Share

7). Pernikahan

Gadis itu memutar tubuhnya, mematut diri di pantulan cermin. Senyum manis merekah dibibir ranumnya. Sahara tidak pernah menyangka bahwa dia akan terlihat sangat anggun dengan kebaya yang melekat indah di tubuhnya. Dia tidak menduga akan secantik itu.

Dulu, gadis cantik itu selalu bermimpi akan menikah dengan lelaki tampan dan gagah bak pangeran berkuda putih dalam negeri dongeng. Lelaki yang romantis.

Namun itu hanya bunga dalam tidurnya, hanya mimpi. Mimpi seorang gadis remaja yang begitu mendambakan sosok lelaki yang akan menjadi pelindungnya kelak. Lelaki yang mencintainya. Sahara ingin lelaki seperti itu.

Tetapi kini, kenyataan menamparnya untuk bangun dari mimpi indah itu. Realita yang mengharuskan dirinya menikah dengan lelaki yang begitu jauh perbedaannya usia keduanya. Alih-alih romantis justru lelaki yang begitu dingin, tidak ada cinta diantara keduanya.

Dan Sahara akan menikah dengan lelaki seperti itu demi menjaga kehormatannya.

“Sungguh ironis...” desis gadis itu meringis, sudut matanya berkedut dan berair. Dia mengubur dalam-dalam mimpinya yang indah.

Saat Sahara sibuk dengan gejolak emosional di hatinya. Sagara justru sedang terkesal-kesal. Dia dibuat jengkel dengan percakapan dua wanita yang sebaya itu.

“Saga, ternyata kau sudah sangat dekat dengan Sahara. Apa kalian memang sudah saling mengenal cukup lama sebelumnya atau diam-diam saling menyukai, yang manapun itu Mama senang sekali mendengarnya.” rona kebahagiaan terpancar jelas di wajah Viona yang mulai di hiasi kerutan halus, tapi tidak mengurangi kecantikannya.

“Tidak, Ma. Aku—..”

“Kau juga senang 'kan, Li?” wanita yang melahirkannya itu tidak mengindahkan ucapan Sagara yang terpotong.

“Tentu saja, Vi. Ini angin segar yang harus kita bagikan pada Hanum dan Brata.” Liana menjawab sembari terkikik. Dia cukup senang akhirnya akan ada yang menjaga putrinya.

“Mama, tunggu. Ini tidak seperti yang—..”

“Lihat 'kan, Li. Mereka memang malu-malu tapi mau!”

Lagi-lagi Viona memotong ucapan putranya.

“Benar. Aku pun tidak menyangka loh mereka sudah sedekat itu. Semalam Sahara menolak keras perjodohan ini, tapi lihat, anak itu justru menceritakan kedekatan mereka dengan manis.” Liana terkekeh geli. “Pesonamu memang hebat, Saga!” pujinya pada sang calon menantu.

“Kalau begitu kita percepat saja pernikahan mereka. Bagaimana kalau tiga hari lagi?”

“Setuju. Aku akan bilang pada Papinya nanti”

“Mama, tenang. Jangan buru-buru seperti ini. Kami belum sedekat itu untuk menikah!” Sagara menyela dengan cepat, dia menatap Liana “Sahara juga masih sekolah, 'kan?”

Dia harus menghentikan rencana gila itu, ini sangat mengerikan. Sagara sungguh tidak ingin mengikat janji suci dengan bocah ingusan itu.

“Kau tenang saja, Saga. Masalah sekolah biar Papi yang mengurus. Lagipula Sahara hanya tinggal mengikuti ujian akhir, setelah itu dia akan lulus.” ucap Liana mendengus santai.

“Tapi tant—..”

“Sudah! Saga tidak perlu malu-malu seperti itu. Pokoknya semua beres!” tukas Viona, menghentikan protes yang hendak keluar dari mulut pria itu.

Malu-malu, siapa yang malu-malu, Sagara justru sedang kesal. Dia ingin sekali meneriakkan kata-kata itu, jika wanita yang berdiri di depannya bukanlah sang Mama.

Sagara ingat Maria, dia ingat wanita yang di cintainya. Tidak mungkin pria itu mengkhianati kekasihnya yang berprofesi sebagai model itu. Lalu bagaimana nasib hubungan mereka jika pernikahan ini tidak bisa dia elakan?

Pria itu mengusap wajahnya dengan kasar, menjambak rambutnya dengan menggeram frustasi. Sagara tidak bisa menahannya lagi, dia ingin menempeleng kepala Sahara sampai menangis. Bocah itu sudah membuat situasi ini semakin sulit. Dia membencinya.

****

Sahara mengutuk siapa pun yang mengetuk pintu diruang gantinya dengan cara seperti itu, dia kesal ketenangannya diusik. Tidak bisakah Sahara menikmati sedikit angan-angannya dengan tenang walau sebentar?

“Hei-! Bocah ingusan, cepat keluar!”

Suara bariton dibalik pintu itu terdengar berat. Sahara mengenalnya, dia hafal dengan suara dingin pria itu. Terlebih hanya Sagara yang berani memanggilnya bocah ingusan.

“Buka pintunya, apa kau mati didalam sana, eh?” Sagara terus menggedor daun pintu itu dengan kasar.

Rahang pria itu mengeras, dia bersumpah dalam hati, akan membuat gadis itu menderita karena berani bermain-main dengannya. Dia berniat hendak kembali memaki orang didalam sana, namun pintu itu terayun membuka.

Sagara membeku, melihat Sahara melangkah keluar. Tidak. Gadis itu bukan Sahara.

Gadis itu cantik dan anggun, juga terlihat dewasa. Kalau Sagara tidak menelisik dengan cermat dia pasti akan percaya bahwa gadis itu bukan Sahara. Maka dia memilih tidak percaya.

“Terpesona 'kah?” Sahara tersenyum mengejek. Dia menarik kedua alisnya ke atas dan kebawah. Menggoda pria yang masih menatapnya begitu lekat.

Sagara mengerjapkan kedua matanya, demi mengembalikan kewarasan. Dia tercengang, kenapa bocah ingusan itu bisa berubah menjadi gadis anggun dan dewasa. Sahara memiliki kecantikan alami, tanpa riasan pun dia terlihat cantik. Sagara melirik senyum mengejek itu, dia mendengus sebal.

“Terpesona bokongmu!” Dia lebih memilih mengumpatinya daripada memuji.

Sagara kembali ingat akan kekesalannya. Dia datang ke ruangan itu hanya untuk menempeleng kepala bocah itu. Namun dia tidak sampai hati melakukannya ketika melihat Sahara, bocah itu, berubah menjadi cantik dimatanya.

“Kau tahu tidak? Akibat mulut kecilmu yang sembrono itu. Pernikahan ini justru dipercepat!” Geram pria itu, darahnya kembali mendidih bercampur kemarahan.

Tentu Sahara tersentak mendengar kabar itu, dia sendiri tidak tahu apa ini akan menjadi hal yang baik atau buruk baginya. Dia cepat-cepat memasang wajah menyebalkan.

“Oh, ya?” gadis itu melipat santai tangannya diatas perut. Masih mempertahankan senyum mengejek.

Alis Sagara terangkat sempurna, cukup terganggu dengan kesan santai gadis itu. Dia berpikir keras, apalagi yang direncanakan Sahara?

“Apalagi yang kau rencana?” Sagara bertanya dengan suara sekelam malam. Dia menatap nyalang bocah ingusan itu.

“Tidak ada” jawab Sahara dengan jujur. Dia memang tidak merencanakan apapun. Gadis itu hanya memutuskan untuk bagaimana dirinya akan bersikap.

“Kau jangan bermain-main denganku, bocah!” Sagara menggertak dari sela-sela giginya. “Atau kau akan menyesal...”

Sahara memutar bola matanya dengan malas, dia berdacak pinggang. Balas menatap tajam lelaki didepannya.

“Kenapa kau sekeras ini? Menikah itu 'kan enak!”

“Eh?”

Sagara terkejut mendengar ucapan bocah ingusan itu. Dia tidak menduga, benar-benar tidak menduga Sahara akan mengeluarkan kata-kata sevulgar itu. Gadis gila. Benar-benar gila. Pria itu mengumpat berkali-kali.

****

Pernikahan ini digelar tertutup, hanya mengundang keluarga dan kerabat dekat. Sagara bahkan tidak memberitahu Maria, kekasihnya itu pasti akan membunuhnya jika tahu dia menikah hari ini. Walau Maria sempat menolak untuk menikah, Sagara yakin mereka saling mencintai. Dia akan menjelaskan hal ini pada kekasihnya nanti.

“Om...” Sahara menekan jari telunjuknya pada lengan Sagara dengan pelan.

“Welcom to my life!” seru gadis itu tersenyum konyol.

Sagara melirik gadis disampingnya. Dia tersenyum sinis, memiringkan sedikit kepalanya lalu mendekatkan bibirnya ke daun telinga gadis itu untuk berbisik.

“Welcome to hell, gadis kecil...” desisnya tanpa perasaan.

Sahara bergidik, dia menjauhkan kepalanya dengan cepat. Padahal gadis itu hanya berniat menggodanya saja. Namun dia sudah menduga jika lelaki yang kini berstatus sebagai suaminya akan memasang wajah garang, tapi dia tidak menyangka akan semenyeramkan itu. Jadi Sahara lebih memilih untuk menjauh senejak, menyambut tamu-tamu yang memberikannya doa dan selamat.

“Ra...”

“Iya, Mi?” gadis itu menoleh pada suara yang menyebut namanya.

Kedua orang tuanya itu mendekat padanya. “Mana Saga?”

“Disana” jari telunjuk Sahara mengarah kepada pria jangkung yang menyapa para tamu.

“Ayo kesana” ajak Papi Brata, memimpin langkah. Anak istrinya mengikuti di belakang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status