Share

Bab 5

Akhirnya Kumenemukanmu 5

Hari-hari berlalu seperti biasanya. Sikap dingin Mas Risky semakin menjadi. Tak peduli bagaimanaa baiknya aku merawat putri tunggalnya dia tetap dingin. Sedingin es.

Perlahan hatiku mulai kebal. Kebal akan wajahnya yang tak pernah bersahabat denganku. Hanya bicara seperlunya saja. Aku pun belajar tak peduli. Tak peduli akan dinginnya sikap pria yang masih menjadi pemilik separuh hatiku itu padaku.

Benarkah rasanya padaku sudah menguap seiring dengan jarak dan waktu yang membatasi? Entahlah, aku pun belajar tak peduli. Tetapi sisi terdalam hatiku tak mau berhenti menyebut namanya dalam setiap doa yang kugaungkan tiap sepertiga malam.

Dalam hati aku selalu berharap akan ada kesempatan dimana kami bisa meluapkan rasa satu sama lain. Bisa jadi sisa rasa itu ada dan aku ingin suatu saat rasa itu tersampaikan padaku.

Tapi siapa aku? Pantaskah aku memiliki keinginan seperti itu? Lancang.

Siang ini kami sedang berada di ballroom sebuah hotel bintang lima untuk melaksanakan acara pernikahan Mas Risky dengan Adinda. Sekilas kulihat hiasan dalam ruangan itu tampak banyak bunga-bunga yang terpajang sebagai hiasan. Tetapi sayangnya aku tak punya hak untuk menikmati pemandangan itu sebelum acara dimulai. 

Ada Kiaa yang lebih berhak mendapatkan perhatianku daripada acara sakral sang ayah yang bukan menjadi urusanku. Aku menghela napas dalam untuk mengurai segala rasa lancang dalam hatiku.

Seharusnya memang bukan urusanku, tapi soal hati? Mau tak mau aku pun merasa terdampak akan pernikahan ini. Berkali-kali kulafadzkan istighfar dalam hati agar hatiku legowo. Meskipun dadaku terasa sesak tapi aku harus tampak biasa. Allahu Rabbi.

"Jangan jauh dari Kiaa, kamu harus selalu menjaganya." Bu Maria berpesan padaku saat semuanya sibuk dengan persiapan pernikahan Mas Risky dengan Adinda.

Para keluarga dan perias perlahan menyelesaikan tugasnya masing-masing. Satu persatu kerabat sudah menjelma menjadi putri dengan kebaya dan sanggul yang menghiasi tubuh mereka.

"Baik, Bu." Aku menjawab dengan cepat dan pelan. Kiaa sedang dalam gendonganku. Ia tertidur setelah minum susu, tetapi belum kuletakkan di atas ranjang karena khawatir dia akan terbangun kembali.

Kuusap kembali punggungnya dengan telapak tanganku. Lalu kubacakan beberapa shalawat agar ia makin terlelap. Kupandangi wajahnya yang cantik. Sungguh, sungguh ini adalah keajaiban Tuhan. Aku bisa memeluk Mas Risky dalam bentuk kecil.

Bu Maria sejenak melihat kondisi Kiaa dalam gendonganku. Perempuan paruh baya yang sudah memakai kebaya warna gold dengan sanggul dan rias modern itu mengusap punggung Kiaa sebentar lalu meninggalkanku sendirian di kamar hotel ini. Anggun sekali Bu Maria. 

Aku kembali menimang Kiaa dalam dekapanku. Bayi ini memang sudah terlelap tapi belum terlalu nyenyak. Sehingga aku masih harus mengayunnya dalam gendonganku sambil kubacakan shalawat. Kusayangi dia ibarat dia adalah anak kandungku sendiri. Ini sedikit bisa menjadi pelipur laraku saat aku tengah dilanda rindu pada Caca.

Tiba-tiba saja Mas Risky masuk kamar Kiaa tanpa permisi. Ia mematung di depan pintu setelah daun pintu itu terbuka lebar. Pandangan matanya tertuju pada bayi yang sedang dalam gendonganku. Wajah itu kaku. Tak ada ekspresi apapun saat menatap bayinya yang tengah kugendong.

Aku terperanjat melihat tingkahnya. Sedang apa dia diam disitu. Padahal kalau dia bertanya pun aku pasti bersedia menjawabnya. Aku menunduk takut melihat wajah dinginnya. Bacaan shalawat yang sejak tadi kudendangkan langsung kuhentikan. 

"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanyaku memberanikan diri. Kepalaku menunduk setelah berucap, takut melihat ekspresi wajahnya. Beruntung Kiaa sudah terlelap sehingga ia tak perlu lagi membuatku sibuk menimang-nimangnya.

"Tidak ada. Saya cuma ingin memastikan Kiaa baik-baik saja. Jangan tinggalkan dia selama acara berlangsung. Saya tidak mau Kiaa kenapa-kenapa," ujarnya dingin tanpa ekspresi. Saat bicara sorot mata itu setajam mata elang, tajam menatap wajahku. Tetapi setelah selesai bicara, ia berbalik badan tanpa menungguku membalas tatapan matanya. 

Bibirku sudah terbuka hendak menjawab ucapannya. Tetapi tubuh gagah dengan balutan kemeja lengan panjang warna putih itu asal pergi saja tanpa permisi. Wajah Mas Riski semakin terlihat tampan dan gagah. Wajah yang bersih tanpa jerawat membuat wajah itu makin terlihat menawan. Ah andai saja. Sayangnya itu hanya akan menjadi angan. Aku mengembuskan napas kasar dari bibirku yang sedikit kuoles liptint warna merah jambu.

"Nduk, kamu ngga ganti baju?" tanya Bi Siti setelah ia masuk ke dalam kamar yang disiapkan untuk Kiaa. Ia datang setelah kepergian Mas Risky. Aku yang sedang duduk di sisi ranjang sambil memainkan ponsel segera menatap wajah wanita tua yang sudah memakai gamis rapi ini. Kerudung panjang yang ia kenakan tak membuat statusnya sebagai pembantu rumah tangga itu kelihatan. Ia tampak anggun dengan gamis itu yang ditambah dengan riasan tipis di wajahnya.

"Ganti baju buat apa, Bi?" balasku bertanya sambil mengamati pakaian yang kukenakan. Aku sedang memakai pakaian khusus baby sister lengan panjang dengan kerudung panjang yang menutup dadaku.

"Ehh kok buat apa, ini kan hari bahagia Den Bagus sama Mbak Adinda, masak kamu pakaiannya gini aja?" 

"Saya takut, Bi. Nunggu perintah dari Nyonya besar aja lah. Kalau disuruh baru ganti baju," jawabku sekenanya. Selain memang belum diperintah, aku juga malas untuk menghadiri acara di depan. Aku takut tak bisa menahan diri untuk tidak menangis.

"Nyonya mah terserah kamu saja! Ngga harus maksa pakai ini itu, tapi kan ini acara sakral, ya mbok ya menghargai diri kamu sendiri biar cantik di depan tamu undangan," ujar Bi Siti. Wajah renta itu menatapku sendu. Tatapan matanya dalam, sekaan penuh kasih terhapku.

Aku tersenyum untuk membalas rasa khawatirnya. "Aku nyaman pakai ini saja, Bi," ujarku akhirnya.

"Kamu itu pakai baju gini kok nyaman. Ganti gamis ajalah, kalau ngga bawa kamu boleh pinjam gamis anak Bibi," tawarnya.

Wajahku kembali menatap wajah teduh milih wanita paruh baya di depanku ini. Kemudian aku tersenyum mengangguk. "Terserah Bibi saja."

"Baiklah biar diambilkan Rasyid sebentar," ujarnya sebelum pergi.

Di dalam keluarga ini aku seperti memiliki saudara. Semuanya baik padaku termasuk Rasyid, sopir pribadi Bu Maria. Hanya satu yang tak menganggapku seperti saudara, yaitu Mas Risky.

Kembali kutatap layar ponsel yang sedang kupegang. Ada foto keluarga kecilku sebagai walpaper layar utamanya. Wajah Mas Yudha yang penuh kasih meskipun aku terlambat menyadarinya. 

Perlahan mataku basah. Sedikit banyak aku menyesali kelakuanku dulu yang kurang bersyukur telah memilikinya. Juga menyesal karena telah bermain hati dengan lelaki lain. Lelaki yang kini putrinya menjadi ladang penghasilan untukku. Sekarang aku terbakar karena ulahku sendiri.

Rasyid datang dengan membawa gamis yang diambil dari rumah Bi siti. Hanya dia lelaki yang ramah padaku karena di rumah Bu Maria hanya ada dua lelaki. Salah satunya Mas Risky dengan segala sikap dinginnya.

"Makasih ya, Mas?" ujarku pada Rasyid yang berdiri di depan pintu setelah mengulurkan baju dalam paperbag padaku.

Lelaki yang memakai kemeja batik itu tersenyum dan mengangguk ramah padaku sebelum ia pergi.

Dengan cepat aku berganti pakaian. Beruntung ukuran baju anak Bi Siti sesuai dengan ukuran badanku. Sedikit saja kupoles wajahku dengan bedak tipis dan lipstik warna soft pink agar wajahku terlihat segar. Sedikit berbeda dengan riasanku sehari-hari ketika bekerja.

Derit pintu terdengar saat aku baru saja menutup ujung lipstik dalam tutup di tanganku. Segera wajahku menoleh pada sumber suara untuk melihat siapa yang datang.

Seorang lelaki dengan baju beskap pengantin warna hitam dengan payet yang menghiasi dada dan lengannya tengah berada di ambang pintu. Di tangannya membawa blangkon. Lagi-lagi sorot mata itu dingin ketika menatap wajahku.

Lelaki berpakaian pengantin itu tertegun sejenak sambil beradu pandang denganku.

"Bawa Kiaa keluar, ajak dia bergabung bersama keluarga lainnya. Pastikan tidak ada yang menggendongnya selain kamu," ujar Mas Risky tegas.

"Baik, Tuan." Aku mengangguk patuh.

Setelah melihatku mengangguk, lelaki tampan itu pergi meninggalkanku dengan rasa yang berkecamuk dalam dada. Bagaimana mungkin aku diminta untuk menyaksikan acara akad nikahnya yang sejatinya aku sendiri masih memiliki rasa untuknya?

Bersambung🌷🌷🌷

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status