Share

8). Alat kontrasepsi sialan

Melepas anak gadis untuk menikah tidaklah mudah, terlebih gadis itu putri satu-satunya yang dimiliki. Brata tidak merasa lega melihat putrinya menikah, meski pernikahan ini adalah kehendaknya sendiri. Pondasi pernikahan putrinya terlalu rapuh, untuk itu dia mewanti-wanti dan mengingatkan pria yang menjadi suami dari putrinya.

“Sahara putriku satu-satunya” ucap pria tua itu memulai. “Aku menjaganya sepenuh hati, sejak dia hanyalah seorang bayi merah.” lanjutnya.

Brata bahkan masih bisa merasakan kuap putrinya sewaktu masih bayi, tahu-tahu kini sudah menikah. Waktu terasa begitu cepat baginya.

“Sekarang aku membagi tugas itu padamu.” Brata mencengkeram pelan bahu tegap Sagara. “Jagalah dia, lindungi putriku. Aku mempercayakan tanggung jawab besar ini untukmu. Jangan kecewakan aku.”

Sahara berkaca-kaca mendengar kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut sang Papi, dadanya menghangat. Dia sangat menyayangi pria tua itu, sungguh. Di sampingnya Sagara hanya mengangguk patuh, dia mendengarkan setiap perkataan mertuanya dengan tenang.

“Saga, satu permintaan Mami...” kini giliran Liana yang membuka mulut. “Jangan pernah menyakiti putriku, jika kau memang belum mencintainya, jangan kau campakkan dia. Setidaknya cobalah membuka hati untuk Sahara walau itu tidak mudah.” wanita paruh baya itu menatap penuh harap pada pemuda yang menjadi menantunya.

“Kalau kau sudah bosan dengannya, kau bisa mengembalikannya pada kami. Tapi dengan cara yang baik-baik.” ada trauma kecil di kedua mata Liana, dia jelas ikut terluka atas apa yang menimpa keponakannya dulu.

Sahara mengusap punggung sang Mami, menenangkan. Gadis itu mengerti kekhawatiran Liana. Dia tidak tahu bagaimana cara menghibur Maminya. Namun Sahara akan berusaha mempertahankan pernikahan ini, meski mungkin tidak akan mudah.

“Aku...” Sagara berdehem pelan, guna menjernihkan suaranya. “Aku akan menjaganya sebisaku.” dia mengangguk kecil dan melirik istrinya.

“Kalau begitu, kami pamit pulang dulu.” ucap Papi Brata kemudian, dia merangkul pundak istrinya menguatkan.

“Kau baik-baik di sini, sayang. Pintu rumah akan selalu terbuka untukmu” Liana menambahkan, dia menatap putrinya dengan sayang.

Pernikahan ini tidak semeriah pada umumnya. Mereka hanya melakukan akad nikah, dan melaksanakan di kediaman Hanum dan Viona. Tidak banyak tamu yang hadir, para orang tua itu sangat menjaga privasi Sahara. Dengan statusnya yang masih pelajar.

Mereka pergi setelah mengecup kening Sahara bergantian, meninggalkan pasangan pengantin baru itu dalam suasana canggung.

“Sepertinya aku haus. Aku mau mencari minuman...”

Sahara memilih untuk beranjak dari sisi suaminya, dia tidak sanggup bila diam lama-lama dalam kecanggungan. Namun Sagara tidak membiarkan istrinya itu melangkah. Dia mencekal pergelangan tangan Sahara.

“Aku harap kau tidak besar kepala.” katanya. Membuat gadis itu mengkerutkan keningnya.

“Meski orang tuamu memintaku begini dan begitu, kau harus tahu batasanmu!” Sagara melanjutkan dengan datar.

Sahara menghela napas pelan. “Tidak masalah. Lakukan sesukamu saja!” balasnya tersenyum santai.

Dia menatap lurus kedua manik hitam milik Sagara, gadis itu pernah mendengar jika ingin melawan hewan buas maka Sahara harus menatap langsung kedua bola mata binatang tersebut, untuk menunjukkan mereka sama kuatnya. Menurutnya Sagara tidak jauh berbeda dengan hewan buas, pria itu angkuh dan dingin. Dia hanya perlu taktik yang tepat untuk menaklukkan hewan buas itu.

Sagara cukup terkesima dengan reaksi santai gadis di depannya, saking terkesimanya dia merasa curiga. Pria itu mencurigai setiap gerak-gerik Sahara, dia yakin bahwa bocah itu masih punya rencana-rencana gila dan konyol.

“Sahara...” suara lembut itu mengalihkan perhatian keduanya.

“Nak, ternyata kau disini. Mami dan Papi tadi mencarimu untuk pamit.” ucap Viona, wanita itu menatap sepasang suami istri baru tersebut secara bergantian.

“Aku sudah bertemu mereka tadi.” jawab gadis itu mengangguk ringan.

“Syukurlah...” gumam Viona lega. “Kalian tidak beristirahat?”

“Umm...” Sahara melirik suaminya dengan canggung, tidak tahu harus menjawab apa walau sebenarnya dia juga merasa lelah.

“Istirahatlah, tidak usah terlalu sungkan. Biarkan para tamu yang tersisa, kami akan mengurusnya.” ucap Papa Hanum menimpali.

“Saga, bawa istrimu beristirahat.” titah pria tua itu lagi.

Putranya itu tidak mengindahkan, dia melangkah duluan menuju kamar. Wajah Hanum memerah melihat tingkah Sagara, dia merasa malu pada menantunya. Viona justru sudah meneriakinya.

“Maafkan Saga, sayang. Mungkin dia sudah terlalu lelah.” ucap wanita paruh baya itu seraya menggenggam punggung tangan ramping Sahara. Berharap gadis itu bisa memakluminya.

“Tidak apa-apa, Ma...” Sahara tersenyum ceria, dia memang tidak masalah dengan tingkah pria itu.

“Ya, sudah. Ikuti Saga ke kamarnya, kau juga butuh istirahat.” Papa Hanum kembali memerintah.

Menantunya itu mengangguk kecil, mengucap salam pamit terlebih dahulu. Lalu melangkah cepat menuju kamar suaminya.

****

“Jadi ini kamar, Om?”

Sahara menatap tertarik pada ruangan yang luas ini. Mata bulatnya bergelirya melihat-lihat seisi kamar yang bernuansa gelap ini. Dia mendecak lidah, apa pria itu sama sekali tidak pernah merasa ceria? Bahkan dinding temboknya pun berwarna abu-abu yang suram. Sesuram wajah pemilik kamar ini.

Sagara memilih diam. Tidak menggubris pertanyaan tidak berbobot dari bocah ingusan itu.

“Jangan kau coba berani menyentuh barang-barang pribadiku!”

Sahara berdecih mendengar larangan itu, dia berhenti melihat-lihat. Memilih untuk mendaratkan bokongnya diatas ranjang.

“Sana, mandi. Kenapa menatapku seperti itu?” Sahara menatap heran pria yang masih mendelik padanya.

“Oh, atau Om mau kita mandi bersama?” lanjutnya tersenyum genit dan menggoda. Dia merasa gila karena berani mengatakan hal vulgar.

“Berhenti memanggilku dengan sebutan itu!” tukas Sagara menatap semakin tajam. Dia muak mendengarnya.

Gadis itu tergelak renyah, “Lalu kau mau dipanggil, apa? Suamiku... atau Sayangku?”

Sagara menghela napas berat. Gadis itu memang sengaja memanggilnya 'Om' hanya untuk membuat dirinya kesal. Baiklah dia berhenti peduli, batinnya pasrah.

“Kau mau kemana, Om?” Sahara kembali bersuara saat melihat suaminya itu menenteng handuk dipundak.

“Ke neraka.” jawab pria itu tanpa menoleh.

Sahara terkikik geli, dia senang melihat wajah kesal suaminya. Merasa bosan menunggu, dia kembali melihat-lihat isi kamar. Pandangannya tertuju pada figura di atas nakas, foto itu bergambar suaminya yang sedang tersenyum lebar mengenakan toga. Sahara ikut tersenyum melihat senyum pria itu, ini kali pertamanya dia melihat Sagara tersenyum begitu lebar meski hanya dalam sebuah gambar.

Tangan gadis itu terulur membuka laci nakas, dia hanya iseng melakukannya. Tapi sesuatu membuat dahinya mengernyit, Sahara menatap lekat isi laci tersebut. Sebuah benda kecil menarik perhatiannya, bendal itu berada di atas tumpukan map.

“Apa ini?” dia meraihnya, mulai menelisik.

Kedua bola matanya langsung terbelalak, mulutnya ikut menganga. Sahara mengetahuinya, benda itu. Benda sialan.

“Aaaaakkkk!” dia berteriak dengan tangan sedikit bergetar.

Sagara yang baru beberapa menit melakukan ritual mandi dibuat terkejut oleh teriakan itu. Dia tidak mengambil pusing dengan teriakan Sahara, pria itu menebak pasti bocah itu hanya ingin mengganggu dan membuatnya kesal.

“Om, buka!” Sahara menggedor pintu kamar mandi dengan kencang. Membuat Sagara panik buru-buru melilitkan handuknya. Dia pasrah membuka pintu.

“Apa ini?!” sembur gadis itu berteriak. Ditangannya ada bungkusan kecil, entah apa. Sagara terlalu malas untuk meliriknya.

“Apa?” jadi hanya itu yang keluar dari mulut pria itu.

Sahara melemparkan bungkusan kecil itu pada wajah pria di depannya dan mendarat tepat di kening Sagara yang masih basah oleh tetesan air.

“Sok-sok-an dingin, padahal mesum!” gadis itu menyeru dengan tatapan bengis.

Sagara meraih bungkusan kecil yang masih menempel di keningnya. Matanya membulat sempurna. Alat kontrasepsi sialan ini, darimana gadis itu mendapatkannya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status