Share

Bab 2. Diadu Domba

Edwin beralih ke history call. Ada beberapa panggilan tak terjawab dari dua nomor.

“Ratmi miss call, terus ... Galang? Ada urusan apa dia?“ gumam Edwin, seraya mengerutkan kening.

Terdengar notifikasi pesan dari Galang, berisi alamat lengkap rumah sakit tempat Audrey melahirkan, dan juga nama serta nomor ruang rawat inapnya.

Edwin jadi semakin bingung. “Kenapa bisa Galang yang share lock?“

Tanpa pikir panjang, Edwin berlari ke garasi, mengendari mobilnya menuju rumah sakit. Timbul berbagai pikiran negatif tentang Galang.

“Apa kau mau merusak hubungan pertemanan kita hanya karena seorang wanita?" Edwin teriak-teriak sendiri.

Dia melajukan mobil semakin cepat. Tiba-tiba terbayang saat Galang mengatakan sesuatu padanya.

**

Satu tahun yang lalu. Edwin akan berangkat bulan madu di sebuah vila puncak bukit bersama Audrey. Mobil telah disiapkan, dan Audrey sedang menunggu di dalamnya. Dua koper besar sudah dimasukkan ke bagasi.

Tiba-tiba, Galang menemui Edwin yang sedang mengunci pagar rumahnya.

“Edwin! Bisa kita bicara sebentar?“ tanya Galang.

"Ada apa?“ Edwin merasa sangat heran.

Mereka berdua berjalan ke sebuah kursi di taman yang agak jauh dari rumah Edwin.

“Mau bicara apa? Sepertinya penting sekali.“ Edwin semakin penasaran.

“Maafkan aku, harus mengatakan hal ini,” kata Galang.

Edwin mengerutkan dahi. “Apa?"

“Aku baru sadar, kalau aku mencintai Audrey,” ujar Galang, sambil menunduk.

“Apa kamu bilang? Bukankah kamu sendiri yang mengenalkanku padanya?“ Emosi Edwin mulai tersulut.

“Maaf, tapi aku menyadarinya, baru kemarin. Setelah kalian menikah. Kau belum menyentuh Audrey, kan? Tolong, ceraikan dia. Biarkan dia menikah denganku,” pinta Galang, memelas.

“Hah? Apa kau sudah gila?“

Galang menggeleng cepat. “Tidak. Aku tidak gila.“

“Aku sangat mencintai Audrey. Jangan coba-coba merebutnya dariku! Masih banyak wanita lain,” jawab Edwin, mencoba bersabar.

“Sudah kucari, tak ada yang istimewa seperti Audrey. Aku lebih bisa membahagiakan dia!“ sahut Galang.

“Omong kosong! Aku sudah sah menjadi suaminya. Jangan rusak pertemanan kita hanya karena Audrey!" seru Edwin, lalu berlari ke mobil, meninggalkan Galang.

**

Edwin sampai di rumah sakit. Dia segera menuju ruangan Audrey dirawat.

“Galang!“ seru Edwin, menghampiri temannya yang sedang terduduk lesu.

“Tunggu! Aku bisa jelaskan!“ Galang mengangkat satu telapak tangannya ke hadapan Edwin.

Suami Audrey tak mengindahkan permintaannya. Dia langsung menarik kerah baju Galang, dan melirik pada Ratmi yang sedang ketakutan.

“Kenapa dia bisa ada di sini?“ tanya Edwin, dengan muka merah.

Galang berdiri, sambil menarik napas panjang.

“Itu. Nyonya Zofia yang menelepon Pak Galang,” jelas Ratmi.

“Aku tidak percaya! Pasti dia yang sok pahlawan aja!“ Edwin menarik tangan Galang keluar ruangan, menuju taman.

Di balik tembok yang agak jauh dari mereka, ada seorang pria bernama Evan yang sedang tersenyum puas.

Evan menelepon Zofia. “Mama dan Sinta telah berhasil mengadu domba Edwin dan Galang. Sebentar lagi Edwin pasti akan memarahi Audrey, karena dibakar api cemburu.“

“Bagus. Terima kasih, Evan. Kamu memang anak sulung Mama yang paling ganteng!“ujar Zofia, puas.

“Apa aku harus melakukan tugas selanjutnya, Ma?“ tanya Evan.

Zofia menjawab, “Ya. Masalah kantor, biar Papa yang urus.“

“Baik, Ma.“ Evan yang memakai jas dan pakaian kantor rapi, mengikuti Edwin dan Galang ke taman.

**

Di taman, Edwin langsung menghajar Galang di bagian wajah.

Galang melangkah mundur dengan cepat, sambil mengeluarkan ponselnya. “Ini … ini buktinya! Bu Zofia yang meneleponku.“

Edwin mengerutkan kening, lalu merebut ponsel Galang. Dia menelepon Mamanya, dan langsung diangkat.

“Halo, Galang! Gimana? Audrey sudah ditangani sama dokter, kan? Makasih banget, ya! Kamu memang baik sekali. Maafkan, tadi saya sedang keluar rumah,” kata Zofia panjang-lebar, membuat Edwin membelalakkan matanya.

“Lain kali, pikirkan sebelum berbuat! Aku hanya menolong Audrey. Ke mana saja kamu? Sampai-sampai kantor lebih penting daripada istri sendiri!“ seru Galang, lalu merebut ponselnya, dan melangkah ke garasi.

Edwin semakin terbakar cemburu, dan segera menelepon Zofia. “Ma! Maksud Mama apa, malah minta bantuan Galang? Aku suaminya!“

“Tanya aja sama Ratmi! Apa kamu sudah dihubungi sama pembantu itu? Sudah tahu Mama nggak suka sama Audrey!“ kesal Zofia, buru-buru menutup telepon.

“Huh! Ya Allah, berikan kesabaran untuk hamba," kata Edwin, lirih, lalu pergi ke ruang rawat Audrey.

Evan yang dari tadi mengintip, mengikuti Galang.

“Galang! Tunggu dulu!“ panggil Evan.

Pria itu menoleh “Ada apa? Kamu kakaknya Edwin, kan?“

Evan mengangguk. “Iya. Bisa kita bicara sebentar?“

**

Evan dan Galang duduk berhadapan di sebuah kafe dekat rumah sakit.

“Terima kasih karena kau telah menyelamatkan Audrey. Kami tidak tahu apa yang terjadi padanya, seandainya kau terlambat sedikit saja,” kata Evan, pura-pura khawatir pada adik iparnya.

Galang menyunggingkan senyum tipis. “No problem. Aku hanya mencoba jadi teman yang baik untuknya.“

“Teman? Yakin hanya ingin 'berteman' saja dengan Audrey?“ Evan memancing lawan bicaranya.

“Iya, teman. Mungkin, dulu kami itu bos dan sekretarisnya. Setelah dia resign, jadi teman,” jawab Galang.

Evan menelisik raut wajah Galang. “Kau tidak ingin berhubungan lebih jauh dengan Audrey? Aku lihat, sepertinya ada perasaan lain dalam hatimu.“

“Aku memang mencintainya, tetapi sudah tak mungkin lagi memilikinya.“ Galang tampak putus asa.

“Hei! Kau masih punya kesempatan. Aku bisa membantumu mendapatkannya, karena keluarga kami tidak menyukai orang miskin seperti dia."

Sontak Galang menarik kerah baju Evan. “Apa maksudmu? Kalian mau membuang Audrey, dan menyuruhku mengambilnya? Aku tidak mau mengotori tanganku, jika bergabung dengan orang licik sepertimu!“

Evan terbelalak, karena reaksi Galang jauh dari ekspektasinya. “Tunggu! Aku bisa jelaskan!“

“Sudah! Gak ada waktu buat bicara sama penghina sepertimu! Harta nggak dibawa mati! Jangan merasa lebih!“ sahut Galang, dan berlalu pergi.

“Keras kepala!“ kesal Evan, sambil menggebrak meja.

**

Edwin menemui istrinya. “Assalamualaikum. Maafkan, tadi aku sedang meeting. Ponselku dipinjam Kak Sinta."

Audrey memalingkan wajahnya. "Wa'alaikumussalaam. Sepenting itu, ya, urusan kantor? Sampai lebih utama daripada istri.“

“Maafkan aku. Aku tidak memegang ponsel, klienku pagi ini tak mau ada suara mengganggu selama rapat,” bela Edwin.

“Apa kamu tahu anak kita hampir tidak selamat kalau aku masih pingsan di kamar mandi?" sergah Audrey, “aku hampir kehilangan nyawa, kalau saja Galang ….“

“Galang kenapa?“ potong Edwin, dengan muka merah.

Audre menatap ke arah Edwin. "Galang tidak datang menjemput, karena kedua orang tuamu tak peduli sama sekali.“

“Terus saja bela pria itu!“ Edwin mundur sedikit.

“Kamu jangan ngomong gitu! Aku pingsan. Mana bisa memilih mau dijemput siapa?“ Audrey membela diri.

Edwin menyahut, "Sudah, lah. Mungkin Galang ingin merebutmu dariku."

"Maksudnya?" tanya Audrey.

“Galang mencintaimu!"

Sontak ucapan Edwin membuat Audrey tercengang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status