dengan tanpa riak emosi sedikit pun.Langkah kakinya tidak berhenti, Celine terus berjalan menuju stasiun bawah tanah.Wiliam mengejarnya sambil memeluk bunga itu, tapi Celine mempercepat langkah, membaur ke dalam kerumu

  • Akhir Dari Segalanya   Bab 20

    Wiliam berusaha keras membuka kelopak matanya yang terasa sangat berat.Yang terlihat di atas kepalanya adalah langit-langit putih yang asing, botol infus tergantung di penyangga, meneteskan cairan obat perlahan.Wiliam terdiam beberapa detik, barulah dia menyadari bahwa dirinya berada di rumah sakit.Sisa mabuk membuat kepalanya terasa seperti hendak pecah, sementara perutnya perih seperti terbakar.Dia secara reflek menggerakkan jarinya, lalu menyentuh kulit yang hangat.Dia langsung menoleh. Celine sedang duduk di kursi di samping ranjang, menunduk menatap ponselnya. Wajahnya terlihat sangat tenang.Seketika gelombang kegembiraan menghantam Wiliam.Dia tahu… dia tahu masih ada dirinya di hati Celine. Celine masih tidak rela meninggalkannya. Melihatnya pingsan, Celine masih tetap khawatir dan datang menemaninya.“Celine,” terdengar suara Wiliam yang serak, tapi dipenuhi kegembiraan dan getaran yang tak bisa disembunyikan. Dia reflek ingin menggenggam tangannya. “Aku tahu kamu masih

  • Akhir Dari Segalanya   Bab 19

    Rencana akhir akuisisi akhirnya mendapatkan persetujuan bulat dari dewan direksi. Pihak perusahaan lawan pun menyatakan persetujuan awal. Yang tersisa hanyalah negosiasi detail.“Kerja bagus, Celine!” Pria asing tua yang biasanya serius itu akhirnya tersenyum. Dia menepuk bahu Celine dengan kuat, “Kita harus merayakannya malam ini, kita wajib minum-minum!”Seluruh tim proyek langsung bersorak gembira, suara sorakan mereka seolah mampu meruntuhkan atas gedung.Selama masa ini, tekanan yang mereka hadapi sangat besar dan kini kebahagiaan atas kesuksesan tersebut menghapus semua perasaan lelah.Rekan-rekan kerja mengerumuni Celine, saling bersahutan membahas restoran mana yang akan dipilih untuk merayakan, lalu turun ke bawah dengan riuh.Begitu angin dingin di luar gedung meniup, Celine reflek mengangkat bahunya sedikit. Senyuman santai masih terukir di wajahnya.Dia sengaja mengabaikan tatapan mata yang membara dari arah yang tidak jauh darinya.Wiliam kembali menunggu di sana.Saat mel

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status