"Terima kasih, Tuan." Wanita paruh baya itu membungkukkan sedikit punggungnya pada Jeno, setelah pria itu dengan baik hati mengantarkannya keluar pintu depan.Jeno mengangguk dan wanita itu pergi setelah mengatakan 'permisi' sebelumnya. Jeno menutup pintu dan menatap ke arah dapur, Rea ternyata sudah bangun dan kini berada di dapur untuk menyiapkan makan malam. Jeno merasa ragu ingin melihatnya, tapi apa yang bisa membuat Jeno takut? Jeno tetap melangkah menuju dapur dan langsung mendapat tatapan tajam dari istrinya ketika dia baru saja masuk."Aku sedang menyiapkan makan malam, apa kamu ingin memakannya nanti? Jika tidak aku akan memasak untuk diriku sendiri. Aku tahu sekarang Aruna sedang sakit, jadi pasti tidak akan bisa memasak untukmu. Oh, atau kamu ingin memesan makanan dari luar?" tanya Rea, lalu kembali fokus pada sayuran yang sedang ia iris, tak peduli dengan raut wajah Jeno yang cemberut."Aku makan masakanmu saja," jawabnya, setelah itu berbalik badan dan pergi.Rea mengang
Jeno ternyata masih menunggu Rea di luar, pria itu mengerutkan kening saat melihat Rea kembali dengan makanan yang masih utuh. "Kenapa dibawa lagi makanannya?" tanya Jeno, nada bicaranya cukup rendah dan tidak dingin seperti biasanya, tapi yang justru selalu dingin dan judes kini Rea."Dia tidak mau makan kalau bukan kamu yang membujuk." Rea menatap wajah Jeno dan lanjut bicara. "Sana bujuklah dia lebih dulu, aku menunggu di meja makan," kata Rea lagi, kemudian wanita itu berlalu pergi begitu saja.Jeno bingung, maksud ia menunggu di sini itu agar bisa bersama Rea sama-sana turun dan nantinya makan berdua, tapi lagi-lagi gagal. Jeno menatap punggung Rea yang menjauh menuruni anak tangga dan berlalu menuju ruang meja makan. Jeno berdecak sedikit kesal lantas melangkah ke kamar wanita itu untuk membujuknya.Jeno membuka pintu, Aruna yang sedang berdiri di depan jendela pun segera menoleh, saat dia tahu Jeno yang masuk dia pun segera berpura-pura sakit kaki lagi. "Sayang," sapanya dengan
Jeno tampak serius memasak, memakai celemek warna hitam dan mulai mengolah bahan makanan. Dia bukan ahli memasak, tapi kemampuannya dalam hal memasak tidak buruk juga. Jeno mulai mengambil daging ayam bagian dada dan mem-fillet-nya hingga tanpa kulit dan tulang, membakarnya dalam api sedang.Pria itu menyiapkan mangkuk kecil dan menyiapkan kecap BBQ mengocoknya dan mengoleskannya pada ayam fillet yang sedang ia panggang. Gerakannya cukup lihai dan cekatan, Jeno cukup bagus dalam perhitungan waktu sehingga saat membalik daging kematangannya pas.Aruna bertopang dagu, tersenyum-senyum sendiri memperhatikan wajah serius Jeno saat ini, terkesan cool dan menawan membuatnya semakin tergila-gila dan ingin segera memiliki pria itu seutuhnya."Sayang," panggilnya memecah keheningan di ruangan itu."Hmm," sahut Jeno, pria itu hanya menggumam sebagai respon tanpa mengalihkan pandangannya dari masakan yang sedang ia buat."Kapan kita menikah? Kapan kamu ceraikan Rea dan menikahi aku?"Pertanyaan
Jeno tersadar dari ketertegunannya, tapi hatinya benar-benar gelisah. Dia pernah berjanji pada seseorang yang kini telah tiada, berjanji akan menjaga dengan baik Aruna. Meski wanita paruh baya itu tidak meminta langsung agar Jeno menikahi putrinya, tapi pria itu mengerti arah yang dibicarakan itu ke mana, dan sekarang bagaimana? Rasa ingin bersama Rea lebih besar dibanding ingin menceraikan wanita itu.Lalu bagaimana dengan janjinya? Bagaimana dengan Aruna? Adakah jalan keluar yang terbaik untuk Jeno?Pria itu membawa dua porsi hidangan yang sudah ia buat, lengkap dengan salad sayur yang segar dan daging ayam fillet panggang tanpa lemak. Terlihat menggugah selera makan bagi siapa pun yang melihat dan mencium aromanya. "Makanlah," ucapnya dengan nada rendah.Setelah menaruh dua piring makanan di atas meja pria itu kembali ke are dapur, mengambil gelas dan menuangkan air putih untuknya juga Aruna. Jeno selama ini sejujurnya sudah sangat mengurus dan menjaga Aruna dengan sangat baik, bia
Pagi hari, terlihat Rea menuruni anak tangga, dia menoleh ke arah pintu keluar saat mendengar suara pintu depan tertutup. Aruna baru saja mengantar kepergian Jeno yang akan lari pagi, wanita itu tampak tersenyum saat berbalik badan. Rea juga terlihat biasa dan lanjut menuruni anak tangga ingin menuju dapur, tapi saat dia sampai lantai dasar Aruna menyapanya."Selamat pagi, Rea? Apakah semalam kamu bisa tidur nyenyak?" tanyanya dengan senyum cerah di bibirnya.Rea menatap Aruna dengan ekspresi dingin, lantas menjawabnya datar. "Tentu saja."Aruna menggerakkan tangan dan membetulkan rambut panjangnya yang lurus, menyingkap satu sisi hingga memperlihatkan bagian lehernya. Pandangan Rea langsung tertohok pada satu bekas merah di permukaan kulit leher Aruna yang putih, seperti bekas cakaran kuku. Pikiran Rea langsung traveling dan mengumpati Jeno. "Dasar menjijikan!" batinnya lalu membuang wajah.Aruna tahu jika Rea sudah melihat tanda cakaran di lehernya yang dia buat sendiri, wanita itu
Di tengah pembicaraan serius Jeno dan Aruna, suara langkah kaki menuruni anak tangga terdengar sehingga mengalihkan perhatian Jeno dan menatap ke arah sumber suara. Rea sangat anggun dengan dress putih yang panjang di bawah lutut, platshoes, tas sampai jepit rambutnya berwarna senada.Wanita itu sangat cantik dihiasi senyum yang menawan, kenapa Jeno baru sadar sekarang bahwa wanita yang dia nikahi selama 2 Tahun ini begitu mempesona. Namun, sikap Rea sekarang tak sehangat dulu, tatapannya tak sesendu dulu saat berhadapan dengannya.Kini ucapan wanita itu terkesan kasar dan selalu terselip sindiran, tatapannya dingin tak bersahabat, Jeno seperti kehilangan Rea yang 2 Tahun lalu mencintainya dengan segenap jiwa dan raga. Tentu saja, Rea masih muda, usianya masih 25 Tahun, mengapa harus menyia-nyiakan dirinya bertahan dengannya?Jika saja Jeno tidak mengancam berbuat sesuatu pada papanya, Rea sudah pasti melarikan diri dari genggaman Jeno. Namun, Rea sendiri belum yakin pada perasaannya,
Lokasi apartemen Alex tidaklah jauh, cukup 20 Menit saja taksi yang membawa Aruna sampai di lokasi. Wanita itu segera keluar dari mobil dan masuk ke gedung bertingkat tersebut, naik lift dan mencari pintu kamar Alex yang berada di lantai 6 lantas menekan tombol di pintu itu. Pintu terbuka seketika, Aruna langsung ditarik ke dalam dan menerima sambutan hangat dari Alex.Beberapa menit keduanya berciuman sebelum Aruna melepas paksa. "Ah, sudahlah, Lex. Aku ke sini hanya ingin mengatakan tugas apa untukmu," kata Aruna seraya menyeka bibirnya yang sedikit basah akibat kelakukan Alex yang selalu saja brutal dalam bermain bibir.Alex terkekeh, dan bertolak pinggang, pria itu masih belum memakai pakaiannya sehingga menunjukkan tubuh bagian atasnya yang cukup seksi. "Terburu-buru sekali, baru juga ketemu sikapmu sangat dingin begini padaku. Ayolah, Aruna ... kita bersenang-senang sebentar. Aku merindukanmu, Sayang." Alex merangkul dan memeluk Aruna, bibirnya pun mengecup pipi wanita itu meski
Seperti yang sudah dijanjikan kemarin, Arya datang ke rumah Jeno untuk membawakan foto pernikahan yang dicetak ulang dan dibingkai di figura yang baru. Arya mengetuk pintu beberapa kali, tapi tidak ada yang membukakannya.Pada akhirnya pria itu memutuskan menghubungi Jeno, sementara itu Jeno yang masih menemani Rea berkunjung di rumah Surya pun menerima panggilan telefon, pria itu bergegas merogoh saku celananya dan melihat kontak si penelefon. "Maafkan aku, aku harus menjawab telefon lebih dulu," pamit Jeno.Surya mengangguk dan tersenyum. "Silakan," jawabnya ramah.Jeno segera melangkah pergi menjauh dari Surya yang sedang duduk santai di sofa ruang tamu, sementara Rea sedang berada di dapur untuk mengambil sesuatu. "Hallo, Arya. Ada apa kamu menelefonku?" tanya Jeno saat ia telah menerima panggilan."Maaf, Tuan. Saya berada di rumah Anda, sesuai pesanan Anda saya sekarang membawa foto pernikahan Anda yang sudah dicetak ulang.""Bukankah di rumah ada Aruna? Kamu bisa langsung turunk