" Mana suamiku!" tanya Zahra ketus. "Dia suamiku juga, Zahra," ucapku setenang mungkin. "Suruh dia pulang ke rumah ibu, jangan biarkan dia di rumah ini. Atau kalau tidak aku akan membuka lagi keburukanmu di group alumni," ancamnya.Zahra selalu saja memgancamku dengan hal itu, dulu saat dia memintaku untuk membujuk mas Damar menikah dengannya pun dia mengancam diriku dengan hal itu. "Kamu sudah berjanji tidak akan melakukannya jika kamu menikah dengan mas Damar, Zahra!""Sekarang aku tidak berjanji lagi, kecuali kamu menolak mas Damar tinggal disini! Kamu memang membuatnya menikah denganku, tapi kamu tidak pernah membiarkan dirinya bersamaku!""Zahra! bisa-bisanya kamu bilang seperti itu. Selama ini kamulah yang lebih banyak bersama mas Damar. Kamu sudah mendapatkan apa yang dulu aku miliki, suami, ibu mertua, bahkan rumah nyaman yang dulu menerimaku dengan hangat itu kini juga sudah menjadi milikmu. Aku sudah banyak mengalah padamu, tapi kamu masih saja bilang seperti itu!" Aku
"Apa kamu akan memandang rendah padaku juga, Ziva?" tanyaku sambil menatap layar pipih itu. Aku ingin melihat wajah sahabatku itu saat dia menjawab pertanyaanku. "Apa karena itu kamu membiarkan mas Damar menikah dengan Alesha? apa karena itu juga kamu pernah menghilang tanpa jejak selama berbulan-bulan dulu itu?" Bukannya menjawab pertanyaanku. Ziva malah balik bertanya. Aku menganggukkan kepalaku sebagai jawaban atas pertanyaan Ziva. "Kamu bercerita pada Alesha tentang semuanya?" tanya Ziva lagi."Iya, aku bercerita padanya untuk meminta pendapatnya apakah aku harus jujur pada mas Damar atau tidak. Setelah aku hidup bersama mas Damar, aku merasa bersalah dan menyesal atas apa yang aku lakukan. Aku mulai mencintainya dan tidak ingin menipunya seumur hidupku. Jadi aku meminta pendapat dari Alesha, dia mengatakan agar aku jujur pada mas Damar. Lalu setelah itu mas Damar pergi dari rumah, papa juga mengusirku sehingga selama beberapa bulan itu aku menghilang."Aku bercerita kepada Zi
Aku sudah melupakan kejadian heboh yang terjadi kemarin di group Facebook, aku tidak lagi mengikuti perkembangannya begitu akun Zahra menghilang. Seperti yang aku pikirkan sejak awal, suatu saat mereka akan melupakannya juga. Pintu rumahku di ketuk beberapa kali saat aku tengah asyik bertelepon dengan Ziva. Sejak tinggal sendirian di rumah ini aku selalu mengunci pintu jika sedang di dalam rumah. Pengalaman di datangi Zayden dulu membuatku lebih takut saat di dalam rumah sendirian daripada di luar rumah."Zahra, ada apa? mas Damar tidak ada disini," ucapku begitu tahu siapa yang datang bertamu."Amelia, siapa Mr. X?" tanya Zahra dengan kesal. "Aku tidak tahu," jawabku singkat.Aku memang tidak tahu siapa dia, bahkan Ziva juga tidak mengatakannya padaku. "Jangan-jangan itu akun kloning milikmu, kamu sengaja membuatnya lalu memposting cerita pembelaan panjang lebar seperti itu!""Astaga Zahra, aku bukan orang sepicik itu. Aku tidak pernah memikirkan untuk melakukan hal-hal seperti it
"Usia kehamilan ibu saat ini sekitar sepuluh minggu, hasil USG memperlihatkan dua kantung kehamilan, dua embrio, dan dua denyut jantung. Ibu mengandungnya bayi kembar."Ucapan dokter tadi membuat bibirku tidak berhenti menyunggingkan senyuman. Aku tidak tahu siapa dari kami yang memiliki keturunan anak kembar, tapi Allah tidak membutuhkan alasan saat memberikan karunia-Nya pada hambaNya. "Apa segitu bahagianya dirimu hingga aku lihat kamu terus saja tersenyum sejak tadi," ucap mas Farid membuyarkan lamunanku. "I-i-itu," sahutku menggantung. "Tadi bagaimana kamu membawaku ke rumah sakit mas?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. "Aku menggendongmu hingga sampai kesana," jawaban sambil fokus menyetir. Masalahnya tadi dia bilang membawa motor, tapi sekarang dia membawa mobil. "Benarkah?" "Tentu tidak benar, kamu pikir aku super hero yang bisa terbang sambil membawa orang."Aku tertawa kecil mendengar jawaban dari mas Farid. "Sepertinya kamu benar-benar bahagia, sejak tadi aku perhati
"Kenapa kamu melakukan itu mas?""Kamu istriku, kalau bukan aku yang membela dirimu, siapa lagi? Aku masih menunggu kamu menceritakan apapun masalahmu padaku. Jangan ulangi lagi mengambil keputusan sendiri." Mas Damar meraih pergelangan tanganku dan membawaku kembali ke meja makan. "Ayo cepetan makan, keburu dingin lagi makanannya," ucapnya sambil menyuruhku duduk kembali di kursi makan. "Sebenarnya aku bisa terusir dari rumah karena menuduh Zahra yang sengaja menyuruh orang menabrakku saat aku hamil dulu," ucapku sambil menyuapkan makanan ke mulutku. "Kenapa bisa kamu lakukan itu?" tanya mas Damar sambil menatapku. "Lelaki itu datang padaku dan mengatakan semuanya, tapi ternyata dia kabur saat aku ingin menjadikannya saksi. Padahal waktu itu dia menunjukkan rumah di kompleks sini sebagai rumahnya. Tapi ternyata rumah itu sudah kosong lama dan milik Bisma.""Maksudnya Bisma dan lelaki itu bersekongkol?" tanya mas Damar. "Mungkin dengan Zahra juga," jawabku singkat."Maksudnya?"
Mas Damar menghampiri diriku dan menyudutkan tubuhku ke tembok. Matanya berkaca-kaca, giginya gemerutuk menahan amarah. Kedua tangannya mencengkram bahuku dengan erat."Apa kamu begitu ingin bercerai denganku, Amelia Larasati!" seru mas Damar sambil menatap tajam kearahku. Bukan hanya kemarahan yang terlihat di matanya, segitu kecewanya kah dia melihatku bersama dengan lelaki lain."Kamu menyakitiku mas, lepaskan," lirihku sambil merona. Bulir bening menetes dari sudut mataku tanpa diminta, lelaki yang menikahiku itu menyakiti hatiku dengan menuduhku memiliki hubungan dengan pria selain dirinya, dan sekarang menyakiti fisikku, padahal aku sedang mengandung anaknya. Cengkraman tangannya melemah, dia melepaskanku dan berjalan menuju sofa lalu duduk sambil meremas rambutnya. Apa yang terjadi padanya, apa dia begitu marah hanya karena melihatku diantar oleh laki-laki lain atau dia sedang ada masalah lain. Lagian kenapa dia datang siang-siang begini, bukankah seharusnya dia bekerja sian
"Mas, kita akan pergi kemana? mau lari begitu saja bersama? semua orang akan khawatir. Papa dan mama juga akan mencariku. Kita tetap disini, kita rahasiakan kehamilan ini. Asal kamu selalu menjagaku itu sudah cukup, aku akan lebih berhati-hati dan tinggal di dalam rumah," ucapku sambil memeluknya dari belakang. Menghentikan kesibukannya memasukkan baju-bajuku kedalam koper. "Aku tidak yakin kita akan baik-baik saja jika disini.""Asal tidak ada yang tahu jika aku hamil maka semua akan baik-baik saja, kamu harus bisa merahasiakannya juga. Nanti saat aku sudah tidak bisa menyembunyikan kehamilan ini lagi, aku akan pulang ke rumah mama dan mereka yang akan menjagaku. Kita bisa juga pulang bersama karena saat itu pasti Zahra sudah melahirkan," tuturku panjang lebar. Setelah Zahra melahirkan dan aku bisa membuktikan jika anaknya bukan anakmu, saat itu aku akan segera pergi dari sini."Apa kamu yakin dengan keputusan ini?" tanya mas Damar memastikan."Iya, yakin!""Tadi sebenarnya aku in
Pintu rumahku diketuk berulang kali, terdengar suara salam dari orang yang aku kenal, mbak Susi. "Sebentar mbak," teriakku dari dalam. Aku segera meraih mukena dan memakainya. Kain itu bisa menutupi seluruh tubuhku dan menyembunyikan perutku. Hingga saat ini tidak ada seorang pun yang tahu aku hamil kecuali mas Damar. "Habis salat mbak?" tanya mbak Susi begitu aku membuka pintu rumahku. Aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaannya, lalu mempersilahkan wanita itu masuk. "Ini mbak, di suruh bawa makanan buat mbak Amel. Kok mbak Amel tidak datang ke sana sih, nengokin bayi nya mbak Zahra. Orang-orang jadi pada mengira mbak Amel tidak suka dengan kelahiran anak itu.""Biarlah mbak," sahutku sambil tersenyum.Sudah seminggu yang lalu maduku itu melahirkan, katanya anak laki-laki dan hari ini adalah hari dimana diadakan acara aqiqah buat bayi laki-laki itu. Tapi aku masih saja tidak mau datang, bagaimana aku bisa datang dengan perut yang membesar ini. Meskipun usia kandunganku baru ena