Share

4). Menjemput Sahara

Sagara dengan perasaan kesal dan terpaska, dia harus menuruti perintah dari Papanya. Menjemput Sahara.

Di sinilah dia berdiri, tepat di depan pekarangan rumah bocah ingusan itu.

Sudah sejak sepuluh menit yang lalu Sagara menunggu, namun sang empunya rumah belum menunjukkan batang hidungnya. Pria itu menyandarkan bokongnya di kap mobil, menunggu gadis yang berkencan dengannya itu keluar.

Ketika Sahara melangkahkan kakinya keluar, gadis muda yang mengenakan seragam sekolah lengkap itu dibuat terkejut mendapati pria dewasa yang sudah tidak asing di matanya. Dia tidak tahu ini, apalagi yang direncanakan oleh orangtuanya?

Lelaki itu tersenyum sinis melihat raut kaget tercetak jelas di wajah gadis yang dia anggap masih bocah itu. Otak Sagara yang cerdas mencetus sebuah ide yang brilian menurutnya. Jika dia tidak bisa membatalkan perjodohan ini, maka lelaki tampan itu akan membuat Sahara tidak akan tahan dengan sikap ketus dan dinginnya bila berada didekatnya. Dengan begitu bocah itu pasti akan menolak perjodohannya, dan Sagara akan berperan sebagai korban di sini.

Dia tersenyum senang memikirkannya.

“Mami apa-apaan ini?” Sahara berkata seraya melayangkan tatapan menusuk pada sang Mami.

Liana tersentak dan salah tingkah dibuatnya, tangan ramping wanita itu mencolek pinggang sang suami, menyuruhnya untuk menjawab.

“Oh, Saga akan mengantarmu ke sekolah.” jawab pria tua dengan santai. Dia melambaikan tangan meminta lelaki yang masih berdiri di dekat mobil itu untuk mendekat.

“Selamat pagi, Om, Tante.” Sagara menyapa dan tersenyum tipis. Baru kali ini Sahara melihat pria dewasa itu tersenyum setelah kencan buta malam tadi.

Sagara berusaha ramah pada kedua orang tua gadis itu, terlebih pada Brata. Dia sudah mengenal cukup lama dengan pria tua itu, hanya saja baru kali ini Sagara mengetahui dia memiliki seorang putri yang masih gadis.

“Pagi Saga...” balas pasangan suami istri yang tidak muda lagi itu. Senyum mereka mengembang begitu sempurna saat menyambut calon menantunya.

“Aku datang untuk menjemput... Ara” ucap Sagara, melirik gadis muda yang masih cemberut.

“Oww! Ara, Pi. Sweet...” bisik Liana begitu heboh ditelinga suaminya. Senyum wanita paruh baya itu semakin melebar, melihatkan deretan giginya.

Sahara memutar bola matanya melihat kelakuan dari sang Mami. Dia memang biasa dipanggil 'Ra' oleh orang-orang terdekatnya. Ara, apanya yang sweet? Gadis itu mencibir.

Namun diam-diam Sahara menyukainya, panggilan itu. Tidak ada yang memanggilnya dengan nama itu, jadi dia menyukainya. Hanya saja dia tidak menyukai orang yang sudah membuat nama panggilan itu.

Gadis itu melirik ke arah lelaki dewasa yang akan mengantarkannya ke sekolah, Sagara membalas lirikan Sahara dengan senyum miring, membuat gadis muda itu cepat-cepat membuang pandangan.

“Ya, silahkan. Sahara memang sudah menunggu.” ujar sang Papi antusias dan penuh semangat.

Sagara mengangguk pelan dan kembali melirik bocah yang akan menjadi partner jodohnya, bibir pria itu tersenyum. Namun kali ini bukan sekedar senyum tipis.

Tapi, menyeringai.

Sahara bergidik ngeri melihat senyum itu, dia melipir ke arah sang Mami.

“Mi...” rengeknya pelan memeluk lengan sang Ibu.

Sagara itu lantas mendengus, “Anak Mami” dia mencibir dalam hati.

****

Berada dalam mobil bersama dengan pria dingin itu membuat pori-pori kulit Sahara mengeluarkan peluh keringat, AC mobil pun tidak membuatnya merasa sejuk. Dia melirik pria di balik kemudi, hanya diam dan menatap lurus ke depan tanpa ekspresi. Mengingatkan Sahara pada sebuah robot buatan luar negeri yang disetting agar bisa melakukan pekerjaan manusia. Pria itu terlihat kaku namun kehadirannya sangat mengintimidasi.

“Om, kenapa kau mau repot-repot menjemputku?” gadis itu berusaha memecah keheningan yang menelan mereka. Dia tidak mau menjadi gila bila terus mempertahankan kecanggungan itu, Sahara butuh teman bicara.

“Bukan urusanmu!” lelaki itu menjawab ketus, tanpa melirik lawan bicaranya.

“Tentu saja ini urusanku. 'kan aku yang kau bawa.” tukas Sahara, gadis itu menatap intens pada pria tampan disampingnya.

Sagara diam saja. Laki-laki itu malas meladeni seorang bocah yang sudah membuatnya berada disituasi yang sulit. Seandainya tidak ada Sahara, seandainya bocah itu bukan anak dari teman orangtuanya dan tidak sedang mencari lelaki yang sudi menikahinya, Sagara tentu tidak akan terjebak dalam perjodohan yang konyol ini. Meski dia yakin jika tidak ada Sahara sekalipun dalam kehidupannya, orangtuanya itu tetap akan mencarikan gadis lain untuk dinikahinya. Sagara sadar akan hal itu. Namun setidaknya mencari gadis lain pasti membutuhkan waktu bagi orangtuanya itu, tidak akan secepatnya ini. Dia akan punya sedikit waktu untuk kembali meyakinkan kekasihnya, Maria.

“Om—..”

“Diamlah!” Sagara memotong ucapan Sahara membuat gadis itu terhenyak.

Dia bahkan mengerucutkan bibirnya cemberut, Sahara memalingkan wajah pada jendela lebih memilih menikmati jalanan yang lumayan longgar. Meski objek di sampingnya lebih menarik perhatian, dia tidak sampai hati mengotori matanya dengan memandang manusia dingin itu.

“Siapa yang sudi menikah dengan manusia balok es...” tanpa sadar mulut kecilnya mengumpat.

Sahara terlalu terkejut untuk menjerit ketika merasakan benturan di keningnya. Butuh beberapa detik untuk dia mengerti bahwa mobil yang di tumpanginya berhenti secara mendadak. Gadis itu menoleh, melemparkan tatapan menuduh pada pria yang justru menatap dirinya begitu tajam.

“Apa yang terjadi...” Sahara berkata polos, dia mengusap-usap keningnya yang lumayan sakit.

“Kau bilang apa tadi, eh?” tanya Sagara dengan suara yang dingin, pandangannya menusuk pada gadis yang sudah menciut nyalinya.

“Apa, bilang apa?” bocah itu terlihat bodoh di mata Sagara, membuat dia gemas ingin menelannya hidup-hidup.

Mata Sagara berkilat-kilat, dia mencondongkan tubuhnya mendekat. Menghapus jarak. Sahara secara alami memundurkan punggungnya hingga menempel pada kaca jendela, insting binatangnya meneriakkan tanda bahaya. Ya, dia merasa terancam dengan pria yang selalu menatap matanya begitu dingin dan membekukan.

“Kau menyebutku, apa?” desis pria itu. Wajah keduanya sangat dekat. Hanya terpisah beberapa senti.

Wangi maskulin menyeruak di indera penciuman Sahara, membuatnya gugup.

“Aku tidak mengatakan apapun!”

“Kau pikir aku tuli?” Sagara masih enggan untuk menjauhkan wajahnya. Dia suka melihat wajah tidak berdaya didepannya.

“Aku tidak mengatakan apapun, sungguh!” sangkalnya lagi “Dan bisakah kau menjauh sedikit, aku merasa sesak.” Sahara bisa merasakan bahwa jantungnya berdetak dengan ritme lebih cepat dari biasanya. Kedua pipinya mulai memanas, dan semua itu menyiksanya.

Sagara tersenyum miring, “Kau pikir aku mau menikahi bocah ingusan sepertimu!”

Ledakan emosi memenuhi kepala Sahara, gadis itu merasa harga dirinya terluka, dia marah mendengar sematan itu. Usianya delapan belas tahun, dia bukan bocah ingusan. Sahara merasa hampir cukup dewasa untuk ukuran seorang gadis. Dia mendengus kesal dan mendorong kasar dada bidang lelaki itu, Sahara bahkan sempat merasa tidak percaya dia bisa memiliki kekuatan sebesar itu untuk mendorong tubuh kokoh didepannya.

“Umurku delapan belas tahun! Dan aku bukan bocah!” semburnya dengan jengkel.

Pria itu terkekeh sinis, “Umur hanyalah angka, memangnya apa yang bisa kau lakukan dengan tubuh kecilmu ini?”

Sahara melayangkan tatapan mengancam. Pria itu tertawa keras, melihatnya. Dia benar-benar gemas dengan gadis di sampingnya, seolah-olah Sahara mengancam akan menghajarnya menggunakan bunga rumput.

“Kalau kau sebegitu kerasnya, kenapa tidak kau batalkan saja perjodohan konyol ini” ucap Sahara dengan marah, dia mengabaikan tawa mengejek dari pria itu.

“Memang itu mauku.” Sahut Sagara dengan cepat. “Kalau saja..”

“Kalau saja?” ulang gadis itu, pandangannya menusuk.

Pria itu membisu, tidak mungkin dia mengatakan yang sebenarnya. Kalau Sahara tahu, dia menerima perjodohan ini walau tidak dengan sukarela, bahwa demi bisa mendapatkan modal yang di janjikan oleh Hanum—sang Papa, lalu gadis itu mengadu pada Papinya maka itu akan menghancurkan reputasi Sagara.

Hanum pasti akan membatalkan kucuran dana itu, Sagara tidak ingin itu terjadi. Dia punya rencana. Tanpa harus menikahi gadis itu nantinya.

“Kalau saja apa, eh?” Sahara menuntut jawaban itu. Dia memberikan tatapan menantang. Kalau Sagara menganggap gadis itu benar-benar hanya seorang bocah, maka jelas dia salah menilai. Sahara bahkan bisa lebih dingin kalau dia mau.

Memilih mengabaikan, Sagara kembali menghidupkan mobilnya dan melaju kencang tanpa meladeni gadis itu. Dia tidak mau terpancing.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status