Share

Akibat Satu Malam dengan Tuan Muda
Akibat Satu Malam dengan Tuan Muda
Author: R. Sheehan

Hamil Akibat Dibius Obat

Lorong rumah sakit tampak lengang, hanya satu dua orang perawat saja yang lewat di depan seorang wanita muda itu. Setiap kali seseorang lewat di depannya, wanita itu memiliki wajah malu dan diam-diam menunduk dengan tenang. Seolah keberadaannya tidak ingin diketahui.

"Nomor antrian 08 ..."

Tiba-tiba suara wanita memanggil sebuah nomor dan wanita muda itu lantas bangun dari duduknya. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, wanita itu mengikuti sang perawat masuk ke dalam ruang pemeriksaan.

Di dalam, seorang dokter wanita memakai kacamata sedang duduk di mejanya. Sang perawat yang bertugas mengantar berdiri di samping, mendengarkan dalam diam dan hanya bergerak jika dokter itu memanggil.

Shena mencengkeram kedua tangannya demi mengalihkan gugup. Sepasang matanya bergerak liar saat dia menunggu dokter di depannya bicara. Dengan patuh, dia menjawab pertanyaan sang dokter sebelum kemudian dia di suruh berbaring di brankar.

Beberapa menit kemudian setelah pemeriksaan, Shena berubah semakin pucat wajahnya setelah mendengar apa kata dokter. Dia pergi dari sana dengan langkah terhuyung. 

"Selamat Nyonya, Anda hamil, tiga bulan."

Hamil? batin Shena sangat terkejut. Sepanjang perjalanan ke luar dari rumah sakit dia melamun, masih belum percaya dengan kenyataan yang baru saja dirinya dengar. Tanpa sadar tangannya menyentuh perut datarnya yang kini terdapat nyawa lain di dalam sana. 

B-Bagaimana ... bagaimana bisa ini terjadi? Dalam kebingungannya ia kemudian teringat akan kejadian beberapa bulan lalu. Di mana pada malam itu dia menghabiskan satu malam berguling-guling di tempat tidur dengan seorang pria. 

Ruangan di dalam kamar hotel itu tampak remang-remang. Cahaya kuning di dekat kepala tempat tidur memantulkan siluet dua orang yang tumpang tindih di atas tempat tidur.

Shena menatap linglung dan tak fokus pada laki-laki di atas tubuhnya. Sesekali, ia melakukan dengan patuh perintah sang lelaki asing yang kini menindih tubuhnya.

"Kau tak seharusnya minum obat perangsang hanya untuk sekedar memuaskan aku," bisik lelaki tampan itu dengan suara rendah didekat telinga.

"A-Aku tidak," 

"Jika tidak lalu kenapa tubuhmu sensitif begini?" Ada suara tawa dari pria asing itu saat pertanyaan kembali terlontar. Dan dijawab oleh Shena dengan lenguhan panjang tatkala kulit lehernya kembali dicumbu. 

Seluruh tubuhnya bergetar, campuran senang dan takut saat seragam kerjanya yang terakhir dilepas.

Shena yang memiliki firasat buruk begitu  bawahannya dilepas, kemudian menghentikan tangan pria itu dari melucutinya. "Jangan," katanya sedih dengan mata hampir menangis.

Ia tahu apa yang akan terjadi pada dirinya setelah ini, apabila terus melanjutkan kegiatan mereka. Namun meski dia tahu bahwa semuanya terasa salah, ia tak bisa memberikan penjelasan yang jelas pada laki-laki asing itu yang telah salah menilainya sebagai wanita penghibur.

Mahendra mengerutkan alisnya, jelas tidak suka dengan penolakan wanita dibawahnya. "Sekretarisku sudah membayar mahal dirimu, dan sekarang kau tidak mau melayani aku?"

Shena menggelengkan kepalanya, "T-Tuan ... Anda pasti salah paham--"

Namun sebelum dia menyelesaikan ucapannya, mulut mungilnya kembali ditelan pria itu. Sepasang mata tak fokus itu membelalak terkejut, satu tangannya yang tadi menyentuh dada sang pria berjuang mendorong tapi kekuatannya tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan pria dewasa tersebut.

Setelah ciuman panas keduanya, Shena bernapas tersengal-sengal dan Mahendra mulai kembali memberikan ciuman keras di kulit yang telanjang. Tidak memedulikan rintihan sang wanita dan tangisannya saat penolakan dan kejujuran dari tubuh dalam pelukannya menggodanya.

 Malam itu seorang gadis tak bersalah telah kehilangan harta berharganya hanya karena skema licik rekan kerjanya.

Ketika Shena kembali pada kenyataan, ia dikagetkan dengan suara teguran orang lain yang baru saja hampir menabraknya.

"Kalau mau melamun, jangan disini. Sudah tahu jalan umum, tapi bersikap bodoh tak punya otak!"

"Maafkan saya,"

Shena yang tahu kesalahannya hanya bisa meminta maaf pada wanita pejalan kaki yang memakinya. Ia kemudian melanjutkan langkahnya keluar dari rumah sakit.

Dalam perjalanan ke tempat kosnya, sebuah sedan berwarna hitam melewatinya. Duduk didalamnya seorang pria yang beberapa bulan lalu telah menghabiskan malam dengan wanita tersebut.

***

Seorang wanita berusia hampir lima puluhan tampak sibuk di dapur menyiapkan makan malam. Wanita itu tidak menyadari kedatangan putri sulungnya yang kini berdiri tak jauh di belakangnya.

Shena yang baru saja tiba di rumah setelah menghabiskan waktunya di taman umum lantas memutuskan pulang saat matahari mulai terbenam. 

"Ma." panggilnya lembut dengan senyuman. 

Mendengar suara akrab itu, Hera berbalik. Senyum keibuan tertampil di wajah tirusnya tatkala dia dapati sang putri telah pulang. "Shena, kau mengejutkan mama. Tumben sekali pulang sangat awal. Apakah pesta ulang tahun temanmu sudah selesai?"

Tadi siang, Shena berpamitan pada sang ibu akan pergi ke rumah temannya yang sedang berulang tahun. Tentu saja alasan yang dibuatnya itu bohongan. Karena tak mungkin Shena berkata jujur pada sang ibu kalau dia akan pergi ke rumah sakit untuk memastikan tebakannya dalam beberapa hari belakangan.

Saat Shena berjalan mendekat dan duduk di kursi, rasa sesak kembali menghantam dadanya. Mati-matian dia menahan tangisnya saat keinginan menyuarakan kebenaran tentang kehamilannya pada sang ibu begitu membuncah. Tapi dia seperti biasa harus menelan sendiri segala kesedihan dan kemalangan yang dia alami.

Dengan kondisi kesehatan sang ibu yang buruk, tak mungkin baginya membeberkan kehamilannya di luar nikah pada wanita tersebut. 

Siapa yang dapat menduga, bahwa gadis baik-baik, yang tidak pernah neko-neko dan jarang sekali terlibat dengan laki-laki harus mengalami kemalangan seperti itu. Hamil diluar nikah. Jika ibunya tahu tentang berita tersebut, bukan saja kecewa, kemungkinan ibunya sekarat pastilah tak terhindarkan.

Melihat Shena sedang melamun, Hera menjitak kening sang putri.

"Aduh." 

"Apa yang kau lamunkan? Sampai-sampai tidak menjawab pertanyaan mama," Hera menegur Shena seraya meletakkan sup panas di atas meja. 

Aroma harum kaldu ayam menyebar ke ruangan dan itu membuat perut Shena bergejolak, mau muntah. 

"Shena?"

"A-Aku perlu ke kamar mandi. Sebentar Ma," ucapnya terdengar buru-buru sebelum kemudian pergi meninggalkan Hera seorang diri di dapur.

Merasa khawatir dengan tingkah Shena yang tak biasa, Hera pun mengikuti langkah Shena yang dilihatnya telah menghilang di dalam kamar mandi. Pintu tertutup rapat saat dia mendekat dan suara air yang mengalir hanya bisa didengarnya dari posisinya berdiri.

"Shena, apa yang terjadi? Kau tidak apa-apa kan?" tanya wanita itu khawatir.

Tepat saat Hera mengajukan pertanyaan, seorang pemuda yang sedang menenteng tas di tangan kirinya memanggil. "Ma, apa yang kau lakukan di sana?"

Hera berbalik, raut wajahnya yang cemas tidak disembunyikannya untuk dilihat sang putra. "Ada kakakmu di dalam. Mama khawatir padanya karena wajahnya tadi tampak pucat."

Edwin tertegun, bolak-balik ia menatap pada pintu yang tertutup dan sang ibu. Tiba-tiba ia teringat dengan kejadian tadi siang dimana dia melihat kakak perempuannya baru saja keluar dari rumah sakit. Dan ruangan dimana kakak perempuannya keluar merupakan ruangan dimana seorang pasien berniat melakukan pemeriksaan kandungan.

"Jangan-jangan ...?" pikir Edwin berekspresi buruk.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status