Share

Sekolah Dengan Perubahannya

“Selamat pagi Non,” kata Bi Ica menyambut Rara yang baru saja keluar dari kamarnya. Rara tersenyum canggung, ia masih belum terbiasa dengan perubahan mendadak yang terjadi pada dirinya. Rara baru saja selesai mandi dan berniat sarapan di bawah.

Bi Ica mengikuti langkah Rara yang turun dari tangga. Rara terkejut begitu ia sampai di ruang makan, makanan sudah tersedia. Chef Dino tersenyum, bermaksud menyapanya. Biasanya, Rara harus membuat sarapan sendiri itupun kalau tersedia sisa makanan. Kalau tidak ada, ia bahkan tak sarapan.

“Silakan Nona. Menu hari ini ada oatmeal, nasi goreng, dan roti bakar. Untuk minumannya, ada susu, kopi, dan teh,” ujar Chef Dino menjelaskan.

Rara tersenyum, “Terima kasih ya.”

Chef Dino mengangguk kemudian ia berlalu dari hadapan Rara. Rara menatap Bi Ica dan Bi Nia yang berdiri tak jauh dari tempatnya duduk. Rara yang terbiasa sendiri, lagi – lagi merasa diawasi. Tak enak, untuk meminta mereka pergi, Rara memilih mulai makan dalam diam.

Beberapa menit kemudian, Rara selesai makan. Rara yang berniat menyimpan piringnya di dapur terkejut dengan Bi Nia yang segera mengambil piring Rara.

“Aku bisa sendiri kok,Bi,” kata Rara berusaha mengambil piring kotor bekas dirinya.

“Tidak usah Nona,” Bi Nia meninggalkan Rara. Rara hanya dapat menatap punggung Bi Nia yang menjauh.

“Sekarang waktunya untuk berangkat sekolah,” suara Naren mengalihkan pandangan Rara.

“Loh Naren?” Rara mendekati Naren yang berdiri di samping Bi Ica.

“Kamu sekolah di sana juga?” tanya Rara memindai Naren dari atas ke bawah. Naren memakai seragam sekolah Xanderiany.

“Saya di perintahkan Tuan Besar untuk men-“

“Iya. Yuk berangkat,” Rara buru – buru menyela.

Rara dengan refleks menarik tangan Naren sampai keduanya sampai di pintu depan.

“Nona keliatannya buru – buru.” Naren menatap Rara bingung. “Padahal jam masih menunjukkan pukul setengah tujuh,” lanjut Naren sambil melihat jam tangannya.

“Entar kita ketinggalan naik bus,” Rara membuka tasnya, kembali memeriksa barang bawaannya.

“Nona, anda tidak naik bus,” kata Naren pelan.

Rara lupa!

Kehidupannya sudah berubah sepenuhnya!

Naren melangkahkan kaki panjangnya ke mobil KIA yang terparkir di depan garasi rumah Rara. “Silakan Non,” Naren membukakan pintu belakang mobil.

“Uuuh, lain kali lo…maksudnya jangan bukain pintu buat aku,” kata Rara.

+++

Mereka tiba di sekolah Xanderiany. Naren memberhentikan mobil di tempat parkir khusus mobil. Rara dengan cepat membuka pintu mobilnya sendiri, sebelum Naren membukakan pintu untuknya.

“Itu tugas saya, Non,” ujar Naren tak enak.

“Mulai sekarang, gak usah ya?” bujuk Rara. Rara pikir ia bisa sendiri, lagipula bukan hal susah.

Naren tersenyum. “Baiklah.”

“Lo..maksudnya kamu mau ke ruang guru dulu?” tanya Rara. Keduanya kini berjalan menuju ruang kelas Rara.

“Saya akan mengantar Nona terlebih dahulu ke kelas,” kata Naren.

Rara menatap sekelilingnya, baru sadar kalau dirinya kini menjadi pusat perhatian. Bukan dirinya, tetapi Naren yang menjadi pusat perhatian. Lelaki di sampingnya, mungkin tidak sadar. Rara menoleh ke sampingnya, aura Naren memang tidak bisa ditolak.

“Ren, kamu sebaiknya langsung ke ruang guru aja,” Rara menghentikan langkahnya dan menatap Naren dengan senyuman.

“Udah sana,” Rara membuat gerakan mengusir.

Naren hanya mengangguk kecil, kemudian meninggalkan Rara. Rara sedikit heran, kenapa Naren hari ini penurut sekali. Padahal, saat pertama kali bertemu Naren orang yang keras kepala.

Rara sampai di depan pintu kelasnya. Rasa takut saat ia membuka pintu kelas, karena ia menduga akan ada lemparan tepung, air dan telur ke arahnya. Rara menghela napas perlahan, berusaha menenangkan dirinya.

Klek

Dorrr

“Selamat datang!!!”

“Haii Raraaaa!”

“Rara~”

“Pagi Rara~”

Suara sambutan hangat dan senang dari teman sekelasnya. Rara kebingungan, bagaimana bisa kelakuan teman sekelasnya menjadi lebih baik pada dirinya. Rara mundur.

“Ra, ayo duduk,” kata Amel menarik tangan Rara agar duduk di bangkunya.

“Akhirnya lo sembuh juga,” Lia tersenyum dan memberikan kue black forest ke Rara. Di atas kue black forest tertulis 'Selamat Datang Di Sekolah Lagi Ra.'

Rara duduk di bangkunya, ia menatap sekelilingnya, teman sekelasnya menatapnya dengan senyuman. Bukannya senang, ia malah takut akan terjadi hal buruk setelahnya. Rara menebak kini bangkunya sudah diganti menjadi bangku baru. Tidak ada bekas coretan dan bekas bau anyir yang keluar dari bangkunya.

“Ra, tugas yang Bu Irna, udah gue kerjain. Nih buat lo,” Mia memberikan bukunya ke Rara, menyimpannya di meja Rara.

“Hah?” Rara makin heran dengan tingkah ketiga perempuan yang dahulu selalu merudungnya.

“Gue gak per-“

“Udah terima aja,” sela Mia cepat.

“Ada Bu Sulis,” ujar teman sekelas Rara, Jack namanya, ia merupakan ketua kelas di kelas Rara. Lia, Mia, dan Amel kembali ke bangkunya masing – masing. Rara menyimpan kue black forest itu di laci mejanya. Rupanya, kue black forest itu tidak muat di laci meja Rara.

“Selamat pagi anak – anak,” sapa Bu Sulis.

Suara riuh terdengar begitu, di belakang Bu Sulis ada dua orang lelaki mengikuti. Rara yang sedari tadi sibuk memasukkan kue black forest ke lacinya melirik sebentar ke depan. Matanya membulat saat di depannya ada kedua lelaki yang ia kenal.

Itu Jevan!

Naren berdiri di samping Jevan dengan wajah datar andalannya. Rara mengira ia tak akan satu kelas dengan Naren karena kelas yang tersedia di sekolah Xanderiany sangat banyak, dari kelas A - O. Rara mengalihkan pandangannya ke Jevan. Jevan tersenyum tipis ke arahnya.

“Perhatian! Kalian punya teman baru yang akan bergabung bersama kalian. Silakan perkenalkan diri.” Bu Sulis mempersilakan kedua lelaki yang berdiri di sampingnya.

“Hai semuanya, gue Jevan Anandra. Gue harap kita jadi teman yang baik ya,” Jevan tersenyum sembari melambaikan tangannya dengan ramah.

Para perempuan memekik kesenangan melihat senyuman dari Jevan. Sedangkan, lelaki hanya tak peduli.

“Saya Narendra Barreska, penjaganya Rara,” kata Naren dengan datar.

Perkataan Naren membuat Bu Sulis, Jevan dan satu kelas menatap Rara dan Naren bergantian. Rara hanya menunduk, bulu kuduknya merinding karena di tatap dengan tatapan menuntut penjelasan.

Naren peka dengan situasi, dengan cepat meralat perkataannya, “Maksud saya, saya temannya Rara.”

“Baiklah, silakan Naren dan Jevan untuk duduk di bangku yang kosong,” Bu Sulis mulai mengambil spidolnya saat Naren dan Jevan melangkahkan kakinya ke bangku.

+++

Bel istirahat sudah berbunyi dan anak lelaki langsung ke kantin. Sedangkan anak perempuan mendekati meja Jevan dan Naren. Mereka mengerumuni dan melemparkan pertanyaan. Yang dibalas tanggapan ramah oleh Jevan. Naren tak menanggapi apapun, ia sibuk mengawasi Rara yang duduk di depannya. Rara mengeluh karena kue black forest itu masih saja tak kunjung muat di laci. Untungnya, Bu Sulis tadi hanya memaklumi saat Rara menyimpan kue black forest itu di mejanya saat jam pelajaran.

Naren menoel Rara yang masih sibuk dengan dunianya sendiri.

“Non,”

Akibat panggilan Naren para perempuan menatap Rara penasaran. Rara membeku ketika Lia, Mia dan Amel berpindah, yang awalnya di meja Naren sekarang ketiganya ke meja Rara.

“Lo em-“

Rara berdiri sebelum Lia menyelesaikan perkataannya. Rara menarik jas sekolah Naren, mengajaknya untuk keluar terlebih dahulu. Nekat memang, tak peduli dengan tatapan apa yang akan ia dapatkan dengan tingkahnya. Meninggalkan Jevan yang hanya dapat memandangi punggung keduanya.

Rara membawa Naren ke belakang sekolah. Tempat yang tidak terlalu ramai, pohon menjulang tinggi dan ada beberapa bangku kayu untuk duduk. Di belakang sekolah, hanya ada orang yang ingin mencari ketenangan dan dipastikan hanya anak – anak dengan julukan ‘kutu buku’ yang berkeliaran. Rara biasanya ke belakang sekolah kalau ia ingin menenangkan emosinya.

“Jangan manggil aku Nona di sekolah,” Rara menetralkan napasnya karena tergesa – gesa menarik Naren.

“Soalnya aku gak nyaman dan gak biasa,” ujar Rara lagi karena Naren hanya menatap Rara dengan penasaran.

“Tidak bisa begitu Non, bagaimanapun juga anda adalah atasan saya,” kata Naren setelah terdiam beberapa saat.

“Tapi tetap aja, ini sekolah Ren. Gue kebingungan sendiri dengan tingkah mereka yang tiba – tiba baik dan ramah ke gue, terus lo juga bertingkah aneh tadi pagi lo nurutin kemauan gue. Gue…” Rara menghela napas, tanpa sadar ia melampiaskan yang ada di pikirannya.

Keheningan menyelimuti keduanya. Naren menatap Rara. Rara menatap Naren dengan pandangan bersalah.

“Maaf,” Rara menunduk, ia tak enak. Rara duduk di bangku kayu yang ada di dekatnya.

“Tunggu disini,” Naren tampak tidak peduli dengan permintaan maaf Rara. Naren meninggalkan Rara.

Rara menyalakan ponselnya. Ada panggilan masuk dari Jevan yang tak terjawab. Rara membuka grup kelasnya, rupanya Jevan dan Naren bergabung disana.

Rara mengangkat wajahnya, Naren memberikannya sebotol air mineral. Keringat tampak mengucur dari dahi Naren, terlihat sekali ia berlari dari kantin ke halaman belakang sekolah. Jaraknya memang cukup jauh sehingga orang memang malas untuk ke halaman belakang sekolah.

“Keinginan Nona apa jadi?” tanya Naren, ia berdiri di hadapan Rara.

“Gak usah di bahas ya,” kata Rara setelah ia selesai meneguk air mineral. Rara mengkode Naren agar duduk di sampingnya. Kesal tak diindahkan, Rara menarik jas Naren agar duduk.

“Non, biar enak sebaiknya bilang saja,” Naren menghadap ke depan, tubuhnya tegap.

Rara menoleh ke samping sebentar, kemudian fokus ke depan memandangi pohon rindang yang berdiri dengan kokoh.

“Jangan panggil gue di sekolah Nona dan sekarang mulai dibiasakan ya manggil lo – gue. Lo bisa kan?” tanya Rara.

Naren hendak mengatakan sesuatu, ia melirik Rara yang cemberut. Tanpa sadar Naren menarik ujung bibir kirinya.

“Baiklah Ra,” Naren menyanggupi permintaan Rara. Mulai kini, ia akan terbiasa memanggil gadis di sampingnya dengan nama.

Anavya

Hai semuanya, mohon dukungannya ya. Terima kasih~

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status