Share

2). Protes keras

Sagara mencengkeram kuat stir mobilnya, suasana hati pria itu benar-benar buruk. Makan malam bersama seorang bocah ingusan adalah hal yang menjengkelkan membuat moodnya hancur berantakan. Semua berawal ketika sang Mama yang terus-menerus menekankan dia untuk menikah sesegera mungkin, usianya memang sudah dua puluh sembilan tahun. Sudah cukup matang untuk ukuran pria dewasa. Pikirannya melayang saat belum bertemu Sahara.

“Saga, kapan kau menikah, nak?” kalimat itu sudah ratusan bahkan ribuan kali masuk ke gendang telinganya, menjadi makanan sehari-hari, membuatnya muak.

“Usiamu dua puluh sembilan, sudah sepantasnya kau menikah.”

Usia bukan patokan seseorang untuk menikah. Pernikahan tidak sesederhana perihal usia yang matang, pernikahan adalah sesuatu yang sakral, ikatan suci yang panjang. Sagara akan menikah jika dia menemukan seseorang yang siap dan tepat untuk dijadikan seorang istri, dia hanya ingin memiliki pernikahan yang sekali seumur hidup.

Namun ucapan Viona—sang Mama, membuatnya berpikir keras. Setiap Sagara pulang ke rumah milik orangtua itu—dia memang tidak tinggal bersama dirumah itu, setelah menamatkan kuliahnya Sagara memang memilih untuk menempati apartemen miliknya. Menggeluti bisnis properti yang di bangunnya sejak duduk di bangku kuliah membuatnya fokus pada pekerjaan ini, tidak ada waktu baginya untuk memikirkan pernikahan.

Sagara memang memiliki kekasih, seorang model yang cukup terkenal di tanah air. Hubungan mereka sangat tertutup, tidak ada yang mengetahuinya. Karena memang Maria—kekasihnya itu meminta hubungan mereka untuk di rahasiakan, jangan sampai tercium oleh awak media demi kelancaran karirnya. Sagara tidak keberatan akan hal itu, selama Maria mampu menjaga hati untuknya, dia tidak masalah.

“Baik, Ma. Akanku bawa calonku pada Mama.” putus pria itu pada akhirnya.

Sagara amat mencintai Maria, selama merajut kasih dengannya dia tidak pernah dekat dengan perempuan manapun, membuat sisi lain pada dirinya tumbuh. Dia akan bersikap dingin pada orang asing.

“Menikah?” Maria berkata tidak percaya.

Saat itu Sagara meminta Maria untuk berkunjung ke apartemennya, hanya ditempat itulah Maria berani menemuinya. Tanpa ada orang yang tahu, dia selalu was-was jika ada paparazi yang mengintai. Sagara mengajaknya untuk membawa hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius, namun tanggapan Maria tidak seperti yang dia harapkan.

“Aku ingin kita menikah, aku tidak akan menghambat karirmu. Justru akanku dukung.” Ucap pria itu meyakinkan wanita yang menjadi kekasihnya.

“Saga bukan aku tidak mau menikah, tapi karirku sedang melejit-melejitnya. Aku ingin menikmati profesiku dulu, aku belum siap menikah” tolak Maria dengan cepat, dia terlalu terkejut dengan ajakan sang kekasih yang begitu mendadak.

“Kenapa kau jadi buru-buru seperti ini. Selama ini kita santai-santai saja” katanya heran. “Kau juga sedang fokus memperluas bisnismu itu, kan?”

Sagara hanya terdiam mendengar rentetan ucapan Maria, memang ini terlalu mendadak. Kesibukan masing-masing yang membuat mereka menjauh dari persoalan ini sejak dulu.

“Oke. Tapi ikut aku dulu, Mama ingin bertemu denganmu.” pinta lelaki itu kemudian.

“Saga, kau–..”

“Hanya Mama Maria. Hanya orangtuaku!” potong Sagara dengan cepat, sebelum kekasihnya itu melontarkan berbagai macam alasan.

Maria menghela napas berat. “Baiklah”

“Bukankah kau model yang sedang terkenal itu?” tanya Viona ketika putranya membawa wanita cantik pada hari itu.

“Benar.” jawab Maria tersenyum.

“Jadi kalian memiliki hubungan?” kini sang Papa—Hanum, bertanya seraya melirik Sagara dan Maria.

Keduanya mengangguk.

“Maaf, Om dan Tante. Jika harus menikah dalam waktu dekat ini kami belum siap.” ucap Maria dengan mantap, membuat Sagara memejamkan matanya. Maria benar-benar serius dengan ucapannya.

“Oh, kenapa?” sahut Papa Hanum tertarik, dia melirik pada putranya sekilas.

“Karena kami ingin fokus pada karir masing-masing.” jawab model itu dengan mudah, seolah sudah melakukannya setiap hari.

“Saga, kau tidak pernah bilang pada kami kalau memiliki kekasih seorang model.” ujar sang Mama setelah Sagara mengantar Maria pulang.

“Jelaslah tidak pernah bilang, hubungan mereka memang dirahasiakan. Pasti Maria yang meminta, bukan begitu Saga?” tanya Papa yang mampu menganalisa hubungan putranya itu dengan sang model.

Sagara mengangguk mengiyakan.

“Mama tidak suka wanita itu!” Viona berkata dingin. Membuat Sagara terkejut.

“Kenapa, Ma?” tanya sang putra. Maria adalah wanita yang cantik dan elegan, apa yang kurang darinya.

“Mama tahu wanita itu. Dia model yang terkenal tampil berani, memamerkan lekuk tubuhnya dengan pakaian yang kurang bahan. Itu bukan menantu idaman Mama!” jawab wanita setengah baya itu dengan ketus.

“Apalagi dia dengan terang-terangan menolak untuk menikah, wanita seperti Maria tidak menginginkan komitmen pernikahan yang hanya akan membuat karirnya terhambat.” lanjutnya lagi.

Sagara hanya menunduk, dalam hati membenarkan ucapan sang Mama.

Papa Hanum berdehem guna menarik perhatian anak dan istrinya. “Begini saja” katanya.

“Kebetulan sahabat karib Papa sedang mencari lelaki untuk dinikahkan dengan putrinya” ucapan pria paruh baya itu membuat Sagara mendongak.

“Mama tahu Brata, kan?” dia bertanya pada istrinya.

“Suaminya Liana?” Viona mengenalnya, nama yang disebutkan oleh suaminya adalah suami dari temannya sendiri.

“Ya, mereka memiliki putri yang tidak kalah cantik. Kita bisa menjodohkan mereka.”

Sagara tercengang mendengarnya, perjodohan adalah hal yang paling dia benci. Lelaki itu hanya akan menikah dengan wanita yang di cintainya.

“Aku tidak mau!” semburnya kemudian.

“Tidak masalah, kalau begitu Papa akan membatalkan modal yang akan Papa berikan untuk bisnismu itu” ucap pria tua itu dengan santai, menumpukan kaki kanan pada kaki kirinya.

“Apa yang...”

Bahu Sagara merosot, kenapa hal ini berujung pada bisnisnya, dia mengumpat dalam hati. Modal dari sang Papa sangat penting untuk kemajuan bisnis propertinya. Dia sangat membutuhkan itu.

“Lagipula, kau bisa memperluas jaringan bisnismu itu jika menjadi menantu Brata. Kau kenal dia, 'kan?” Papa Hanum tersenyum lebar, dia merasa menang.

Sagara kalah telak.

****

Sahara mengajar wanita yang melahirkan dirinya menuju kamar, disana juga ada sang Papi yang sedang sibuk dengan laptopnya. Pria paruh baya itu hanya menatap sebentar pada putrinya lalu kembali fokus pada benda berbentuk kotak pipih itu.

“Mami, apa maksudnya pernikahan?” Sahara mendelik tajam, gadis itu marah dan menuntut jawaban.

“Oh, ayolah sayang. Kalian baru saja berkencan dan itu sudah cukup untuk membawa kalian pada pernikahan.” jawab Mami Liana dengan sibuk menyisir rambutnya didepan cermin rias.

“Mami-! Sejak kapan makan malam menjadi tolak ukur pernikahan?” Sahara menggeram tidak terima.

Liana berhenti menyisir, jari telunjuknya dia letakan dibawah bibir seolah sedang berpikir.

“Emm... Sejak kapan, Pi?” tanya Liana pada suaminya.

“Sejak.. tadi” jawab sang suami dengan enteng.

Konyol, benar-benar konyol. Dia tidak habis pikir dengan kedua orangtuanya yang terlihat seperti orang sinting.

“Mi, Pi, aku masih sekolah. Kalian ingat itu!” padahal hanya tinggal selangkah lagi Sahara menyambut kelulusannya, dia sedang bersiap-siap untuk mengikuti ujian Nasional beberapa hari minggu kedepan. Kenapa harus menikah sekarang?

“Ya.. betul” sahut Mami Liana kembali menyisir.

“Anak sekolah mana boleh menikah!” jerit Sahara dengan frustasi.

“Tentu saja boleh!” sambar Papi Brata. Dia meletakan laptopnya dan menatap wajah cantik putrinya yang sudah memerah diliputi amarah.

“Selama ada penghulu, wali nikah, para saksi, dan yang paling penting ada calonnya.” lanjut pria itu melemparkan senyum jenaka.

Gila, umpat Sahara. Dia tidak pernah berpikir bahwa melakukan kencan buta tadi akan menjadi awal dari mimpi buruknya. Dan Sahara tidak pernah menyangka kedua orangtuanya segila ini. Dunia sudah modern dan semakin canggih, kenapa justru dia terperangkap pada jaman dahulu, jaman Siti Nurbaya.

Sahara tidak menyukai itu. Dia adalah orang modern, jiwa yang bebas.

“Kalian menikahkan aku diusia yang masih belia, itu termasuk merusak masa remajaku!” gadis itu bersikeras menolak pernikahan yang paling tidak masuk akal menurutnya.

“Tidak sayang. Justru kami memberi warna pada masa remajamu agar terasa lebih manis” Mami Liana merayu dengan antusias.

“Manis apanya? Menikah dengan Om-om itu pahit, Mi. Pahit, pahit, pahit!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status