POV ALESHA ZAHRAKeputusanku untuk menikah dengan mas Damar sepertinya adalah sesuatu kesalahan. Setelah begitu banyak berkorban, begitu banyak hal yang aku lakukan hingga akhirnya aku bisa menikah dengannya, namun tidak juga aku mendapatkan kebahagiaan. Dia bener-benar tidak pernah mencintai diriku, apa yang dilakukan olehnya hanya sebatas mengikuti keinginan istri pertama dan ibunya. Apa yang dilakukan padaku hanya sebatas kewajiban sebagai suami saja, tidak sekalipun aku melihat binar cinta di matanya. Mata yang berbinar, senyum yang manis seperti saat dia berbicara dengan Amelia tidak pernah sekalipun aku dapatkan darinya. Senyum itu dulu pernah aku nikmati saat aku menjadi karyawannya tapi sekarang saat aku menjadi istrinya dia tidak pernah sekalipun tersenyum padaku. Dia memang tidak pernah membentakku, namun wajahnya dingin, datar dan tanpa senyuman jika bersamaku. Mas Damar banyak menghabiskan waktu dengan tinggal di rumah yang aku tempati, Amelia merelakan demi sebuah kama
Sejak Zahra dimarahi oleh ibu waktu itu, mas Damar jadi sering pulang ke rumah. Bukankah harusnya Zahra lebih banyak mengekang mas Damar biar dia cepat memiliki anak. Bahkan ibu juga sudah tidak melarang-larang lagi mas Damar datang ke rumah dan menemuiku. Apa ibu sudah berubah pikiran. "Mas, kok sekarang kamu lebih sering di sini daripada dirumah Zahra?" tanyaku malam itu saat kami menghabiskan malam bersama setelah sekian lama suamiku itu jarang pulang ke rumah ini. Nisa sudah kembali lagi ke pesantren, katanya dia mulai sibuk dengan skripsinya."Apa kamu tidak suka jika aku ada disini?" "Bukan begitu, tapi kan tidak biasanya wanita itu mengijinkan kamu datang kesini.""Mungkin dia sudah bosan padaku," jawab mas Damar datar. "Wanita itu mana ada bosannya kepadamu,mas." Aku berkata sambil tertawa. "Yaa mungkin dia mulai sadar, seperti katamu waktu itu. Mungkin sekarang dia mulai melepaskan diriku agar bisa bersamamu.""Kamu galak sama dia mas?" tanyaku menyelidik. "Kenapa kamu
Dengan menyimpan rasa penasaran aku tetap pergi dari rumah Zahra. Aku harus segera mengantarkan semua makanan itu pada pemiliknya. Mas Damar pasti sudah menungguku di rumah. Mbak Susi tadi aku lihat sudah hendak keluar mobil, tapi begitu melihatku berdebat dengan Zahra, wanita itu sepertinya mengurungkan niatnya dan masuk kembali ke dalam mobil. "Tadi ada mas Bisma ya mbak?" tanya mbak Susi begitu aku sudah masuk lagi ke mobil. "Iya mbak," jawabku singkat. "Saat aku mengantarkan sesuatu ke rumah mbak Zahra, aku suka melihat mas Bisma keluar dari rumah mbak Zahra jika mas Damar tidak ada." "Sering mbak?" tanyaku penasaran. "Nggak sering sih, tapi beberapa kali aku lihat."Aku terdiam mendengar penuturan mbak Susi. Meskipun rasa penasaran bergejolak dalam hatiku, namun aku memilih untuk tidak banyak bertanya pada wanita yang duduk di sampingku ini. Segera aku menyalakan kembali mobil tersebut dan berjalan perlahan meninggalkan kediaman Zahra dengan penasaran. Setelah mengantarka
"Apa maksudnya kamu sengaja melakukan mas?" tanyaku dengan nada mulai meninggi.Jadi benar dugaanku jika lelaki ini sengaja menabrakku kala itu, saat aku sedang santai berjalan di pinggir jalan perumahan namun tiba-tiba datang dengan kecepatan tinggi sebuah motor menabrakku. Semua begitu cepat terjadi hingga aku tidak bisa menghindarinya. Tapi kemudian dia bertanggungjawab dan membawaku ke rumah sakit, bahkan dia mau menanggung biaya rumah sakit saat itu. Namun pada akhirnya kami menolaknya karena ternyata dia bukanlah orang yang berada.Lelaki itu beralasan rem motornya tidak berfungsi hingga menabrakku begitu saja. Dia sedang tergesa-gesa karena khawatir pada istrinya yang sedang sakit parah. Dia pulang melewati jalanan perumahan itu karena sedang bekerja disalah satu rumah warga di tempat itu lalu di telpon oleh keluarganya. Setelah membawaku kerumah sakit, dia meninggalkan tanda pengenalnya dan juga datang kembali ke tempat dimana aku di rawat. Entahlah, kami saat itu percaya be
"Apa yang kamu katakan, Amelia?" tanya ibu. Sejak ada Zahra, ibu tidak lagi memanggilku nak seperti dulu. "Dia yang dengan sengaja menabrakku hingga aku kehilangan anakku, Bu." Aku ulangi lagi perkataanku."Jadi benar, kamu hendak memfitnah Zahra karena dia sedang hamil sekarang?" tanya ibu dengan nada tidak suka. Fitnah? hamil? Dua kata yang sedang aku cerna dengan kebingungan, aku hendak memfitnah dia dan dia sedang hamil sekarang? "Tidak Bu, Amel baru saja ketemu dengan orang yang menabrak Amel, dan dia menceritakan semuanya. Dia bilang jika dia sengaja melakukannya karena di suruh olehnya!" ucapku membela diri sambil menuding jariku pada wanita yang sejak tadi tidak mengatakan apapun itu. "Kalau begitu buktikan," sahut Zahra dengan santai. "Oke, aku akan menyuruh lelaki itu datang kesini. Tadinya aku menunggu untuk mengumpulkan semua keluarga, agar mereka tahu siapa kamu sebenarnya. Tapi mungkin lebih baik sekarang saja aku buka kejahatanmu!" Segera aku menghubungi nomor ma
"Ayo mbak saya antarkan," ucap mbak Susi yang sudah menungguku di depan pintu keluar. Aku memang tidak berniat membawa mobil yang biasa aku pakai, itu bukan mobilku. Tapi milik mertuamu."Kita bisa naik motor," ucapnya lagi. "Mbak Susi ... Tolong bantu aku," terdengar teriakan Zahra dari dalam rumah. "Nggak apa-apa mbak, saya bisa jalan kaki. Tempatnya juga tidak terlalu jauh kan, nanti kalau mas Damar tanya bilang saja ya. Aku akan menelpon dia juga." Aku berpesan pada wanita yang sehari-hari bersamaku itu sebelum aku pergi. Wanita itu membalas dengan anggukan dan segera masuk kedalam rumah karena Zahra terus berteriak memanggil namanya. Aku berjalan menuju kompleks perumahan yang biasa di tempati Zahra sambil menyeret koper dan membawa pot bunga. Orang-orang yang melihat dan mengenaliku menyapaku dengan heran, aku hanya membalas sapaan mereka dengan senyuman dan mengatakan jika aku akan pindah rumah. Aku terus mengayun langkahku menuju rumah baru, aku benar-benar di usir oleh
Hatiku berdenyut nyeri, sambil menatap kearah layar pipih di tanganku yang sudah berubah gelap. Tidak terasa bulir bening lolos begitu saja dari netraku. Ada kesedihan yang tidak bisa aku gambaran. Apa Zahra sudah benar-benar mengambil hati suamiku.Aku menatap kearah pohon Anggrek yang semakin lebat berbunga.Aku mendekati bunga tersebut dan menyentuhnya. "Katanya kamu membawa keharmonisan rumah tangga dengan mengisi ruang dengan ketenangan, kejernihan, kepolosan serta kedamaian. Kenapa aku tidak mendapatkannya sama sekali," ucapku pelan sambil mengelus-elus bunga itu.Petir mulai terdengar menyambar, tapi aku tidak peduli. Aku tidak berniat untuk masuk ke dalam rumah sama sekali. "Ya, kamu hanya sebuah bunga yang hanya menghadirkan keindahan untuk mata," ujarku lagi. .Hujan rintik-rintik mulai turun membasah bumi, lama-kelamaan terus bertambah deras. Sederas air mataku yang menetes menganak sungai di pipiku. Aku menadahkan tanganku untuk mengumpulkan tetesan air hujan tersebut
" Mana suamiku!" tanya Zahra ketus. "Dia suamiku juga, Zahra," ucapku setenang mungkin. "Suruh dia pulang ke rumah ibu, jangan biarkan dia di rumah ini. Atau kalau tidak aku akan membuka lagi keburukanmu di group alumni," ancamnya.Zahra selalu saja memgancamku dengan hal itu, dulu saat dia memintaku untuk membujuk mas Damar menikah dengannya pun dia mengancam diriku dengan hal itu. "Kamu sudah berjanji tidak akan melakukannya jika kamu menikah dengan mas Damar, Zahra!""Sekarang aku tidak berjanji lagi, kecuali kamu menolak mas Damar tinggal disini! Kamu memang membuatnya menikah denganku, tapi kamu tidak pernah membiarkan dirinya bersamaku!""Zahra! bisa-bisanya kamu bilang seperti itu. Selama ini kamulah yang lebih banyak bersama mas Damar. Kamu sudah mendapatkan apa yang dulu aku miliki, suami, ibu mertua, bahkan rumah nyaman yang dulu menerimaku dengan hangat itu kini juga sudah menjadi milikmu. Aku sudah banyak mengalah padamu, tapi kamu masih saja bilang seperti itu!" Aku