Share

Panti Asuhan Bahagia

Jevan memandangi kue black forest yang ada di meja Rara. Jam istirahat masih berlangsung dan Jevan tidak berniat ke kantin. Ia ditinggalkan di kelas sendiri, setelah perempuan di kelas banyak bertanya mereka kelelahan sendiri dan akhirnya memilih ke kantin. Mia tadi sempat menawarinya untuk ke kantin bersama, mengingat Jevan masih menjadi murid baru. Tetapi, Jevan menolak dengan alasan ia tidak lapar. Padahal, saat jam pelajaran Bu Sulis, Jevan tidak memperhatikan sama sekali. Ia ingin meminta kue black forest yang terletak di meja Rara. Namun, ia masih tau diri.

“Jangan ikutin gue terus,” suara yang tidak asing masuk ke telinga Jevan yang sedang menidurkan kepalanya di mejanya.

Jevan mengangkat wajahnya, tanpa sadar senyumnya mengembang begitu melihat Rara yang sudah datang ke kelas. Tetapi, ada Naren yang mengikuti langkah Rara. Jevan mengawasi keduanya, Rara yang kini mulai fokus mempelajari pelajaran selanjutnya dan Naren yang duduk di bangkunya dengan memakai headset di kedua telinganya. Fokus Naren masih ke Rara.

Jevan menggeser bangkunya ke Rara. Rara yang fokus belajar, menatap tingkah Jevan aneh.

 Jevan tersenyum kecil, “Ra, gue mau itu,” Jevan menunjuk kue black forest.

“Lo kelaparan?” tanya Rara.

Naren menimpali, “Itu kan punya Nona,”

Rara menoleh ke belakang, “Narenn, kan gue udah bilang,”

“Oh iya, mohon maaf. Besok akan dibiasakan,” tanggap Naren.

“Dia siapa sih Ra?” tanya Jevan. Jevan melirik Naren sebentar.

“Gue pikir lo tau tentang Naren,” ujar Rara sembari membuka kue black forest nya.

“Gue cuman tau lo anaknya Om Zarhan. Om Zarhan gak ada bahasan tentang Naren,” kata Jevan.

“Katanya, bokap gue ngirim buat jaga gue,” info Rara. Rara memotong kue black forestnya menjadi potongan kecil agar Jevan lebih mudah memakannya.

“Nama bokap gue Om Zarhan?” tanya Rara. Ia memindahkan kue black forest itu ke piring plastik. Rara menduga Lia membali piring plastik terpisah.

“Lo sama sekali gak ingat?” Jevan menerima piring plastik dan mulai makan kue black forest.

“Udah gue bilang semuanya kerasa aneh. Temen sekelas gue juga jadi baik ke gue padahal selama ini mereka selalu nurutin perintah Lia, Mia, dan Amel kalau merudung gue,” bisik Rara pelan pada Jevan.

Jevan mengerutkan keningnya, mendengar perkataan Rara. “Lo yakin? Bukannya ini kue dari tiga cewe itu?”

“Iya itu, tingkah mereka aneh. Makanya, gue takut di jailin sama mereka,” tanggap Rara.

Rara memperhatikan Jevan yang masih sibuk makan. Rara tertawa kecil melihat Jevan yang kelaparan.

“Lo kenapa gak ke kantin aja?” tanya Rara.

“Gak ada temen gue,” Jevan menjawab dengan wajah sedihnya.

“Lo mah tipe yang bakalan dapet temen yang banyak. Gak kaya gue,” Rara menepuk pundak Jevan.

Jevan menatap Rara beberapa saat, “Padahal lo cantik, pinter terus baik. Kok temen lo jahat ya?”

Rara menggeleng sebagai jawaban, ia hanya dapat menyinggungkan senyum tipisnya.

“Jangan buat Rara sedih,” Naren menimpali perkataan Jevan. Sedari tadi, Naren hanya diam karena ia merasa bukan urusannya. Tetapi, perkataan Jevan rasanya keterlaluan.

Jevan menimpali, “Gue gak bermaksud begitu.”

“Udah gue gak apa kok. Sekarang kan ada kalian,” Rara tersenyum kecil, ia menatap Jevan dan Naren bergantian.

Keheningan meliputi ketiganya. Jevan menatap jam tangannya, bel masuk sebentar lagi akan berbunyi. Naren kembali sibuk mendengarkan musik.

“Kita hari ini jadi kan ke Panti?” tanya Rara sembari menatap Jevan dengan tatapan berharap.

“Iya jadi,” jawab Jevan.

Jevan berdiri dan kembali ke mejanya dengan menggeser bangkunya. Setelah itu, bel masuk pun berbunyi.

+++

Lia mendatangi meja Rara. Rara yang sedang membereskan mejanya, menghentikan aktivitasnya. Pasti ia diminta untuk menggantikan Lia piket. Selalu begitu, Lia akan mengancam Rara apabila Rara menolak permintaannya.

“Oke, gue gantiin lo piket,” ujar Rara cepat.

Lia tertawa kecil, “Hahaha, gak usah, Ra. Gue bisa sendiri. Gue kesini mau bilang lo hati – hati di jalan.”

Rara mengerutkan keningnya, kenapa tingkah perempuan di hadapannya ini aneh. Ia masih menyimpan rasa curiga pada kelasnya. Sejak ia tertabrak, semuanya berubah.

Sebenarnya kedua orang tuanya melakukan apa sampai sikap teman sekelasnya berubah?

“Tenang saja, Rara pasti selamat,” Naren berdiri di samping Rara yang masih duduk. Naren menatap Lia datar. Lia yang merasa terintimidasi dengan tatapan Naren segera berlalu tanpa mengatakan apapun.

“Lo jangan galak – galak. Liat, Lia jadi takut,” Rara kembali membereskan mejanya.

“Nona juga terlalu baik hati,” komentar Naren.

“Ren, ini masih di sekolah,” Rara berdiri.

“Maaf, saya …maksudnya gue lupa,” Naren menatap Rara yang kini sibuk dengan ponselnya.

“Oh iya, gue hari ini mau ke Panti Asuhan Bahagia,” kata Rara ia menunjukkan pesan yang isinya menginformasikan ke Bu Unike bahwa Rara akan datang.

Naren menatap ponsel Rara sebentar, ia mengangguk. “Gue juga ikut.”

“Loh kenapa?” tanya Rara.

“Tugas gue kan, ngejaga lo,” kata Naren agak kaku. Ia masih berusaha terbiasa mengatakan lo – gue.

“Kalau gue nolak? Lo tetap ikut kan?” tanya Rara.

Naren mengangguk.

“Ayo Ra,” kata Jevan semangat. Wajahnya tampak tak sabar.

“Lo keliatan semangat banget,” tanggap Rara.

Wajar saja Jevan penasaran dengan asal usul gadis di depannya. Jevan hanya diminta untuk mengawasi Rara sejak di toko oleh ayah Rara. Ia hanya mampu setuju tanpa bertanya lebih jauh tentang identitas Rara. Yang ia tau, Om Zarhan tidak mempunyai anak sama sekali. Tetapi, seminggu sebelumnya Om Zarhan meminta Jevan mengawasi dan menjaga Rara. Ayah Jevan mengenal baik Ayah Rara, mana bisa Jevan menolak permintaan teman baik Ayahnya.

“Naren ikut kita ya. Gue harus dalam pengawasan dia,” Rara berbisik pada Jevan.

Naren berjalan di belakang, mengikuti keduanya. Naren cukup tau diri, kalau ia tidak perlu terlalu dekat dengan Rara mengingat mereka hanya atasan dan bawahan. Sesekali Naren membalas tatapan murid dengan dingin yang menatap Rara dengan tatapan mengejek dan terkejut karena Rara dekat dengan Jevan.

Omong – omong, Jevan langsung populer mengingat ia adalah anak seorang pengusaha sukses di industri perminyakan. Sifat Jevan yang ramah membuat ia langsung di sukai oleh satu sekolah. Sedangkan, Naren populer dengan sifat tidak pedulinya dan julukan ‘penjaga Rara’ langsung disematkan pada dirinya. Memang benar, hanya saja gosip bekerja dengan cepat.

 Ketiganya, sudah di koridor sekolah. Mereka meninggalkan kelas dengan keadaan tenang. Yang biasanya, akan ada adegan perudungan terlebih dahulu atau Rara akan membersihkan satu kelas atas perintah Lia. Kini tidak ada, benar – benar berubah.

“Gue bareng sama Naren,” info Rara pada Jevan.

“Oke, gue ikut entar dari belakang. Sekalian jagain lo,” kata Jevan tersenyum.

“Rara gak harus di jagain, udah ada gue,” kata Naren dingin, ia membuka pintu mobil.

“Gue di samping lo aja, Ren,” Rara buru – buru menutup pintu mobil. Ia sadar murid yang berada di parkiran menatapnya dengan tatapan sedikit sinis, mereka menganggap Rara manja.

Jevan tak mengindahkan perkataan Naren. Ia hanya melirik Naren sebentar sebelum akhirnya kembali fokus ke gadis dengan warna mata kecoklatan itu.

“Kalau gitu gue masuk dulu ya,” kata Rara sembari membuka pintu mobil di samping kemudi.

“Yuk Ren,” kata Rara mengkode Naren. Naren mengangguk.

+++

Ketiganya sampai di Panti Asuhan Bahagia tiga puluh menit kemudian. Untungnya, suasana jalanan tidak begitu ramai. Biasanya, Rara naik angkutan umum dan itu memakan waktu satu jam. Rara benar – benar beruntung kehidupannya menjadi lebih baik.

“Kakla?” suara anak kecil terdengar terkejut begitu Rara masuk ke Panti Asuhan Bahagia. Rara masuk dengan diikuti Jevan dan Naren yang memperhatikan Panti Asuhan Bahagia.

“Darel!” Rara berjongkok sembari merentangkan kedua tangannya. Darel, si anak kecil berlari kecil dan masuk ke pelukan hangat Rara.

“Kakla~ Dalel kangenn~” kata Darel dengan suara cadelnya.

“Kakla?” tanya Jevan.

“Kak Rara,” jelas Rara. Rara menggendong anak kecil berusia enam tahun itu. Ia tertawa begitu Darel terlihat bahagia karena berada dalam gendongan Rara.

“Mana Ibu? Kok sendiri di ruang tamu?” tanya Rara sambil mengajak kedua lelaki di belakangnya mengikuti langkahnya.

“Dalel lagi diam aja. Ibu ada di belakang rumah Kakla,” ujar Darel dengan semangat ia menunjuk pintu ke arah belakang rumah.

Naren menutup dan mengunci pintu terlebih dahulu. Tadi, saat ketiganya masuk, pintu hanya di tutup saja. Demi keamanan Naren, mengecek pintu dan jendela terlebih dahulu barulah ia menyusul langkah Rara dan Jevan.

“Kaklaa!”

“Ada Kakla!”

“Kak Raraaa~”

Suara sambutan yang bersemangat membuat senyum Rara mengembang. Ia menurunkan Darel hati – hati. Darel masih memeluk leher Rara erat, meskipun kaki kecilnya sudah menginjak tanah. Anak – anak lain langsung mengerumuni Rara dan Darel. Jevan dan Naren hanya menatap interaksi Rara dengan anak – anak panti asuhan dalam diam, keduanya bertatapan sebentar, kemudian memilih kembali fokus ke Rara yang terlihat bahagia.

“Anak – anak, kasian Kak Raranya. Nanti dia gak bisa napas,” Bu Unike datang dengan dua orang perempuan remaja yang membawa nampan minuman.

“Ayo semuanya duduk dulu yang rapi,” pinta seorang remaja perempuan berkacamata.

Anak – anak panti asuhan langsung duduk di karpet yang memang tersedia. Rara berdiri dan dengan cepat menghampiri Bu Unike.

Seorang remaja perempuan dengan rambut panjang menghampiri Jevan dan Naren. Ia menuntun kedua lelaki yang usianya lebih tua darinya agar bergabung bersama anak – anak panti. Keduanya mengikuti langkah perempuan itu, memberi waktu pada Rara dan Bu Unike.

“Selamat datang, Sayang,” Bu Unike tersenyum lembut.

Mata Rara otomatis berkaca – kaca, ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan tangis. Bu Unike mendekati Rara dan memeluknya erat. Sesekali tangan Bu Unike menepuk punggung Rara, menenangkannya.

“Rara ka-kangen Ibu…” ujar Rara pelan. Suaranya bergetar di dalam pelukan Bu Unike.

“Ya ampun, anak ini,” Bu Unike terkekeh pelan. “Siapa yang gak akan kangen dengan kamu?” lanjut Bu Unike sembari melepaskan pelukan.  Bu Unike menuntun Rara ke kursi rotan yang terletak tak begitu jauh dari karpet anak – anak panti.

“Kamu tumbuh dengan baik ya,” Bu Unike mengelus rambut kehitaman Rara.

“Kamu makan dengan baik?” tanya Bu Unike perhatian. Rara hanya dapat mengangguk, matanya masih mengeluarkan cairan bening.

“Keadaan disini gimana?” tanya Rara perlahan, masih berusaha mengatur napasnya.

“Semuanya baik – baik aja,” Bu Unike menatap anak – anak panti dengan senyumnya.

“Resti dengan Jesica masuk ke SMP delapan, yang favorit itu,” kata Bu Unike, kini netranya menatap kedua remaja perempuan berkacamata dan rambut panjang.

Rara mengikuti arah pandang Bu Unike, “mereka emang pintar.”

“Ibu harap mereka ikut jejak kamu. Dapat beasiswa di sekolah Xanderiany,” ujar Bu Unike semangat.

Rara terdiam beberapa saat. Dalam hati kecilnya, ia tak setuju kalau Resti, si kacamata dan Jesica, si rambut panjang masuk ke Sekolah Xanderiany. Rara tau jelas, pergaulan di sekolahnya mementingkan posisi orang tua.

“Semoga aja ya, Bu,” ujar Rara, ia memilih jawaban yang paling aman.

“Mereka teman kamu?” tanya Bu Unike, ia menatap Jevan dan Naren yang sibuk mengajarkan anak – anak panti.

“Yang itu Jevan Anandra. Dia…” Rara terdiam sebentar, tak mungkin ia menceritakan tentang kecelakaan yang di alaminya. “Temen aku di sekolah, murid baru.”

“Ganteng ya dia, sosoknya terlihat hangat dan peduli,” Bu Unike memperhatikan Jevan yang tak berhenti tersenyum dan peduli pada anak – anak panti.

“Yang satu lagi, Narendra Barreska. Dia juga temen aku,” jelas Rara menatap Naren yang di kerumuni anak panti asuhan. Rara tak mungkin memperkenalkan Naren sebagai penjaga dirinya, lagipula Rara menganggap Naren sebagai temannya.

Bu Unike mengangguk, ia menatap Naren yang berusaha untuk tak kaku di hadapan anak – anak panti. Bu Unike tersenyum hangat pada Naren karena Naren menatapnya sekilas. Naren mendatangi Bu Unike dan Rara.

“Kenapa Ren?”

“Ibu memanggil saya?” tanya Naren sopan.

Bu Unike menatap Naren bingung, “enggak.”

Keheningan menyelimuti ketiganya. Naren berdiri di depan Rara dengan tegap. Rara mengerutkan keningnya melihat tingkah Naren. Naren hanya berpikir kalau Bu Unike memanggilnya di karenakan tadi Bu Unike tersenyum padanya.

“Ya udah sekalian kenalan aja,” Rara berusaha mencairkan suasana.

“Ren, ini Bu Unike yang selama ini jagain gue,” kata Rara berdiri. Bu Unike ikut berdiri dan menyambut uluran tangan Naren.

“Saya Naren, yang menjaga Nona Rara sekarang,”

Mata Rara membulat mendengar perkataan Naren. Bu Unike tampak kebingungan.

“Penjaga? Nona?” Bu Unike menatap Rara, menuntut penjelasan.

“Aku bisa jelasin, Bu,” Rara berusaha bersikap tenang.

Anavya

Terima kasih sudah membaca. Mohon dukungannya~

| 1

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status