Rea mematut diri di cermin, wajahnya sangat pucat. Padahal dia sudah berusaha menurut pada dokter agar rutin minum obat, tapi mengapa masih suka kambuh? Mungkin karena penyakitnya ini sudah sangat parah, akan butuh waktu lama untuk memulihkannya.Ini pertama kalinya Jeno mengajaknya ke suatu tempat, dia tidak tahu mau dibawa ke mana. Dipolesnya wajah cantik yang semakin tirus, dulu Rea memiliki wajah imut dan sedikit berisi, sekarang wajahnya semakin menirus.Diraihnya alat make up yang ada di atas meja rias, mengulas sedikit bedak dan memberi perona wajah agar tidak terlalu pucat, tak lupa juga ia mengulas bibir agar lebih terlihat segar, dia tersenyum menatap pantulan dirinya di cermin, lantas mengambil jepit rambut mutiara dan menggunakan di rambutnya yang tergerai indah hingga punggung.Rea menggunakan dress warna pink dengan kerah sabrina, sehingga menunjukkan tulang selangkanya yang indah meski terlihat lebih kurus. Dia wanita sempurna sehingga sedikit polesan saja sudah cukup m
Deruan napas yang berbaur aroma mint mengikat ingatan waras Rea, wanita itu mencengkram seprai putih bertabur kelopak bunga mawar tempat keduanya berbaring. Setelah makan malam romantis tadi pasangan ini menghabiskan malam di kamar hotel yang sudah Jeno pesan sebelumnya.Lampu temaram dengan aroma lilin menguar bersama irama desahan, kalimat cinta dan panggilan sayang memenuhi ruangan kamar sweetroom yang disetting begitu sempurna. Jeno tenggelam dalam indahnya asmara, Rea bagai candu yang tak dapat ia lewatkan lebih lama lagi. Dirinya selalu ingin mendekat dan menikmati manisnya cinta berdua, menghabiskan sisa malam gelap hingga fajar terbit membawa terang."Terima kasih." Suara parau Jeno masuk ke telinga Rea, wanita itu perlahan membuka mata dan memberi senyuman lembut.Hatinya selalu hangat, dia wanita berhati lembut yang selalu dipenuhi cinta. Sebanyak apa luka yang Jeno beri untuk dirinya, tak mampu menghapus cinta di hatinya. Rea pernah marah pada dirinya sendiri, mengapa dia s
Sesampainya di rumah, Jeno segera keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Rea. "Aku masih bisa jalan," tolak Rea, saat Jeno membungkuk untuk menggendongnya kembali."Biarkan aku membantumu," jawab pria itu, Jeno tidak bisa dibantah apalagi ditolak, apapun yang dia ingin lakukan akan dia lakukan, dan Rea cukup menerimanya saja.Rea terpaksa menurut, Jeno menggendongnya ke dalam rumah. Sebenarnya dia sudah cukup malu saat tadi digendong di hotel, dan di sini juga. Rea terlebih takut papanya melihatnya dan akan berpikir kalau dia sedang tidak sehat, meski itu pada kenyataannya.Benar saja saat mereka masuk, Surya ada di ruang tamu. Assistant rumah tangga sedang memberinya sarapan. "Selamat pagi, Tuan, Nyonya. Tuan, Nyonya Rea kenapa?" tanya Assisatant.Pertanyaan wanita paruh baya itu juga menjadi pertanyaan yang ingin Surya tanyakan saat ini, dia tidak bisa bergerak apalagi berkata-kata, hanya sorot matanya saja yang menggambarkan kecemasan. "Jeno! Apa yang terjadi pada putriku?!"
Hari-hari berlalu begitu cepat. 2 Bulan telah terlewati, kehidupan Jeno dan Rea selalu harmonis dan bahagia. Rea juga terus meminum obat dari Arfan, meski masih sering sakit, tapi dia tetap semangat untuk sembuh.Hari ini jadwal Surya terapi pada ahli syaraf yang khusus Jeno datangkan setiap minggunya untuk melatih otot organ tubuh Ayah mertuanya. Jeno memang bersungguh-sungguh mengurus Surya dan memberikan pengobatan yang terbaik.Berharap, Surya bisa melihat kesungguhannya dalam menebus setiap kesalahan yang.pernah ia lakukan di masa lalu. Namun, usaha Jeno menyembuhkan sepertinya tiada hasil, keadaan Surya tetap sama seperti awal, tak sama sekali menunjukkan kemajuan sedikit pun."Kenapa tidak ada hasil dari terapi ini, Dok? Apakah sudah tidak ada harapan Ayah mertuaku untuk sembuh?" tanya Jeno, pria itu seolah putus asa, dia mau Surya sembuh dan membuat hatinya tenang tidak merasa bersalah lagi pada istri dan mertuanya ini, setelah semuanya membaik Jeno ingin keadaan seperti semul
Sesungguhnya sudah 2 Minggu ini Surya mengalami kemajuan, dia bisa menggerakkan bibir juga jari-jari tangannya meski tidak bisa maksimal. Dia ingin berusaha mengatakan rahasianya pada Rea, tapi tidak pernah diberi kesempatan.Saat putrinya datang menemuinya, perawat selalu ada di kamarnya, atau kadang Jeno juga ikut serta berada bersama Rea. Surya benar-benar tidak diberikan kesempatan berdua saja dengan sang putri di rumah ini. Dia tak mau kemajuan kondisinya diketahui Jeno, dia takut kalau dirinya nanti didesak untuk diam. Dia tidak mau kewaspadaan menantunya semakin kuat yang bisa saja semakin mempersulit pertemuannya dengan sang putri jika saja Surya tidak setuju untuk menurut pada keinginan Jeno.Surya masih menilai kalau Jeno tidak akan pernah berubah. Jeno adalah pria yang kasar dan arugan dan tidak akan pernah berubah jika jalan tujuannya tidak mulus, Jeno bisa melakukan apa saja untuk menuju tujuannya.Tak lama perawat datang setelah dari toilet, perempuan muda itu lalu mengh
Karena merasa istrinya terlalu lama di toilet Jeno pun akhirnya menyusul dan mengetuk pintu toilet, tak lama Rea keluar dengan wajah panik membuat Jeno mengerutkan kening. "Rea, ada apa? Kenapa kamu terlihat ketakutan?" tanya Jeno, pria itu mencoba melongok ke dalam, tapi Aruna sepertinya masuk ke bilik toilet.Rea tersenyum gugup. "Ti-tidak apa-apa, Jeno. Tadi aku kaget saja melihat kecoa di dalam," jawab Rea beralasan.Jeno mengangguk dan meraih pinggang istrinya. "Ayo, filmnya sudah mau mulai."Rea mengangguk dan ikut melangkah bersama Jeno memasuki gedung teater. Mereka mengambil tempat duduk di tengah-tengah, jauh dari orang kanan kiri, depan dan belakang.Film yang menampilkan adegan romantis membuat Rea jadi terhanyut, Jeno tersenyum melihat ekspresi istrinya yang merona. "Dasar wanita, mudah sekali bawa perasaan," batin Jeno.Pria itu lebih suka memperhatikan wajah Rea dibanding menonton layar, hingga dirinya sendiri tidak sadar kalau wajahnya semakin mendekat ke pipi Rea. Rea
Benar saja, Jeno di sepanjang jalan didiamkan oleh Rea, sampai sekarang mereka di atas tempat tidur pun Rea tetap diam. Kesal sekali Rea rupanya, setiap kali ia membahas Aruna, Jeno selalu menganggapnya lain, padahal Rea bersungguh-sunggu. Rea mengerti sekarang, di mata Jeno, Aruna memang masih seperti wanita polos dan baik hati.Ucapan saja tidak akan dipercaya jika tidak ada bukti, sia-sia saja jika membicarakan hal ini pada Jeno, dia tidak akan percaya."Sayang." Jeno menyentuh pundak Rea yang tidur miring membelakanginya."Jangan sentuh aku, kamu menyebalkan!" ketus Rea, seraya menggerakkan bahu atas hingga Jeno terpaksa melepaskan tangannya."Maafkan aku, aku tidak bermaksud membuatmu marah, Sayang." Jeno masih menatap punggung Rea, berharap wanita itu mau membalik tubuh dan menatap dirinya, tapi wanita itu tetap pada posisinya."Aku mau tidur, capek. Tolong jangan ganggu aku!" sahut Rea, wanita itu memejamkan matanya dan tak ingin mempedulikan Jeno yang merengek minta maaf sejak
Jeno baru saja sampai di kantor dan langsung dihadapkan dengan pekerjaan, sehingga ia tidak sempat mengecek ponselnya. "Kalau begitu, aku pelajari dulu dokumentnya, dan kamu bisa suruh mereka tunggu sebentar," kata Jeno pada Arya."Baik, Tuan. Permisi," pamit Arya, pria berkacamata itu segera keluar ruangan menuju ruang meeting, sementara Jeno fokus membaca dokument yang akan ia bawa di dalam meeting pagi ini.***"Lepas! Lepaskan aku, aku mohon. Kalian mau apa?" Rea terus meronta di dalam mobil yang melaju membawa dirinya dan juga sang Pengawal yang telah tak sadarkan diri."Berisik! Buat dia diam!" perintah pria yang memegang setir, dan dua pria di samping Rea mengangguk, salah satunya mengambil sapu tangan dan membubuhkan obat bius."Tolong lepaskan aku, kalian siapa-- mmph!"Rea pun tak sadarkan diri setelah penjahat membekapnya dengan sapu tangan, sementara pengawal yang penuh luka lebam di wajahnya masih tak sadarkan diri di bagasi mobil.Kendaraan itu pun berhenti pada sebuah r