Share

Bab 4

Penulis: Safiiaa
last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-23 22:53:51

Akhirnya Kumenemukanmu 4

"Bi, saya boleh tanya sesuatu?" tanyaku pada Bi Siti yang masih sibuk dengan kompor dan panci. Aku menunggunya menyelesaikan pekerjaannya hingga masakan itu matang sebelum dia mengantar ke kamar yang akan kutempati.

"Boleh. Tanya apa memang?" jawabnya cepat. Ia meletakkan sendok yang digunakan untuk mencicipi makanan dalam panci itu ke dalam wastafel. Kemudian menggandengku berjalan menuju ruangan di sebelah dapur.

Ada dua kamar yang berbatasan dengan dinding dapur. Dua kamar itu sepertinya sama besarnya. Satu kamar pintunya tertutup rapat, mungkin sudah ada penghuninya. Satu lagi yang hendak dibuka oleh Bi Siti.

"Mamanya Kiaa kemana?" tanyaku setelah Bi Siti membuka dengan lebar satu pintu untukku masuk.

Bi Siti refleks menoleh ke arahku. Ada rasa kaget dari sorot matanya yang sendu. Kemudian sepersekian detik sebuah garis lengkung tercipta dari dua sudut bibirnya.

"Mamanya Kiaa meninggal sebulan lalu. Beberapa hari setelah melahirkan ia kecelakaan dan mengalami pendarahan ditubuhnya, termasuk dibekas jahitannya," ucapnya dengan mata berkaca-kaca. 

Aku tertegun mendengar cerita Bi Siti. Jadi Mas Risky duda?

"Lalu, Adinda?" lanjutku. Aku tak lagi bisa menyimpan tanya dalam pikiranku.

"Dia sahabat Mbak Alisya, mamanya Kiaa. Sebelum meninggal, Mbak Alisya meminta Adinda untuk menggantikan posisinya sebagai mamanya Kiaa juga istri untuk Den Bagus."

"Den Bagus?" tanyaku dengan alis bertaut.

Bi Siti terkekeh. Kemudian mengajakku duduk di pinggiran ranjang berukuran kecil yang ada di sudut ruangan.

"Bibi memanggil Mas Risky dengan sebutan Den Bagus. Habis ganteng sih," guraunya sambil tertawa pelan.

"Oh. Saya kira siapa Den Bagus itu," sahutku cepat. Kepalaku manggut-manggut. Sedikit banyak aku mulai paham akan posisiku harus bagaimana.

"Sebulan lagi mereka akan menikah. Seharusnya tak bisa secepat itu. Tapi Mbak Adinda kayaknya ngebet banget." 

"Pantas saja keduanya seperti sudah tak sabar untuk bisa bermesraan," ujarku. Aku mendesah lirih. Desahan napas yang kugunakan untuk menghalau sesak yang memenuhi dada. Pemilik nama yang selalu kusebut dalam doaku bulan depan sudah kembali sah menjadi milik perempuan lain. 

Dosakah aku jika masih mengharapkannya? 

"Kiaa menangis. Jangan terlalu lama meninggalkan dia sendirian." Seorang laki-laki tiba-tiba saja muncul dari balik pintu. Aku dan Bi Siti seketika berdiri menunduk.

"Baik, Tuan," jawabku cepat. 

Tanpa berpamitan Mas Risky berlalu meninggalkan aku dan Bi Siti yang masih terdiam di kamar.

"Dah sana kamu pergi, nanti Mas Risky marah sama kamu," usir Bi Siti halus.

Aku pun turut pergi setelah mengangguk pada Bi Siti untuk berpamitan. Ia membalas dengan senyuman yang menentramkan.

Aku berjalan sedikit cepat untuk menuju kamar Kiaa. Rasa khawatir perlahan merasuki tubuhku, takut jika bayi mungil itu kenapa-kenapa.

"Jangan meninggalkannya terlalu lama. Tugasmu hanya merawat dia di sini," ujar Mas Risky lagi saat aku baru saja tiba di kamar Kiaa. Kamar yang cukup besar ini mendadak terasa sempit saat melihat wajahnya yang dingin. Ia sungguh jauh berbeda dengan yang kukenal dulu. Entah apa yang telah menimpanya setahun ini hingga sikapnya berubah. 

"Maaf, Tuan. Tadi saya tinggal meletakkan barang bawaan saya," ujarku tanpa berani memandang wajahnya yang sejak kepergian Mas Yudha mulai berani kupandangi lagi setiap sebelum tidur. Meskipun hanya dalam foto, tapi itu cukup untuk mengobati berbagai rasa kehilangan yang sedang menimpaku.

Namun, sepertinya Mas Yudha akan kembali menjadi pemilik tahta dalam hatiku jika sikap Mas Risky berubah dingin padaku seperti ini. Memang benar, rasa kehilangan baru terasa ketika si pemilik rasa sudah tiada. Ah Mas Yudha tiba-tiba saja aku rindu perhatian nyata darimu.

Aku segera meraih tubuh Kiaa yang merengek. Kugendong dan kutepuk punggungnya agar kembali tertidur. Tak lupa juga kunyanyikan sholawat agar bisa membuatnya cepat kembali terlelap. 

Tiba-tiba saja aku merasa ada seseorang yang memperhatikanku. Refleks aku menoleh dan kudapati Mas Risky tengah memandangku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan.

Saat wajahku menoleh, ia langsung membuang muka dan berlalu dari hadapanku tanpa permisi.

Lelaki itu? Sungguh aneh.

Kupandagi pintu yang kembali tertutup rapat sambil terus mengayun Kiaa dalam gendonganku. Kenapa tadi saat aku keluar kamar wajahnya dingin padaku? Dan kenapa tiba-tiba saja pandangannya berubah seperti itu?

Kubuang napas kasar untuk mengusir banyak tanya dalam benakku yang rasanya sulit untuk kutemukan jawabannya. Ah biarlah waktu yang menjawab semua rasa penasaranku.

Perlahan Kiaa mulai terlelap kembali. Kupandangi wajah gadis cilik yang wajahnya mirip dengan Mas Risky ini. Aku mengulum senyum menatap wajah ayu dalam dekapanku. Tak pernah kubayangkan bisa mendekap darah daging Mas Risky seperti ini. Rasanya seperti mimpi.

Jam dinding di kamar Kiaa sudah menunjukkan waktu salat Dhuhur. Aku teringat akan Caca di rumah. Bagaimana keadaannya? Apa dia sudah makan siang hari ini? Sedang apa dia sekarang?

Segera kuraih ponsel dalam saku gamis yang kukenakan. Lalu kuarahkan layar ponsel tepat di depan wajahku. Dengan cemas aku menunggu panggilanku terjawab sambil memandangi pemandangan luar melalui jendela yang kaca yang terletak di sudut ruangan.

"Waalaikum salam, anak cantik," jawabku lirih setelah suara diujung telepon mengucapkan salam. Wajah Caca yang ceria dengan rambut bergelombangnya memenuhi layar ponsel yang sedang kupegang. Ah anakku, tiba-tiba saja aku teramat rindu. 

"Mama sedang apa? Gimana kerjanya?" ujarnya mengikuti suara sang nenek yang sepertinya sedang duduk di sampingnya.

"Mama habis menidurkan adik bayi," jawabku terbata. Suara parau yang keluar dari bibirku kuhalau dengan tarikan napas dari hidungku agar tersamarkan.

"Adik bayinya laki-laki apa perempuan, Ma?" tanyanya lagi. Binar bahagia dari mata Caca membuatku sedikit terhibur. Aku bisa bekerja dengan tenang setelah melihat ia tak bersedih setelah kepergianku. 

"Adik bayinya perempuan, cantik kayak Caca. Caca mau lihat?" tanyaku.

Caca mengangguk cepat. Segera aku berjalan mendekat ke ranjang Kiaa dan kuarahkan kamera ponsel ke atas wajahnya yang sedang terlelap.

"Adiknya cantik. Kapan-kapan Caca boleh main kesana, Ma? Caca pengen gendong adik bayi," ucapnya semangat. Sambil mendengarkan pertanyaan Caca aku kembali ke tempatku semula.

Aku tertegun sejenak. Melihat si bapak dari bayi ini sedemikian dinginnya apa mungkin aku bisa membawa Caca bertemu dengan bayi Kiaa?

"Ma," panggil Caca.

"Iya," sahutku terkaget. Mataku yang semula menerawang sekarang beralih ke wajah Caca dalam layar.

"Mama kapan pulang?" tanyanya lagi. Mata itu mengerjap beberapa kali sebelum ponsel diambil alih oleh ibu.

"Sudah, ngga usah mikirin Caca. Biar Ibu yang jaga. Kamu jaga diri baik-baik. Kerja yang baik biar berkah rejekinya," tutur Ibu. 

Mataku menatap mata Ibu dalam layar. Aku melihat mata Mas Yudha di sana. Mata yang selalu menatapku penuh cinta dan kasih. Mata yang selalu terjaga saat didekatku.

"Nduk?" panggil Ibu saat aku hanya diam memandangi wajahnya.

"Iya, Bu?" jawabku sambil menghela napas dalam. Dadaku sesak, seperti tengah terikat tali kencang. Rasanya susah untuk bisa bernapas dengan lega.

"Kamu baik-baik saja, kan?"

Kuhela napas dalam dan selanjutnya tersenyum memamdang wajah Ibu. Aku tak ingin membuatnya turut cemas memikirkanku yang jauh darinya. 

"Ibu jangan khawatir. Bosnya baik, semuanya juga baik sama Sania. Insya Allah Sania krasan," bohongku. Demi menjaga hati ibu agar tidak cemas, aku harus berbohong.

"Alhamdulillah. Semoga kerjaanmu lancar ya? Ya sudah ibu tutup dulu, mau ajak Caca makan," pamit Ibu.

"Sania titip Caca ya, Bu?" ujarku. Mata yang semula baik-baik saja, perlahan mengeluarkan butiran air. Kulihat mata Ibu pun sama denganku. Buru-buru kututup panggilan agar kami tak sama-sama larut dalam kesedihan. Biarlah jarak yang terbentang ini hanya mampu ditembus melalui doa.

Aku yakin doa ibu tak akan putus untukku. Sekalipun aku hanya mantan menantunya, tapi ada ikatan yang mengikatnya dengan Caca. 

Kukembalikan ponselku ke dalam saku gamis. Lalu aku berbalik badan hendak melihat keadaan Kiaa. Tetapi mataku menangkap sekelebat bayangan seseorang yang lewat di depan pintu ketika tubuhku berbalik. Siapa dia? Mengupingkah?

Bersambung 🌷🌷🌷

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Akhirnya Ku Menemukanmu    Doa Orang Teraniaya

    Aku dan Mas Risky sama-sama kebingungan mencari Mama. Kemana perginya beliau yang sama sekali tak paham daerah sini. Rumah Bude Nikmah pun terlihat sepi. "Kemana lagi nyarinya, Mas? Semua ngga ada yang tahu." Aku berujar setelah bertanya pada beberapa tetangga yang kebetulan berada di luar.Mas Risky berusaha terlihat tenang. Ia tak mau gegabah. Terlebih Mama sudah dewasa dan masih normal atau belum pikun. Minimal Mama masih bisa kembali dengan selamat. Hanya saja kami panik karena beliau tak izin lebih dulu."Mama ngga akan hilang. Cuma pergi aja mungkin dan ngga pamit." Mas Risky mencoba menenangkanku."Iya. Tapi Mama kan ngga kenal siapa-siapa di sini. Gimana ngga panik coba?""Kita tunggu ya? Kamu tenang aja." Mas Risky menggandengku berjalan kembali menuju arah rumah. Ia tak mau terlihat kebingungan di jalanan. Sebaiknya kami menunggu saja di rumah.Aku duduk di kursi teras dengan cemas. Baru kali ini Mama keluar tanpa pamit. Bahkan Mas Dimas pun tak tahu kemana mamanya pergi.

  • Akhirnya Ku Menemukanmu    Mana Mana?

    Akhirnya Ku Menemukanmu"Kita balik?" tawar Mas Dimas malam ini. Bakda tarawih kami semua duduk bersantai di ruang tamu. Mengeratkan diri satu sama lainnya dengan obrolan yang ringan dan seru.Bu Maria terdiam. Ia memandangku dan Mas Risky bergantian."Kayaknya enak di sini. Sampai lebaran juga boleh. Gimana?" balas Bu Maria."Apa boleh kami menginap di sini sampai lebaran?" tanya Bu Maria. Kini wajah itu menghadap ke wajahku, seakan ia sedang meminta persetujuanku."Boleh dong, Ma. Silahkan saja. Sania malah senang bisa lebaran di kampung ini lagi.""Gimana, Mas?" tanyaku pada Mas Risky. Bagaimana pun aku harus meminta persetujuannya sebelum mengambil keputusan."Kalau Mama minta begitu ya sudah. Kita di sini dulu. Tapi aku minta Bi Siti buat antar Kiaa dulu ke sini. Biar rame.""Biar kujemput, Bang.""Apa Caca boleh ikutan?" sela Caca tak mau ketinggalan."Boleh. Ajak Mbak Mira juga boleh," sambut Mas Dimas malu-malu."Mbak Mira ikutan ya? Biar seru. Nanti bantu aku gendong adik Kia

  • Akhirnya Ku Menemukanmu    Ganti Rugi

    Akhirnya Ku Menemukanmu "Halo Sayang," ujar Bu Maria ramah.Akan tetapi yang diberi ucapan malah bersembunyi dibalik badan langsing milik Mira. Ia memegang ujung baju Mira dengan eratnya. Seperti sedang merasa terintimidasi.Dadaku mencelos melihat sikap Caca. Begitu takutnya ia melihat wanita yang pernah marah-marah di hadapannya waktu itu. Tapi aku pun tidak bisa menyalahkan. Itu adalah sebuah respon natural dari apa yang pernah ia lihat dan saksikan. Terlebih sebuah kejadian itu tidak pernah ia alami sebelumnya.Aku berinisiatif untuk mendekati tubuh putriku. Bukan tidak mau, hanya saja butuh waktu dan pengertian. Aku memaklumi itu."Sayang, Nenek sudah minta maaf sama Mama. Nenek sudah baik sama Mama dan Papa. Caca jangan takut lagi ya? Nenek sayang kok sama Caca," ujarku sambil menoleh ke arah Bu Maria.Caca masih saja bersembunyi di balik badan Mira. Ia masih dengan posisi yang sama. Menggenggam erat baju Mira dengan kedua tangannya.Badan tambun yang wajahnya sudah terlihat se

  • Akhirnya Ku Menemukanmu    Runtuhnya Ego

    Akhirnya Ku Menemukanmu "Maafkan aku, aku telah membuatmu menderita. Aku telah berbuat dosa padamu," lirih Bu Maria sambil terisak.Wanita yang kini mulai membuka hati untukku itu merengkuhku dalam dekapannya. Erat sekali. Dada yang naik turun tak beraturan itu membuatku turut merasakan sesak yang teramat sangat. Betapa dalam dirinya juga sebenarnya merasakan hal yang serupa denganku. Hanya saja terbalut gengsi dan malu untuk mengakui segala kesalahan yang telah diperbuat."Tidak, Ibu tidak berbuat dosa." Aku mengusap punggung lebar itu dengan lembut dan seirama. Sebisa mungkin aku tidak terlalu menyudutkan posisinya.Semakin tua seseorang, hati dan perasaannya makin sensitif. Sedikit saja ucapan atau perilaku yang tidak sesuai dengan keinginannya, pasti akan membuatnya mudah emosi atau marah-marah. Hal ini juga terjadi dengan Bu Maria, mertuaku. Sikap Bu Maria itu sudah fitrahnya sebagai orang tua yang sudah lanjut. Bahkan hal ini sudah dibahas dalam Al Qur'an. Ini yang membuatku b

  • Akhirnya Ku Menemukanmu    Pasrah

    "Ibu apanya Kiaa?" tanya Mbak Sari, yang sejak tadi diam menyaksikanku memeluk dan sesekali mencium gemas pipi Kiaa yang berada dalam dekapanku.Aku terdiam, lalu mendudukkan Kiaa di pangkuanku setelah memberinya sebuah mainan agar ia tak lagi merengek."Saya ibu sambungnya Kiaa." Aku menjawab sekenanya. Hendak menceritakan semua pun rasanya tak etis."Ibu sambung?" kagetnya. Kedua matanya melebar sambil menatapku tak percaya.Aku tersenyum melihat reaksinya. Wajar dia kaget melihat kedekatanku yang tidak biasanya. Terlebih saat ia bertemu denganku tadi, Bu Maria dalam keadaan marah-marah.Saat aku hendak mengalihkan pembicaraan, kulihat Bi Siti lewat di depan kamar Kiaa sambil membawa nampan berisi makanan."Mbak, nitip sebentar ya," ucapku sambil berdiri. Tanpa menunggu jawaban Mbak Sari, aku mengejar tubuh Bi Siti yang sedang berjalan menuju kamar Bu Maria. Ini adalah saat yang tepat untuk kembali merayu wanita paruh baya itu."Bi, makanannya buat Mama?" tanyaku setelah Bi Siti be

  • Akhirnya Ku Menemukanmu    Curahan Kasih

    Akhirnya Ku MenemukanmuAku berjingkat mendengarkan suara yang tiba-tiba memekakkan telinga. Tangan yang semula sudah terulur untuk menggendong bayi mungil di hadapanku kembali kutarik. Wajahku yang semula sudah bahagia karena bisa melepas rindu dengan Kiaa, sekarang terdiam, bahkan cenderung tegang.Mas Risky berjalan beberapa langkah mendekati badanku berdiri di dekat pengasuh Kiaa. Aku menyambutnya dengan meraih pergelangan tangannya untuk kugenggam erat karena rasa takut yang kembali mendera."Jangan lagi sentuh cucuku," hardik Bu Maria keras. Dua bola mata itu membulat sempurna. Bahkan wajah yang pucat tak membuat dia menurunkan nada bicaranya.Jari telunjuk yang dihiasi dengan cincin emas itu mengarah sempurna searah dengan dua mataku. Aku tertegun, sebegitu besar bencinya terhadapku. Sungguh, perbuatan Mas Risky kemarin menyisakan dendam dalam sinar mata Bu Maria yang penuh luka."Kami datang untuk menjenguk Mama." Mas Risky mulai bersuara. "Mbak Sari, bawa Kiaa masuk kamar.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status