Akhirnya Kumenemukanmu 4
"Bi, saya boleh tanya sesuatu?" tanyaku pada Bi Siti yang masih sibuk dengan kompor dan panci. Aku menunggunya menyelesaikan pekerjaannya hingga masakan itu matang sebelum dia mengantar ke kamar yang akan kutempati.
"Boleh. Tanya apa memang?" jawabnya cepat. Ia meletakkan sendok yang digunakan untuk mencicipi makanan dalam panci itu ke dalam wastafel. Kemudian menggandengku berjalan menuju ruangan di sebelah dapur.
Ada dua kamar yang berbatasan dengan dinding dapur. Dua kamar itu sepertinya sama besarnya. Satu kamar pintunya tertutup rapat, mungkin sudah ada penghuninya. Satu lagi yang hendak dibuka oleh Bi Siti.
"Mamanya Kiaa kemana?" tanyaku setelah Bi Siti membuka dengan lebar satu pintu untukku masuk.
Bi Siti refleks menoleh ke arahku. Ada rasa kaget dari sorot matanya yang sendu. Kemudian sepersekian detik sebuah garis lengkung tercipta dari dua sudut bibirnya.
"Mamanya Kiaa meninggal sebulan lalu. Beberapa hari setelah melahirkan ia kecelakaan dan mengalami pendarahan ditubuhnya, termasuk dibekas jahitannya," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
Aku tertegun mendengar cerita Bi Siti. Jadi Mas Risky duda?
"Lalu, Adinda?" lanjutku. Aku tak lagi bisa menyimpan tanya dalam pikiranku.
"Dia sahabat Mbak Alisya, mamanya Kiaa. Sebelum meninggal, Mbak Alisya meminta Adinda untuk menggantikan posisinya sebagai mamanya Kiaa juga istri untuk Den Bagus."
"Den Bagus?" tanyaku dengan alis bertaut.
Bi Siti terkekeh. Kemudian mengajakku duduk di pinggiran ranjang berukuran kecil yang ada di sudut ruangan.
"Bibi memanggil Mas Risky dengan sebutan Den Bagus. Habis ganteng sih," guraunya sambil tertawa pelan.
"Oh. Saya kira siapa Den Bagus itu," sahutku cepat. Kepalaku manggut-manggut. Sedikit banyak aku mulai paham akan posisiku harus bagaimana.
"Sebulan lagi mereka akan menikah. Seharusnya tak bisa secepat itu. Tapi Mbak Adinda kayaknya ngebet banget."
"Pantas saja keduanya seperti sudah tak sabar untuk bisa bermesraan," ujarku. Aku mendesah lirih. Desahan napas yang kugunakan untuk menghalau sesak yang memenuhi dada. Pemilik nama yang selalu kusebut dalam doaku bulan depan sudah kembali sah menjadi milik perempuan lain.
Dosakah aku jika masih mengharapkannya?
"Kiaa menangis. Jangan terlalu lama meninggalkan dia sendirian." Seorang laki-laki tiba-tiba saja muncul dari balik pintu. Aku dan Bi Siti seketika berdiri menunduk.
"Baik, Tuan," jawabku cepat.
Tanpa berpamitan Mas Risky berlalu meninggalkan aku dan Bi Siti yang masih terdiam di kamar.
"Dah sana kamu pergi, nanti Mas Risky marah sama kamu," usir Bi Siti halus.
Aku pun turut pergi setelah mengangguk pada Bi Siti untuk berpamitan. Ia membalas dengan senyuman yang menentramkan.
Aku berjalan sedikit cepat untuk menuju kamar Kiaa. Rasa khawatir perlahan merasuki tubuhku, takut jika bayi mungil itu kenapa-kenapa.
"Jangan meninggalkannya terlalu lama. Tugasmu hanya merawat dia di sini," ujar Mas Risky lagi saat aku baru saja tiba di kamar Kiaa. Kamar yang cukup besar ini mendadak terasa sempit saat melihat wajahnya yang dingin. Ia sungguh jauh berbeda dengan yang kukenal dulu. Entah apa yang telah menimpanya setahun ini hingga sikapnya berubah.
"Maaf, Tuan. Tadi saya tinggal meletakkan barang bawaan saya," ujarku tanpa berani memandang wajahnya yang sejak kepergian Mas Yudha mulai berani kupandangi lagi setiap sebelum tidur. Meskipun hanya dalam foto, tapi itu cukup untuk mengobati berbagai rasa kehilangan yang sedang menimpaku.
Namun, sepertinya Mas Yudha akan kembali menjadi pemilik tahta dalam hatiku jika sikap Mas Risky berubah dingin padaku seperti ini. Memang benar, rasa kehilangan baru terasa ketika si pemilik rasa sudah tiada. Ah Mas Yudha tiba-tiba saja aku rindu perhatian nyata darimu.
Aku segera meraih tubuh Kiaa yang merengek. Kugendong dan kutepuk punggungnya agar kembali tertidur. Tak lupa juga kunyanyikan sholawat agar bisa membuatnya cepat kembali terlelap.
Tiba-tiba saja aku merasa ada seseorang yang memperhatikanku. Refleks aku menoleh dan kudapati Mas Risky tengah memandangku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan.
Saat wajahku menoleh, ia langsung membuang muka dan berlalu dari hadapanku tanpa permisi.
Lelaki itu? Sungguh aneh.
Kupandagi pintu yang kembali tertutup rapat sambil terus mengayun Kiaa dalam gendonganku. Kenapa tadi saat aku keluar kamar wajahnya dingin padaku? Dan kenapa tiba-tiba saja pandangannya berubah seperti itu?
Kubuang napas kasar untuk mengusir banyak tanya dalam benakku yang rasanya sulit untuk kutemukan jawabannya. Ah biarlah waktu yang menjawab semua rasa penasaranku.
Perlahan Kiaa mulai terlelap kembali. Kupandangi wajah gadis cilik yang wajahnya mirip dengan Mas Risky ini. Aku mengulum senyum menatap wajah ayu dalam dekapanku. Tak pernah kubayangkan bisa mendekap darah daging Mas Risky seperti ini. Rasanya seperti mimpi.
Jam dinding di kamar Kiaa sudah menunjukkan waktu salat Dhuhur. Aku teringat akan Caca di rumah. Bagaimana keadaannya? Apa dia sudah makan siang hari ini? Sedang apa dia sekarang?
Segera kuraih ponsel dalam saku gamis yang kukenakan. Lalu kuarahkan layar ponsel tepat di depan wajahku. Dengan cemas aku menunggu panggilanku terjawab sambil memandangi pemandangan luar melalui jendela yang kaca yang terletak di sudut ruangan.
"Waalaikum salam, anak cantik," jawabku lirih setelah suara diujung telepon mengucapkan salam. Wajah Caca yang ceria dengan rambut bergelombangnya memenuhi layar ponsel yang sedang kupegang. Ah anakku, tiba-tiba saja aku teramat rindu.
"Mama sedang apa? Gimana kerjanya?" ujarnya mengikuti suara sang nenek yang sepertinya sedang duduk di sampingnya.
"Mama habis menidurkan adik bayi," jawabku terbata. Suara parau yang keluar dari bibirku kuhalau dengan tarikan napas dari hidungku agar tersamarkan.
"Adik bayinya laki-laki apa perempuan, Ma?" tanyanya lagi. Binar bahagia dari mata Caca membuatku sedikit terhibur. Aku bisa bekerja dengan tenang setelah melihat ia tak bersedih setelah kepergianku.
"Adik bayinya perempuan, cantik kayak Caca. Caca mau lihat?" tanyaku.
Caca mengangguk cepat. Segera aku berjalan mendekat ke ranjang Kiaa dan kuarahkan kamera ponsel ke atas wajahnya yang sedang terlelap.
"Adiknya cantik. Kapan-kapan Caca boleh main kesana, Ma? Caca pengen gendong adik bayi," ucapnya semangat. Sambil mendengarkan pertanyaan Caca aku kembali ke tempatku semula.
Aku tertegun sejenak. Melihat si bapak dari bayi ini sedemikian dinginnya apa mungkin aku bisa membawa Caca bertemu dengan bayi Kiaa?
"Ma," panggil Caca.
"Iya," sahutku terkaget. Mataku yang semula menerawang sekarang beralih ke wajah Caca dalam layar.
"Mama kapan pulang?" tanyanya lagi. Mata itu mengerjap beberapa kali sebelum ponsel diambil alih oleh ibu.
"Sudah, ngga usah mikirin Caca. Biar Ibu yang jaga. Kamu jaga diri baik-baik. Kerja yang baik biar berkah rejekinya," tutur Ibu.
Mataku menatap mata Ibu dalam layar. Aku melihat mata Mas Yudha di sana. Mata yang selalu menatapku penuh cinta dan kasih. Mata yang selalu terjaga saat didekatku.
"Nduk?" panggil Ibu saat aku hanya diam memandangi wajahnya.
"Iya, Bu?" jawabku sambil menghela napas dalam. Dadaku sesak, seperti tengah terikat tali kencang. Rasanya susah untuk bisa bernapas dengan lega.
"Kamu baik-baik saja, kan?"
Kuhela napas dalam dan selanjutnya tersenyum memamdang wajah Ibu. Aku tak ingin membuatnya turut cemas memikirkanku yang jauh darinya.
"Ibu jangan khawatir. Bosnya baik, semuanya juga baik sama Sania. Insya Allah Sania krasan," bohongku. Demi menjaga hati ibu agar tidak cemas, aku harus berbohong.
"Alhamdulillah. Semoga kerjaanmu lancar ya? Ya sudah ibu tutup dulu, mau ajak Caca makan," pamit Ibu.
"Sania titip Caca ya, Bu?" ujarku. Mata yang semula baik-baik saja, perlahan mengeluarkan butiran air. Kulihat mata Ibu pun sama denganku. Buru-buru kututup panggilan agar kami tak sama-sama larut dalam kesedihan. Biarlah jarak yang terbentang ini hanya mampu ditembus melalui doa.
Aku yakin doa ibu tak akan putus untukku. Sekalipun aku hanya mantan menantunya, tapi ada ikatan yang mengikatnya dengan Caca.
Kukembalikan ponselku ke dalam saku gamis. Lalu aku berbalik badan hendak melihat keadaan Kiaa. Tetapi mataku menangkap sekelebat bayangan seseorang yang lewat di depan pintu ketika tubuhku berbalik. Siapa dia? Mengupingkah?
Bersambung 🌷🌷🌷
Akhirnya Kumenemukanmu 5Hari-hari berlalu seperti biasanya. Sikap dingin Mas Risky semakin menjadi. Tak peduli bagaimanaa baiknya aku merawat putri tunggalnya dia tetap dingin. Sedingin es.Perlahan hatiku mulai kebal. Kebal akan wajahnya yang tak pernah bersahabat denganku. Hanya bicara seperlunya saja. Aku pun belajar tak peduli. Tak peduli akan dinginnya sikap pria yang masih menjadi pemilik separuh hatiku itu padaku.Benarkah rasanya padaku sudah menguap seiring dengan jarak dan waktu yang membatasi? Entahlah, aku pun belajar tak peduli. Tetapi sisi terdalam hatiku tak mau berhenti menyebut namanya dalam setiap doa yang kugaungkan tiap sepertiga malam.Dalam hati aku selalu berharap akan ada kesempatan dimana kami bisa meluapkan rasa satu sama lain. Bisa jadi sisa rasa itu ada dan aku ingin suatu saat rasa itu tersampaikan padaku.Tapi siapa aku? Pantaskah aku memiliki keinginan seperti itu? Lancang.Siang ini kami sedang berada di ballroom sebuah hotel bintang lima untuk melaksa
Akhirnya Kumenemukanmu 6Prosesi akad sedang berlangsung dengan khidmat. Banyak tamu undangan yang menyaksikan prosesi itu yang turut larut dalam khidmat dan sakralnya pernikahan. Ada juga yang beberapa kali kulihat mengusap air mata.Saat khutbah nikah dikumandangkan, aliran darahku rasanya mengalir deras. Aliran darahnya bak air terjun yang jatuh ke dasar sungai dengan cepatnya. Ada rasa cemas dan tak rela yang bergelayut dalam hatiku.Beruntung Bi Siti mengambil alih Kiaa dari gendonganku. Kami duduk bersisihan di belakang deretan kursi untuk keluarga inti. Tetapi mataku bisa menangkap dengan jelas proses akad yang sedang berlangsung itu. Sungguh hatiku bak ditusuk sembilu. Perih melihat tangan kekar yang kuharapkan dengan penuh cinta membelai wajahku kini pupus sudah.Kudengar suara Penghulu membaca ijab qabul dengan lantang membuat hatiku semakin perih. Siapalah aku ini? Berulang kali hatiku berdebat. Sisi baik dan sisi buruknya kembali mencari pembenarannya sendiri. Aku mendesah
Akhirnya Kumenemukanmu 7"Bi, permisi ke depan dulu ya? Ini waktunya Kiaa minum susu, biar kuberi susu sambil kugendong keluar," pamitku pada Bi Siti. Tempat duduk Bu Maria tepat di depan tempat duduk Bi Siti, aku takut mengganggu jika harus meminta izin lebih dulu padanya. Biarlah nanti Bi Siti yang menyampaikan.Aku berjalan mewati tamu undangan menuju pintu keluar. Suasana bising sound system di dalam ruangan tidak bisa membuat Kiaa tertidur pulas. Aku harus membawa Kiaa keluar ruangan ini.Aku berdiri di depan pintu masuk. Terdapat satu kursi panjang yang di atasnya sedang terduduk dua gadis dengan kebaya yang membalut tubuh keduanya. Mungkin mereka tamu undangan yang sedang menunggu temannya di luar."Enak bener ya jadi Adinda, jadi temen deket dari mantan istri Risky, eh malah disuruh gantiin posisinya. Mujur banget nasibnya, padahal Adinda ngga deket-deket amat sama Alisya," ujar salah satu dari gadis yang duduk di atas kursi itu. Tepat di samping kiri tempat kuberdiri. Mereka
POV. Ar Risky GunawanAku tak mengira bahwa rumah tangga yang sedang kuperjuangkan di tengah kemelut rasa yang membuncah dalam hatiku tetap harus berakhir. Bukan karena perceraian tapi karena usia istriku yang tak lagi bisa membersamaiku.Betapa hancur hatiku saat aku memandangi wajah ayu Azkiaa yang harus menjadi piatu diusia yang masih bisa dihitung jari. Air mataku mengalir saat harus terjaga untuk menemaninya menghabiskan susu dalam botol yang telah kusiapkan. Gadis kecilku mengisap karet botol itu dengan kuatnya. Lehernya naik turun menelan air yang keluar dari lubang kecil diujung karet yang ada di dalam mulutnya. "Malang sekali nasibmu, Nak," lirihku sambil memandangi wajahnya.Hari berganti hari, perlahan Adinda mulai menggantikan posisi Alisya dalam keseharianku. Wanita yang ditunjuk oleh Alisya untuk merawat anaknya kini mulai menepati janjinya. Gadis yang bekerja di bank konvensional itu selalu meluangkan waktunya setiap hari setelah kepergian Alisya. Dia berusaha keras u
Akhirnya Kumenemukanmu 9"Eh tumben kayak bapak-bapak bener omonganmu?" tanyaku heran. Tak biasanya dia bisa sebijak ini. "Kan aku lagi bijak, jangan menghancurkan martabatku sebagai lelaki yang bijak," ujarnya sambil membenarkan kerah baju, bergaya sok."Hilih, biasanya juga kamu yang doyan!" balasku sambil melempar rokok ke arahnya. Dengan sigap tangan Adam menerima lemparanku itu."Haisss jangan main lempar-lemparan, hancur rokokku!" sungutnya pura-pura marah."Berapa sih harga rokok? Ngajakin kencan cewek keluar modal banyak juga biasa aja," selaku sambil mencebik. Adam malah tertawa renyah. "Jangan keras-keras, ini kafe ada cctvnya, hancur sudah rumah tanggaku kalau dia dengar," bisiknya."SSTI." "Apaan itu?""Suami-suami takut istri," jawabku sambil tertawa."Bukan takut istri, tapi sayang istri. Ngawur aja kalau sampai dia tahu, bisa tidur di luar aku," sengitnya.Setelah ngobrol dengan Adam, aku kembali pulang dengan hati berkecamuk. Pernikahan sudah didepan mata tapi hatik
Akhirnya Kumenemukanmu "Sa, siapin baju-baju kamu sama barang-barang Kiaa ya? Kalian ikut pindah ke rumah Risky yang di perumahan Grand Kencana," ujar Bu Maria saat aku sedang membuatkan susu untuk Kiaa. "Pindah, Nyonya?" tanyaku kaget. Aku refleks menghentikan gerakan tanganku memindahkan susu bubuk ke dalam botol susu milik Kiaa."Iya. Setelah pulang dari hotel Risky dan Adinda langsung pindah ke rumahnya," jawab Bu Maria cepat. Ia tengah duduk di bibir ranjang dan menepuk paha Kiaa yang mengantuk. Bayi mungil itu menggeliat karena lapar.Astaga, aku pun ikut pindah? Bagaimana hidupku di sana nanti? Bagaimana kikuknya sikapku saat hanya tinggal berempat di sana dengan keluarga kecilnya? Astagfirullah. "Kenapa, Sa? Kok bengong?" tanya Bu Maria saat aku terdiam sambil menggenggam susu Kiaa yang belum kuaduk.Mataku terperanjat saat mendengar pertanyaan Bu Maria. Perempuan paruh baya itu rupanya mengamatiku."Hei, Bayi kecil," sapa Dimas tiba-tiba. Ia baru saja masuk ke kamar Kiaa t
Akhirnya Kumenemukanmu"Sudah, Papa. Kita berangkat?" tanya Adinda yang suaranya juga dibuat seperi anak-anak."Ya sudah buruan pamit sama Mama dan yang lainnya."Tanpa permisi lelaki berkaus polo warna cokelat itu berlalu begitu saja. Adinda pun turut kekuar bersama Kiaa dalam gendongannya. Sedang aku mengekor di belakangnya sambil menarik koper Kiaa juga menenteng tas bawaanku.Bu Maria dan Dimas sudah menunggu di teras. Keduanya menunjukkan raut wajah sedih melepas kepergian Kiaa dari rumah mereka."Hati-hati ya, Sayang, cucu Nenek," ujar Bu Maria sambil menciumi pipi Kiaa. "Kapan-kapan Om juga mau main ke rumah Kiaa, biar ketemu sama embak berhijab yang cantik jelita," goda Dimas sambil melirik ke arahku.Ah lelaki muda ini terlalu genit. Sungguh berbeda dengan sang kakak yang berwibawa. Aku menunduk sambil menahan senyum. Bukan karena ada yang lucu, hanya saja aku bersyukur pernah menaruh rasa pada kakaknya yang lebih baik dari adiknya, kelihatannya.Kepalaku kemudian mendongak,
Akhirnya Kumenemukanmu"Maaf," ucapnya setelah aku menarik tanganku dari bawah tangannya.Aku mengangguk cepat. Ada sebuah rasa yang menjalar dari tanganku ke seluruh sendi-sendi dalam tubuhku setelah merasakan sentuhannya. Hanya sentuhan biasa, bukan sentuhan dengan rasa tapi sudah membuat kepalaku terasa ada yang berjalan lambat. Kami terdiam beberapa saat. Bergulat dengan isi pikiran masing-masing. "Kamu masuk saja, biar aku yang ambil," ucapnya tanpa melihatku. Tangan kokoh itu dengan cepat membuka pintu mobil bagian belakang.Aku lantas masuk ke rumah baru Mas Risky dengan hati tak menentu. Seharusnya tadi aku tersenyum atau membalas menyentuh tangannya karena respon dia hanya diam tanpa berucap apapun sebelum aku menarik tanganku. Setidaknya itu satu kemajuan dari perubahan sikapnya.Adakah yang harus disyukuri dari semua ini?Suara tangis Kiaa membuatku tersadar bahwa lelaki yang tadi mneyentuh tanganku adalah suami orang. Astagfirullah hal adzim. Aku memukul kepalaku menggu