Share

3). Demi menjaga kehormatan

Sedangkan di sisi lain, Sagara pun melakukan protes keras pada sang Papa. Orang yang telah merencanakan perjodohan konyol itu.

“Pa, kenapa Papa menjodohkan aku dengan bocah SMA. Mau taruh dimana wajahku nanti-!” Sagara merasa harga dirinya terluka dengan menikahi gadis yang masih duduk di bangku sekolah menengah sedangkan dia adalah pria dewasa.

“Kenapa kau sekeras ini, Sahara itu 'kan cantik!” sahut Papa begitu geli dengan tingkah putranya yang berlebihan.

“Tidak secantik Maria.” timpal Sagara dengan ketus.

Bocah ingusan itu memang cantik, namun kecantikannya tidak sematang Maria, membuatnya tidak menarik di mata Sagara.

“Sahara itu sedang masa pertumbuhan, kau lihat, masih remaja saja sudah cantik. Apalagi dewasa nanti. Si Maria itu pasti kalah!” ucap Papa begitu bangga membandingkan dengan kekasih putranya.

Sagara berdecih, “Begitu dia dewasa, aku justru menua.”

Kontan saja ucapannya itu membuat sang Papa tertawa.

“Bukan begitu teorinya, Saga. Justru kau akan terlihat lebih muda jika bersanding dengan daun muda” kelakar pria tua itu.

“Batal saja, Pa!”

“Apanya?”

“Perjodohan itu” terang Sagara dengan sabar.

“Tidak bisa, Saga. Kau lihat Mama, dia begitu antusias dengan perjodohan ini. Apa kau tega merusak kebahagiaannya?” Papa Hanum menatap serius pada lelaki didepannya.

“Dan merusak kebahagiaanku. Itu tidak adil-!” Sagara menggeram dan membalas tatapan sang Papa.

Satu menit lamanya mereka hening dan saling menatap dengan tatapan tajam, sebelum akhirnya Sagara membuang pandangan.

“Lihat!” seru Papa Hanum menunjuk wajah duplikat masa mudanya dulu. “Di matamu, kau begitu menyayangi Mamamu itu. Apa kau mampu menghadapi kekecewaannya nanti, eh?” lanjutnya lagi, membuat Sagara terdiam.

“Sudah, istirahatlah. Besok kau harus mengantarkan Sahara ke sekolahnya.” titah pria tua itu mengibaskan tangannya tanda mengusir.

Sagara keluar dari ruang kerja sang Papa menuju kamarnya, dia merebahkan diri di atas kasur yang empuk. Banyak benang semrawut dikepalanya, pikirannya kacau. Papa memakai kelemahan Sagara untuk menekannya hingga tak berkutik. Dia begitu menyayangi sang Mama, sejak dulu dia selalu mematuhi perintahnya, mengusahakan yang terbaik untuk wanita yang telah melahirkannya.

Namun jika harus menuruti perjodohan ini, sungguh Sagara enggan melakukannya, tapi dia juga tidak kuasa membuat sang Mama kecewa.

****

Pagi ini Sahara akan memasang wajah cemberut sebagai aksi protesnya, dia masih marah. Enak saja mereka menikahkan dia dengan paksa, dengan pria dewasa yang asing, apa mereka pikir Sahara akan menurut begitu saja?

Memangnya tidak ada lelaki yang lebih muda untuk menjadi kandidat calon suami yang mereka usulkan?

“Stok laki-laki di dunia ini 'kan banyak!” Sahara mendengus kecil. “Lagipula aku masih delapan belas tahun, gadis mana yang mau menikah dengan pria tua?” dia menggerutu sebal.

Sahara sungguh, dia tidak terima dengan takdir ini. Dia tidak mau dinikahkan pada usia yang masih muda, gadis itu punya cita-cita, punya rencana, dia bahkan punya pernikahan impiannya sendiri. Dan dimana Sahara akan menyimpan harga dirinya jika teman-teman sekolahnya tahu dia menikah dengan pria dewasa yang matang.

“Sungguh menyebalkan!” gumamnya membuang napas kasar.

Setelah memasukan buku-buku sekolah kedalam ranselnya, Sahara bergegas keluar kamar menuju meja makan. Terlihat Liana dan Brata menyantap sarapan tanpa beban, orang tua itu tidak merasakan kegelisahan yang sama dengan putrinya. Sahara bahkan tidak bisa tidur dengan nyenyak semalam.

Memilih mengabaikan mereka, Sahara mendaratkan bokongnya pada kursi makan tanpa mengeluarkan suara. Tangan rampingnya menyambar selembar roti, tanpa melirik kedua orangtuanya.

“Ra...”

Melihat putrinya hanya cemberut, Liana memanggilnya. Namun gadis remaja itu hanya membisu dan sibuk mengoleskan selai kacang dipermukaan roti miliknya.

Tidak mendapat respon yang berarti dari anaknya, Liana menoleh pada pria setengah baya yang menjadi suaminya. Pria tua itu hanya mengangkat kedua pundaknya tanda tidak tahu menahu dengan aksi protes dari Sahara.

“Sayang, kau marah pada Mami dan Papi, iya?” tanya wanita paruh baya itu seraya menelisik wajah anak gadisnya.

Yang di ajak bicara justru masih diam, mulutnya sibuk mengunyah roti dengan acuh. Liana menghela napas pelan melihat respon dari gadis cantik itu.

“Mami dan Papi menikahkanmu diusia muda itu bukan tanpa alasan, Ra..” ujar sang Mami lagi.

Sahara meliriknya, “Oh, ya?”

Liana mengangguk cepat.

“Iya, nak. Semua ini demi kebaikanmu. Mami tidak ingin anak gadis Mami terjerumus pergaulan bebas yang sedang maraknya, kalau kau menikah 'kan enak. Mami dan Papi bisa tenang, ada yang akan menjagamu. Dan—...” Liana menghentikan ucapannya, wanita itu terlihat ragu untuk melanjutkan.

“Dan apa?” Sahara tidak sesabar itu menunggu sang Mami sampai menemukan pilihan kata selanjutnya.

“Kau tidak akan berdosa lagi, dan bebas melakukan apa saja. Kau bisa berciuman dengan pasanganmu bahkan lebih dari itu tanpa ada yang menghakimi, bahkan Tuhan sekalipun.” Maminya itu mencerocos.

“Alasan macam apa itu!” sembur gadis itu berang.

“Ra, kau tahu tidak?” tanya wanita itu lagi. “Harusnya kau sudah tahu. Mami tidak ingin apa yang menimpa Nana, menimpa dirimu juga.”

“Papi tidak mau kau seperti itu!” sambung sang Papi menimpali. Pria tua itu memandang putrinya dengan sayang, dia tidak ingin kejadian serupa itu menimpa anak gadisnya.

Sahara menatap kedua orangtuanya lekat-lekat. “Mi, Pi, aku tahu mana yang baik dan mana yang tidak. Jadi tidak mungkin aku seperti itu”

Dalam benaknya melayang pada kejadian naas dua minggu lalu ingatan itu masih segar di kepalanya, saat wanita bernama Nana itu diceraikan oleh suaminya tepat pada saat malam pengantinnya hanya karena tidak mendapatkan bercak darah di bed cover ketika selesai melakukan ritual. Darren—suami Nana merasa kecewa dan ditipu, dia menikahi gadis yang justru sudah tidak gadis lagi. Dengan gelap mata dan diselimuti emosi Darren menjatuhkan talak malam itu juga, Nana sepupunya itu langsung dipulangkan oleh suami dan kedua mertuanya. Tanpa terhormat.

Sahara benci laki-laki gila perawan seperti itu, menurutnya hanya orang dungu yang begitu mengagung-agungkan selembar himen yang bahkan bisa robek tanpa harus melakukan hubungan badan. Namun Nana memang salah, sepupunya itu memang pernah melakukan seks sebelum mengikat pernikahan. Dia tahu bagaimana terlukanya paman dan bibinya ketika putrinya dipulangkan dengan sangat tidak terhormat. Jadi Sahara mengerti kekhawatiran orangtuanya.

“Aku tidak mau menikah hanya karena itu. Aku bisa menjaga diri, aku tahu batasanku.”

Menikahkan Sahara hanya karena itu dan mengorbankan masa remajanya, lalu membangun rumah tangga dengan pria dewasa yang asing tanpa dia tahu seluk-beluknya dan tanpa adanya cinta diantara mereka.

Semua itu sungguh berlebihan.

“Pikirkan dulu baik-baik, nak. Lagipula Sagara itu anak rekan bisnis Papi, Papi yakin dia bisa menjagamu.” ucap sang Papi membujuk.

Sahara memicingkan mata mendengarnya. “Oh, aku tahu. Aku mengerti sekarang.” dia mengangguk-angguk pelan dan meletakan roti yang belum sempat dihabiskan. Dia kehilangan nafsu makannya pagi ini.

“Jadi ini hanya akal-akalan Papi saja? Pernikahan bisnis? Untuk menguatkan bisnis Papi, begitu?” cecar gadis itu menggebu, mata bulatnya mendelik tajam.

Brata tersedak makanan yang berusaha ditelannya, dengan cekatan sang istri menyodorkan segelas air. Dia menggeleng resah melihat pelototan yang diberikan putrinya.

“Bukan seperti itu, nak. Papi sudah kenal cukup lama dengan Sagara, dia lelaki baik dan sopan. Papi yakin dia pantas menjadi pasanganmu, pelindungmu.” pria tua itu menjelaskan dengan sungguh-sungguh berharap anak gadisnya itu mengerti. Dia bahkan tidak pernah sedikitpun berpikir perjodohan ini menjadi ajang untuk melobi rekan bisnisnya.

“Ra, lagipun Sagara itu tampan dan mapan. Dia tidak terlalu buruk untuk menjadi suamimu.” kini sang Mami yang mencoba untuk membujuk.

“Ini semua demi kebaikanmu, Ra...”

Sahara menghembuskan napas panjang, mereka tidak akan mendengarkannya, dia tahu itu. Orang tua itu sudah memutuskan bulat-bulat rencana pernikahan putrinya. Gadis itu memandang wajah orangtuanya dengan tatapan menyerah.

“Apa tidak ada yang lebih muda, Pi?” tanya gadis itu akhirnya dengan wajah memelas.

Mami Liana mengalihkan pandangan menahan tawa, sedangkan sang Papi batuk pelan mendengarnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status