"Kamu tahu tidak, salah satu temanmu itu kan bekerja dengan suamimu," ucap mama.Kami sedang bercengkerama selepas memasak dan makan siang bersama. Hari ini hari libur, jadi kami bertiga bisa makan bersama-sama. "Siapa ma, Ziva?" tanyaku.Saat di cafe dulu Ziva lah yang ingin bekerja dengan mas Damar jika dia tidak mendapatkan pekerjaan juga. Aku pikir dia hanya bercanda, masa iya dia benar-benar bekerja dengan mas Damar. Seorang sarjana bekerja mengurusi telur? Dua hari di rumah, aku belum pergi kemanapun atau menghubungi siapapun. Aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan mama dan papa di rumah. Menceritakan semua yang aku lewati saat di pesantren. "Bukan Ziva, tapi Alesha," sahut mama. Alesha? dia bilang sudah bekerja waktu itu, kenapa bisa pindah bekerja ditempat mas Damar? Sebesar apa gaji yang di berikan suamiku itu, apa lebih besar dari gajinya di kantor? "Kok mama tahu sih?" tanyaku penasaran. "Mama pernah lihat dia beberapa kali pergi dengan Damar, dan berada di tempat
"Maaf aku menganggu kalian bekerja," lirihku. Entah kenapa aku yang malah merasa bersalah disini, bukankah seharusnya aku marah-marah melihat suamiku bersama wanita lain? Ah ... kadang kala beban rasa bersalah dimasa lalu akan terus membuat kita tidak berdaya terhadap apapun. Mungkin jika saat menikah tidak ada masa lalu yang buruk, aku bisa berbuat apapun yang aku inginkan. Termasuk marah saat melihat suamiku bersama wanita lain. Ku tarik kembali handle pintu dan hendak menutupnya. "Tunggu!" cegah mas Damar. Aku diam terpaku, tidak jadi menutup pintu itu namun tetap menggenggam handle pintu tersebut. Kulihat lelaki dengan kacamata bertengger diwajahnya itu bangkit dari duduknya dan berlari ke arahku. Ah, kenapa dia semakin tampan jika memakai kacamata. Aku tak pernah melihatnya memakai benda itu jika di rumah. Mungkin hanya saat bekerja dan berurusan dengan berkas-berkas pekerjaannya. Begitu jarak kami sangat dekat, mas Damar segera memelukku dengan erat. "Jangan pergi ... Janga
"Aku melakukannya dulu saat kelas tiga SMP, setelah perpisahan sekolah aku melakukannya dengan pacarku. Beberapa kali hingga akhirnya dia hamil. Orang tuaku marah dan akhirnya memaksaku masuk ke pondok pesantren untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya. Kau ingat aku pernah bilang kabur dari pesantren? itu karena aku tidak betah disana dan memang tidak suka di paksa. Aku tetap sekolah di sekolah biasa yang berbasis agama, dan di sanalah aku mulai berubah." Mas Damar menjeda ceritanya dan menatap kearaku, lelaki itu langsung saja bercerita tanpa aku memintanya. "Aku pergi meninggalkanmu saat kamu mengatakan yang sebenarnya malam itu bukan karena aku marah padamu, tapi aku kecewa dengan diriku sendiri. Aku pikir semua terjadi karena karmaku dimasa lalu, orang selalu mengatakan jodoh cerminan diri. Aku menyalahkan diriku atas apa yang kamu lakukan, aku sudah mengambil kegadisan wanita tanpa ikatan pernikahan dan akhirnya aku mendapatkan istri yang menyerahkan kesuciannya pad
Dengan malas aku keluar dari mobil, dan berdiri di samping pintunya."Ada apa?" ketusku bertanya."Mana anak itu, berikan padaku." Aku menatap tajam ke arah lelaki yang pernah mengisi hatiku itu. Muak rasanya melihat wajahnya. "Anak?! anak siapa yang kamu maksud?" tanyaku sinis. "Anak yang kamu kandung kala itu, tentu dia sudah lahir kan. Sekarang berikan dia padaku, aku yang akan merawatnya." Aku tersenyum miring mendengar perkataannya."Dengar ya Zay, aku tidak pernah mengandung anak itu apalagi melahirkannya. Pergi dari hadapanku dan jangan menganggu hidupku lagi!" pekikku kesal. "Waktu itu kamu yang bilang sendiri jika kamu hamil anakku, apa kamu membunuhnya sebelum dia sempat lahir ke dunia?" Lelaki itu bertanya dan menuduhku dengan sorot mata yang penuh amarah, dia kira dia itu siapa bisa memarahiku karena urusan anak. Dulu saat aku menginginkanmu dia bertanggung jawab dia menolakku dan juga anak itu, sekarang dengan seenaknya sendiri memarahiku. Dia pikir aku ini isteriny
"Bukan apa-apa mas," sahutku cepat. Aku segera merapikan bekas makanan kami, tidak ingin banyak berbicara dengan mas Damar didepan sahabatku. "Sibuk tidak mas? antar aku pulang bisa?" ucapku sambil bangkit dari duduk dan berjalan menghampiri suamiku.Aku mengajak pulang mas Damar lebih cepat hari ini, mudah-mudahan dia tidak sedang sibuk. "Tumben minta di antar?" tanya mas Damar. "Aku rindu," bisikku tepat saat kami berpapasan. "Ya sudah kalau tidak mau, aku naik taksi saja." Aku sengaja mengeraskan suaraku.Aku berlalu meninggalkan mas Damar yang masih terbengong-bengong mendengar bisikanku barusan. "Kalau mas Damar sibuk, biar aku antar Amelia," sahut Alesha menawarkan diri. "Tidak perlu, biar saya saja yang mengantarkannya. Sepertinya saya tidak akan kembali kesini, kalau ada apa-apa tolong diselesaikan ya." Dari luar ruangan, aku mendengar ucapan mas Damar pada Alesha. Tak lama berselang, langkah kaki suamiku terdengar mendekat ke arahku. "Kamu sedang menggodaku?" tanya m
"Sudahlah ayo kita pergi, benar katamu. Percuma meladeni orang yang tidak waras!" Mas Damar berkata sambil memeluk pinggangku dan berjalan meninggalkan mantan kekasihku itu. Beruntung Zayden tidak lagi berbuat kekacauan ataupun mengejar kami. "Kamu kok bisa turun dan mendatangiku, mas?" tanyaku begitu kami sampai di ruangannya. "Tadi Alesha bilang melihatmu dari lantai dua, dia bilang kamu sedang bersama lelaki. Aku berpikir jika itu mantan kekasihmu, jadi aku segera turun karena khawatir," jawab mas Damar menjelaskan."Dari mana lelaki itu tahu tempat kerjamu disini mas? siapa yang kasih tahu. Tadi dia mengancam akan mencari alamat rumah kita dari orang yang sama.""Entahlah, tapi kamu harus hati-hati jika di rumah, jangan-jangan dia akan benar-benar datang kerumah.""Lihatlah apa akibat yang aku dapatkan dari kesalahan-kesalahan masa lalu. Bahkan saat aku sudah berusaha menjadi lebih baik, masa lalu itu terus mengikutiku dan ingin merusak kebahagiaanku. Bahkan kamu jadi kena imb
POV DAMAR-------&&-------Sejak Amelia bercerita tentang mantan kekasihnya, dan laki-laki itu dengan beraninya datang ke tempatku bekerja, membuat kekawatiran hadir dalam diriku. Sepertinya lelaki itu tipe orang yang nekad dan bukan dari keluarga yang sembarangan. Saat dia mengatakan hal buruk tentang Amelia, sesungguhnya aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menghajarnya. Suami mana yang tidak marah saat ada laki-laki lain merendahkan istrinya. "Apa kamu tidak ingin tahu bagaimana saat istrimu menyerahkan dirinya padaku" Kupingku sangatlah panas mendengar kalimat itu. Keburukan yang didapatkan karena berzina memang akan selalu melekat pada diri orang yang melakukannya, bahkan saat dia sudah berubah sekalipun. Dimata manusia itu akan tetap menjadi topik yang akan dibicarakan meskipun waktu sudah berlalu dan pelaku sudah bertaubat. Apa lagi untuk wanita yang melakukannya. Saat lelaki itu mengatakan hal tersebut, ingin rasanya aku menghajarnya saat itu juga. Namun lagi-lagi aku b
"Zay, jangan memaksaku seperti ini. Kita bisa melakukannya dengan cinta seperti dulu," ucapku sambil menutup mata saat bibirnya hendak menciumku. "Kamu mau melakukannya dengan cinta?" bisiknya di telingaku. Aku mengangguk mengiyakan, "Iya di kamarku," sahutku. Sejujurnya aku sangat jijik saat mengatakan hal itu, tapi aku menahan diri. Aku harap dia percaya dan akan bangun dari atas tubuhku. "Iya bangunlah, kita akan melakukan dengan cinta seperti dulu," bujukku lagi. Lelaki itu percaya, melepaskan cengkraman tangannya dan melepaskan tubuhku dari kungkungannya. Aku bangun dari posisiku dan merapikan rambutku yang berantakan. Saat kulihat Zayden lengah, aku segera berlari sekencang-kencangnya menuju kamar, lalu menguncinya dari dalam. Dari dalam kamar, kudengar umpatan dan makin keluar dari mulut lelaki itu. Aku tidak peduli, aku harap diriku akan aman berada di dalam kamar ini. Pintu kamar ini cukup kokoh, mungkin jika dia mendobraknya akan butuh waktu lama dan aku harap saat it