“Ratmi! Mi! Tolong aku!“ teriak Audrey dari toilet di dalam kamarnya. Dia adalah istri Edwin dan kini sedang hamil sembilan bulan. Seorang ART bernama Ratmi tergopoh-gopoh naik ke kamar utama. “Iya, Nyonya! Ada apa?“ “Sini, Rat! Bantu aku!“ teriak Audrey lagi. Tanpa pikir panjang, Ratmi masuk dan mencari majikannya. “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun. Nyonya!“ Ratmi terbelalak melihat Audrey yang terjatuh di lantai kamar mandi. Audrey mengaduh kesakitan. Beberapa menit kemudian, pingsan. “Nyonya! Aduh, gimana ini?“ seru Ratmi dengan panik, apalagi dia melihat ada darah yang mengalir di punggung kaki majikannya, yang memakai celana panjang. “Telepon Tuan Edwin!“ gumamnya sendiri, lalu menelepon tuannya. Tak ada jawaban. Edwin sedang bekerja di kantor, karena dia adalah CEO PT. Makmur Sejahtera. Mungkin saja ponselnya sedang dalam mode hening.“Ya Allah!“ Ratmi mondar-mandir. “Apa minta bantuan Tuan Juna atau Nyonya Zofia, ya?“ gumam Ratmi, menyebut kedua orang tua Edwi
Edwin beralih ke history call. Ada beberapa panggilan tak terjawab dari dua nomor.“Ratmi miss call, terus ... Galang? Ada urusan apa dia?“ gumam Edwin, seraya mengerutkan kening. Terdengar notifikasi pesan dari Galang, berisi alamat lengkap rumah sakit tempat Audrey melahirkan, dan juga nama serta nomor ruang rawat inapnya. Edwin jadi semakin bingung. “Kenapa bisa Galang yang share lock?“ Tanpa pikir panjang, Edwin berlari ke garasi, mengendari mobilnya menuju rumah sakit. Timbul berbagai pikiran negatif tentang Galang. “Apa kau mau merusak hubungan pertemanan kita hanya karena seorang wanita?" Edwin teriak-teriak sendiri.Dia melajukan mobil semakin cepat. Tiba-tiba terbayang saat Galang mengatakan sesuatu padanya.** Satu tahun yang lalu. Edwin akan berangkat bulan madu di sebuah vila puncak bukit bersama Audrey. Mobil telah disiapkan, dan Audrey sedang menunggu di dalamnya. Dua koper besar sudah dimasukkan ke bagasi. Tiba-tiba, Galang menemui Edwin yang sedang mengunci pagar
“Tahu dari mana kamu?“ tanya Audrey, dengan suara melemah, dan mulai meneteskan air mata.“Dulu, dia bilang seperti itu saat kita akan berangkat bulan madu. Galang memintaku untuk menceraikanmu, karena baru sadar punya rasa sama kamu setelah kita menikah!“ jelas Edwin, membuat Audrey sangat kaget.“Tidak mungkin!“Edwin berbalik badan, hendak pergi. “Itu kenyataannya, Audrey. Apa pun yang terjadi, aku akan tetap mempertahankanmu.“Audrey menelan salivanya sendiri. “Mengapa jadi seperti ini?““Entah. Yang jelas, aku masih sangat cemburu karena kejadian tadi.“ Edwin melangkah menuju pintu.“Aku tak tahu. Mungkin ini semua rekayasa dari Mamamu?“ seru istrinya, dengan suara serak.“Maafkan aku. Sepertinya kita butuh waktu untuk menjaga jarak,” sahut Edwin.Audrey menitikkan air mata. “Aku baru saja melahirkan, dan kamu mau pergi? Bahkan kamu belum melihat bayi itu sama sekali.“Edwin diam saja, lalu pergi meninggalkan ruang rawat inap istrinya. Dia merasa gagal menjadi imam yang baik, sek
"Aku sudah menikah dengan Audrey, Ma! Bukankah pernikahan itu akan terjadi, sekali saja seumur hidup?“ Mata Edwin melotot, tampak menakutkan sekali. “Masih ada kemungkinan. Mama ingin kamu cerai sama dia! Anaknya sudah lahir, kan?“ bentak Zofia. Edwin menggeleng, tak percaya dengan ucapan Zofia. “Tega Mama bilang seperti itu? Aku tidak akan menceraikan Audrey! Aku sangat mencintainya.“ “Percuma! Dia tak akan percaya lagi padamu. Lagi pula, siapa yang bisa mengira kalau ini akal-akalan Mama saja dengan Athena?“ Akhirnya Zofia mengaku. “Aku yakin dia lebih percaya padaku,” sahut Edwin, lalu melangkah mundur. “Semua sudah aku rekam, Ma.“ CEO itu menunjukkan layar ponselnya. Zofia melotot, rencananya untuk menciptakan fitnah dalam rumah tangga Edwin mungkin akan gagal lagi. ** Rumah sakit tampak sepi. Bau obat-obatan begitu menyengat. Langkah kaki Edwin sangat cepat, tujuannya hanya satu. Ruangan Audrey. “Assalamualaikum!“ salamnya seraya memutar knop pintu, tetapi terkunci. Edwi
Tak berapa lama, mereka sampai di rumah Fandi dan Lia--orang tua Audrey--yang berada di sekitar persawahan. Mereka disambut dengan hangat. “MaasyaaAllaah. Cucuku. Sini-sini, Sayang,” sambut Lia, langsung merebut bayi yang digendong Ratmi. Setelah menyalami Audrey dan Edwin, Fandi tersenyum lebar ke arah cucunya. “Betapa lengkap kebahagiaan kita, Bu.“ Lia menoleh ke arah suaminya, sambil mengangguk dengan raut wajah sumringah. Edwin dan Audrey tampak kikuk, karena rumah tangga mereka baru saja terguncang. Apakah itu yang disebut dengan bahagia? Lebih baik merahasiakannya dari kedua orang tua, pikir Audrey. Ratmi masuk membawa tas besar berisi pakaian kotor milik majikannya. “Permisi, Bu. Saya izin mencuci di belakang, ya.“ “Iya. Pakai mesin cuci saja, Rat!” saran Lia. “Baik, Bu,” sahut Ratmi sambil tersenyum, yang memang sudah akrab dengan orang tua Audrey. “Edwin, mesin cuci yang kamu belikan, masih bagus sampai sekarang.“ Lia tersenyum pada menantunya. “Alhamdulillaah, Bu.“
Lia terbangun setelah beberapa saat. Dia dibaringkan di kursi ruang tamu oleh Fandi dan Audrey.“Bu! Ibu sudah sadar?“ panggil Fandi, tak sabar melihat keadaan istrinya.Audrey mengusap air matanya. Dia sedih sekaligus panik kalau sampai ibunya sakit, karena kejujurannya tadi.“Iya, Pak. Aku ….“ Lia mengumpulkan kesadaran dalam beberapa menit, lalu ingat tentang kenyataan kalau Audrey telah dicampakkan oleh keluarga besannya.“Ibu … maafkan aku, terpaksa jujur. Seharusnya, aku bisa menutupi keburukan keluarga suamiku, dan menghadapi masalah sendiri, tanpa melibatkan Ibu dan Bapak,” keluh Audrey, merasa bersalah.Lia menggeleng cepat, sambil menangkupkan kedua tangannya di pipi sang putri. “Tidak, Nak. Kamu tidak salah. Ibu hanya syok, anak yang kami besarkan dan kami rawat dengan sangat baik … bisa-bisanya diperlakukan seperti ini! Ibu tidak terima, Nak!"“Sudah, Bu. Sabar, sabar!“ pinta Fandi, yang sepertinya tak didengar oleh Lia.“Pak, bagaimana Ibu bisa sabar? Mereka nggak pernah
“Ada apa, Bu?“ tanya Ratmi yang baru selesai Salat Subuh dan hendak mencuci.Audrey menyembunyikan anting-anting itu di balik sakunya. “Enggak apa-apa, Rat. Jasnya Mas Edwin yang ini nggak begitu kotor. Lagi pula mencucinya pakai tangan, besok aku aja, ya.“"Oh. Iya, Bu.“ Ratmi mengembangkan senyum di bibirnya.“Ya udah, tolong rebuskan air untuk minum!“ perintah Audrey, lalu berjalan ke kamar.Audrey mendapati suaminya sedang mengelus rambut Dianti dengan penuh kasih sayang.Perempuan itu menarik napas panjang, lalu mengembuskannya kembali. Berusaha untuk menepis pikiran negatif yang sempat muncul.“Mama datang, Sayang!“ seru Edwin, yang melihat kedatangan istrinya, lalu kembali memperhatikan Dianti.Langkah Audrey semakin mendekat. “Mas, aku mau tanya sesuatu.““Tanya apa?“ Edwin mengerutkan dahi.“Kamu beli anting?“ tanya Audrey, sambil duduk di samping Edwin.“Anting? Enggak,” jawab suaminya, dengan mengerutkan dahi.Audrey menunjukkan anting di tangannya. “Aku menemukan ini di ka
Edwin tersadar dari lamunannya, lalu menyusul Audrey ke kamar. Namun, pintunya tertutup."Sayang! Tolong buka pintunya! Aku mau bicara," panggilnya, sambil mengetuk-ngetuk pintu."Mau bicara apa lagi, Mas? Aku butuh waktu sendiri!" sahut Audrey, dengan suara serak.Edwin menarik napas panjang, lalu mengembuskannya kembali. "Aku mau siap-siap ke kantor."Tak berapa lama, Audrey membuka pintu, lalu langsung berlari dan berbaring di kasur dengan menangkupkan bantal di wajahnya.Edwin menyiapkan segala keperluannya sendiri, karena tahu Audrey sedang sedih dan tak mau diajak bicara.Setelah selesai mandi dan berpakaian rapi, dia sarapan sendiri tanpa Audrey.Makanan memang sudah disiapkan oleh Ratmi, tetapi terasa sepi karena tak ada sang istri yang menemani.Edwin segera berangkat ke kantor seperti biasa. Dia menyapa para karyawannya, lalu masuk ke ruangannya. Di tengah-tengah bekerja, dia memikirkan kejadian kemarin.“Aneh. Kenapa anting itu bisa ada di kantong jasku, ya? Lagi pula, aku