"Assalamualaikum.""Waalaikumsallam."Faqih menyambut kedua sepupunya yang baru saja datang berkunjung. Dengan kaki yang tak lagi pincang, dia menuntun Akmal dan Hafiz masuk, lalu menjamu mereka seadanya karena kebetulan Suci memang ada jadwal mengisi materi akhir pekan ini."Om Fariz ke mana, Qih?" tanya Hafiz. Pandangannya menyapu sekeliling rumah sederhana milik orang tua Suci yang hampir sebulan keluarga Omnya tempati."Ada, tuh di kamar. Nggak tahu dah si Bapak ngapain? Begitu Ibuk pergi dia nggak keluar-keluar, padahal toko udah seharusnya buka dari tadi.""Bapak bisa denger, Faqih ...!" Terdengar suara teriakan Fariz dari dalam kamar. "Bapaknya lagi sibuk bukannya dibantuin, malah lu omelin."Faqih nyengir, lalu mengusap tengkuk. "Faqih tahu Bapak lagi ngapain juga enggak," elaknya."Bapak lagi packing. Dahlah, lu kasih orson atau teh manis aja dulu tuh anak berdua. Bentar lagi bapak kelar," titahnya kemudian."Iya, ini juga lagi." Faqih berlalu ke dapur dan kembali dengan nam
"Kalau dalam kurun waktu satu tahun dia masih belum juga datang, Suci janji bakal nerima siapa pun yang datang melamar."Tak pernah kubayangkan sebelumnya. Nazar yang terucap setahun silam malah berubah menjadi bumerang yang menghadang, kala satu-satunya lelaki yang menjanjikan surga di ujung penantian, justru tak kunjung datang. Harapan yang berkian tahun kugantungkan pada akhirnya berakhir kekecewaan.Di sisi pembaringan, dari balik jendela kenangan. Wajah teduhnya masih lekat dalam ingatan, suara beratnya masih terngiang memintaku menunggu untuk sebuah kepastian. Kepastian yang berubah menjadi ketidakpastian, ketidakpastian yang berakhir menjadi perpisahan paling menyakitkan.Hari telah berganti pekan, pekan berganti bulan, sampai tak terasa lima tahun penantian umurku sudah menginjak dua puluh delapan. Entah sudah berapa banyak lelaki yang datang, entah sudah berapa kali berbagai macam bentuk pinangan kuurungkan. Sampai hari itu akhirnya tiba, hari di mana ikatan yang berkian tahu
"Astagfirullahaladzim." Kulihat Mas Fariz putar balik ke kamar mandi sembari mengalihkan pandangan saat melihatku telentang di atas ranjang dengan pakaian kekurangan bahan."Kenapa, Mas? Bukannya ini yang tiap lelaki inginkan setelah pernikahan disahkan." Aku beranjak, duduk bersandar di kepala ranjang, menatapnya dengan nyalang."I-ya nggak salah, sih. Ta-tapi ... duh, Ci, please pake baju lu sekarang! Daripada masuk angin entar." Dia melirik sesekali. Curi-curi pandang walaupun aku tak yakin hal itu cukup mampu untuk menyembunyikan wajahnya yang telah berubah merah padam."Saya udah pake baju, Mas." Aku bangkit berdiri, lalu perlahan menghampiri."Itu bukan baju, Ci. Tapi, saringan tahu!" pekiknya panik sembari berlari melewati. Dia menyambar selembar selimut, lalu melingkarkannya di tubuhku.Mendengar itu, ada semacam perasaan geli. Tanpa sadar kedua sudut bibirku terangkat. Padahal suasana hatiku sedang tidak baik-baik saja kini. Namun, entah kenapa sejak mengenalnya dua pekan lal
"Yang pertama Candra, anaknya Pak Hilman, orangnya santun, S2 jurusan perguruan. Kalau yang kedua Damar, anaknya temen mancing Bapak, orangnya juga gampang bergaul, murah senyum dan taat juga agamanya. Kalau yang terakhir--" Terdapat jeda cukup panjang. Ibu memeriksa dengan saksama catatan yang ada di tangan, sebelum akhirnya menggeleng pelan. "Kalau yang ini nggak, deh. Kayaknya kamu juga nggak bakalan suka. Katanya orangnya selengean, pernah masuk bui, langganan diuber polisi karena sering balapan liar, rambutnya gondrong dan brewokan, pokoknya beran--""Siapa tadi, Bu?" Interupsiku, memotong penjelasan Ibu, saat mendengar tentang tiga kandidat yang akhir-akhir ini datang melamar."Yang mana?" Ibu mengulang pertanyaan. "Candra atau Damar?"Kini giliran aku yang menggeleng, karena dua nama yang dimaksud bukan orang yang membuatku penasaran."Yang terakhir, yang katanya slengean, rambut gondong dan brewokan. Siapa namanya?" ulangku meng-copy semua penjelasan ibu tentang kandidat terak
"Laper nggak?" Mas Fariz menoleh padaku yang sejak tadi memeluk diri, sembari memerhatikan lalu-lalang orang dan kendaraan yang hilir-mudik di hadapan.Saat ini kami tengah menunggu jemputan sambil duduk di salah satu bangku terminal. Kata Mas Fariz, sopir yang hendak menjemput kami terjebak macet di jalan. "Dikit," jawabku sekenanya."Kalau laper bilang aja laper. Dikit atau banyak intinya sama-sama pengen makan," tukasnya menekankan.Aku menoleh, menatapnya tajam, lalu balik bertanya. "Jadi, saya salah kalau bilang cuma laper dikit? Salah kalau kenyataannya emang nggak terlalu lapar? Mas bisa bedain, kan mana lapar pengen makan, sama laper cuma pengen camilan?""Oke, gue yang salah. Fine!" Mas Fariz mengacak rambut gondrongnya, kemudian mengusap wajah kasar, sebelum memaksakan seulas senyuman. "Gorengan mau?" Dia menunjuk tukang gorengan yang kebetulan gerobaknya hanya berjarak dua meter dari tempat duduk kami."Boleh." Aku mengangguk mengiyakan."Ya, udah, tunggu bentar."Dia bera
"Ci, kamu yakin mau nikah sama yang modelan begini?" Kualihkan pandangan dari cermin di depan pada Lola--sahabat yang sejak subuh tadi menemaniku didandani. "Tingginya bahkan 189,7 centi. Hampir 190! Nggak kebayang segede gimana ... anu, badannya maksudku." Aku memutar bola mata saat Lola meralat ucapannya sendiri.Tahu akan begini, lebih baik tak kuberi tahu tadi. Biarkan dia melihatnya nanti saat akad beberapa saat lagi."Modelan begini itu gimana, La?" Kujawab pertanyaannya dengan pertanyaan lagi."Rambut gondrong lurus sebahu, bewok penuh semuka dijamin bikin geli. Alis codet sebelah. Spek preman macam ini kamu yakin bisa jadi pengganti Ali?!" Dari balik cermin besar di hadapan. Kutatap tajam mata Lola yang menunduk dibuatnya."Sorry." "Kenapa orang selalu mudah menyimpulkan cuma dari penampilan yang sekilas dipindai?"Ibu satu anak itu diam membisu. "Setidaknya Mas Fariz memberi harapan pasti, daripada dia yang pergi setelah berjanji, tapi ujungnya malah mengkhianati.""Ci!" L
Terkadang, takdir hidup memang begitu lucu. Dua insan yang pernah sedekat nadi, tiba-tiba terpisah sejauh mentari. Saling mengenalkan diri bak orang asing yang tahu posisi. Namun, kadang kala kita juga lupa, mulut mungkin bisa berbohong, tapi hati tidak. Dalam beberapa situasi mulut bisa mengkhiati hati, hingga yang terucap berdasarkan yang diingat, bukan apa yang telah dirancang otak.Dua tahun kebersamaanku dan Mas Ali, tentu membawa kesan tersendiri yang terpatri. Baik-buruk kami sama-sama saling mengetahui. Akan tetapi, apa yang sudah terjadi tak akan pernah bisa dikehendaki, meskipun kini kami saling menghindari.Masa lalu hanyalah bumbu, pelajaran hidup yang tak akan bisa diulang lagi. Saat Mas Fariz mengatakan bahwa dia tak peduli dengan masa laluku, saat itu juga aku kembali berjanji pada diri sendiri untuk tak pernah mengungkitnya lagi."Jawab, Li! Kenapa lu tahu tentang alergi Suci?" Suara tegas Mas Fariz memecah keheningan yang sesaat lalu mengisi ruangan ini. Mungkin sek
"Sorry, bukannya bermaksud mau cari simpati, kenyataannya emang begini." Aku mengangguk sekali lagi, menatapnya lekat nyaris tanpa berkedip. "Lu dengerin nggak, sih, Ci? Dari tadi cuma ngangguk-ngangguk, senyam-senyum udah kayak mainan dasboard." Mas Fariz mengernyitkan dahi. Sepertinya berusaha memindai ekspresi wajahku yang tak dia mengerti."Saya denger, kok. Paham banget lagi. Cuma saking takjubnya sampe kehilangan kata-kata," akuku, dengan senyum yang masih belum sirna.Mas Fariz memalingkan muka. Gerakan yang biasa dia lakukan untuk menutupi kegugupan. Tak seperti tampang yang biasa dia tunjukkan pada orang-orang. Jujur, di hadapanku lelaki ini justru terlihat sangat menggemaskan."Nggak usah ngeledek. Soalnya muka lu sama sekali nggak nunjukkin ekspresi takjub itu.""Emang wajah saya kenapa?" Aku bertanya, sembari beringsut mendekatinya."Cantik, tapi kurang ekspresif. Kadang bibir lu senyum, tapi mata lu enggak. Kosong," tuturnya.Aku tersenyum getir.Itu karena ada luka yang