Share

4. Ingin mengontrak rumah

Author: TrianaR
last update Last Updated: 2023-02-15 13:31:34

Part 4

"Ada apa ini, Dek?" tanyanya sambil menatapku seakan penuh tanya.

Aku hanya terdiam, lidahku terasa kelu. Dan tiba-tiba saja butiran bening ini menetes tanpa kompromi lagi.

"Ibu, kenapa nangis?" tanya Aryan dengan polos. Dia memandang kami secara bergantian.

"Ibu gak apa-apa sayang, ibu hanya merasa sedih. Kakak Aryan main dulu ya, tapi jangan jauh-jauh, jangan gangguin Pak tukang. Main di sebelah sana saja ya, Nak." ucap mas Aris. Dia mencoba mengademkan suasana.

"Baik, pak."

Kemudian bocah kecil itu pergi keluar dengan ekspresi yang ceria.

"Ada apa ini, Dek?" mas Aris mengulangi pertanyaannya. Dia memandangku dengan tatapan serius.

Aku menghela nafas panjang. "Mas, apa sebaiknya kita ngontrak saja?" ucapku perlahan. Aku tidak yakin mas Aris setuju. Karena sebelumnya tiap aku mengajukan untuk mengontrak diluar dia selalu menolak. Alasannya tetap sama, kasihan ibu. Ibu sekarang adalah orang tua kita satu-satunya. Kalau bukan kita yang merawat siapa lagi? Mas Aris yakin, suatu saat ibu pasti akan berubah. Namun sayangnya sudah 6 tahun berjalan ibu tak pernah berubah, apalagi sekarang setelah sepeninggal bapak ibu semakin menjadi. Memang sih, sebelum bapak berpulang beliau berpesan agar aku tetap sabar menjaga ibu, karena tak ada yang lebih telaten merawat bapak dan ibu selain aku.

"Kenapa? Ibu lagi?" tanya mas Aris membuyarkan pikiranku. Dia mengernyitkan keningnya.

Aku mengangguk. "Mas, aku mohon untuk kali ini turuti permintaanku. Aku sudah gak kuat lagi, mas. Kali ini ibu sudah sangat keterlaluan. Sudah 6 tahun, sudah 6 tahun aku mencoba bertahan. Tapi... Tak pernah sekalipun ibu menghargaiku, ibu juga tak pernah menganggap anak-anak kita. Sudah cukup mas, kali ini aku menyerah. Aku bisa gila bila terus-terusan seperti ini."

Air mataku masih berderai membasahi pipi. Ulu hati ini terasa sakiiiit sekali. Sesak dan begitu nyeri di dada.

"Atau kamu mau melihatku gila mas? Atau kamu mau aku... aku... aku...."

Mas Aris langsung mendekapku, berusaha menenangkan gejolak rasa yang sedari tadi bermunculan di dada.

"Sssttt.... Jangan diteruskan lagi, dek. Maafkan mas. Maafkan mas, dek... Mas belum bisa ngasih yang terbaik untuk kamu. Baiklah, mas setuju. Kita akan mengontrak seperti keinginanmu." jawab mas Aris. Dia memegangi tanganku dan menyeka air mataku.

Aku semakin tergugu. Sungguh tak ada yang salah pada lelaki yang sudah menjadi suamiku ini. Hanya saja sepertinya takdir belum menentukan kita bahagia. Kami harus bekerja dengan sangat keras untuk bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.

"Maafkan mas kalau selama ini kurang peduli dengan keadaanmu disana," lanjutnya lagi. Dia meraih Reza yang ada di gendonganku. Menciumi wajahnya dengan lembut dan penuh kasih sayang.

"Kalian sudah makan?" tanyanya lagi.

Aku hanya menggeleng. Dia menghela nafas panjang dan menatapku iba.

"Mas gak tahu kalau kamu begitu tersiksa disana. Baiklah, mas akan coba memperbaiki semuanya. Nanti kita cari kontrakannya ya. Tapi, apa kamu sudah benar-benar siap hidup kekurangan bersama mas?" tanyanya lagi dengan nada getir.

Ia mungkin merasakan kekhawatiran yang sama. Apakah setelah keluar dari rumah ibu kita akan hidup dengan layak? Atau minimal kita tak kekurangan makan? Ah entahlah. Keinginanku selama ini hanya keluar dulu dari rumah ibu. Rasanya telinga sudah tuli karena setiap hari harus mendengar ocehan ibu yang tak ada habisnya.

"Apa selama ini aku menuntutmu, mas? Aku selalu terima seberapapun penghasilanmu, aku terima," jawabku, masih dengan mata yang berkaca-kaca.

"Iya, Dek. Maaf. Ayo kita cari makan dulu. Kasihan kamu sama anak-anak. Kebetulan mas juga sudah gajian minggu ini, niatnya mas nanti sore pulang. Eh malah kamu kesini duluan. Mas izin ke pak mandor dulu ya..." ucap Mas Aris cukup menenangkan hatiku.

Alhamdulillah, Mas Aris mau mengerti perasaan dan kegundahan hatiku selama ini. Ia memang begitu perhatian seperti ini. Biarlah, mudah-mudahan ini menjadi keputusan yang sangat tepat. Asalkan hidup berempat dengan suami dan anak dengan kondisi yang cukup memprihatinkan, setidaknya aku tak mendengar omongan pedas ibu. Itulah yang kupikirkan saat ini.

"Iya, mas."

Setelah izin ke pak mandor, mas Aris kembali bersama dengan Aryan. Lelakiku itu menggandeng tangan putra sulung kami. Dia pun mengajakku untuk keluar dari proyek. Kami berjalan kaki ke warung terdekat untuk membeli makan.

"Bu, apa disini ada kontrakan yang masih kosong?" tanya mas Aris pada ibu pemilik warung.

"Oh ada mas, di kontrakannya pak haji Herman. Tinggal satu pintu yang belum terisi," jawab ibu pemilik warung itu dengan ramah.

"Apa jauh dari sini, bu?" tanya Mas Aris lagi, memastikan dimana lokasinya.

"Gak terlalu jauh kok, mas. Tinggal lurus nanti ada gang belok ke kanan. Tanya aja kontrakan haji Herman, semuanya pada tahu kok."

"Baik, Bu. Terima kasih ya."

Setelah makan siang bersama di warung itu, dengan menu yang sederhana, nasi plus sayur asam dan juga tempe goreng, tak lupa sambal untuk mengganjal perut kami yang sedari tadi keroncongan.

Kami menyusuri jalan yang belum beraspal untuk melihat kontrakan itu. Kontrakan Haji Herman katanya. Akhirnya gak lama kami menemukannya. Memang tidak sulit, kontrakanpun sangat strategis. Bangunannya menghadap ke jalan desa yang cukup ramai dilalui motor dan buat lalu lalang masyarakat.

"Gimana, kamu setuju tinggal disini?" tanya mas Aris setelah kami melihat bangunan di depanku.

Aku mengangguk. Kontrakan 3 petak, ruang tamu, ruang tengah dan dapur kamar mandi, sudah cukup layak buatku dari pada harus tekanan batin terus menerus di rumah ibu.

"Ya sudah, kalau kamu setuju nanti sore kita kemasi baju-baju dan pamitan sama ibu," ujar Mas Aris lagi.

"Baik mas." Kujawab dengan nada mantap.

Mas Aris kembali berbincang dengan pemilik kontrakan.

"Baik Pak, kalau begitu kami sekeluarga mau mengontrak di sini. Rencananya nanti sore mau ambil baju dulu ke rumah."

"Iya, silakan, Mas, dengan senang hati," sahut Pak Haji begitu ramah.

Uang sewanya 500 ribu perbulan sudah dibayarkan langsung oleh suamiku. Alhamdulillah, dalam hati merasa sangat lega.

Tak lama, pemilik kontrakan pun pergi meninggalkan kami.

"Dek, uang mas tinggal segini..." ucapnya sambil menyodorkan selembar uang 100 ribu. "Apa cukup sampai gajian minggu depan?" tanyanya kembali. Dia khawatir kalau kebutuhan kami tak tercukupi. Aku tersenyum getir. Ya Allah, rasanya kasihan sekali jadi suamiku. Mungkin dia pun tengah pusing menghadapi hal ini. Tapi tidak, aku sebagai istri harus menguatkannya bukan?

Aku tahu, gaji mas Aris 600 ribu per minggu. Biasanya, 400 ribu dia berikan kepadaku dan yang 200 ribu dia pegang sendiri untuk biaya makan dan lainnya selama di proyek, serta ongkos untuk pulang ke rumah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku Anakmu Bukan Pembantumu, Bu   52. END

    Bab 526 bulan berlalu ...Alhamdulillah, aku sangat bersyukur, bayiku sudah lahir dengan normal dan sempurna. Seperti yang dibilang dokter, bayi mungilku perempuan. Sekarang usianya sudah dua bulan. Bayi perempuanku yang cantik diberi nama Ayudisa, sesuai dengan parasnya yang ayu.Teringat kembali saat persalinan waktu itu, Mas Aris menemaniku dengan kesabaran dan penuh perhatian. Rona bahagia terpancar di wajahnya. Setelah bayi mungilku lahir. Dia langsung mengadzaninya. "Dek, bagaimana kalau Mas kasih nama Ayudisa Candramaya."Aku tersenyum mendengarnya. Bukankah itu nama yang sangat cantik?"Bagus, artinya apa, Mas?""Kurang lebih artinya dewi nan cantik seperti bulan purnama. Mas cuma berharap, agar kelak dia tetap bersinar dimanapun dia berada, seperti cahaya bulan, walaupun gelap dia akan terus menyinari.""Wow, nama yang sangat indah dan juga cantik.""Seperti kamu. Terima kasih ya dek, sudah memberikan kado yang terindah lagi dalam hidup Mas," ujarnya sembari membelai lembut

  • Aku Anakmu Bukan Pembantumu, Bu   51. Kejutan untuk ibu

    Bab 51Season 2 Part 11"Hueek ... Hueek ..."Pagi-pagi sekali, aku merasa pusing dan mual. Entah kenapa kehamilan kali ini membuatku sedikit kepayahan. Padahal dulu, waktu hamil Aryan dan Reza, aku tak merasakan mabuk seperti ini."Hueek ... Hueek ..."Aku kembali memuntahkan isi perutku yang hanya berisi cairan. Seketika saat membalikkan tubuh, Mas Aris sudah berada di hadapanku dengan tatapan khawatir."Kamu gak apa-apa, dek? Kita ke dokter ya?" ajaknya dengan nada khawatir.Aku menggeleng perlahan. "Kemarin kita udah ke dokter, masa ke dokter lagi sih mas. Kata dokter juga ini normal, kamu gak usah khawatir begitu ah," jawabku lirih."Tapi mas gak tega lihat kamu kayak gini terus."Aku hanya tersenyum. Suamiku itu, dari dulu memang begitu, selalu mengkhawatirkan aku dan anak-anak."Mas, inilah perjuangan seorang istri. Makanya ...""Sudah pasti mas akan selalu menyayangimu, menjagamu, melindungimu dengan sepenuh hati. Begitu pula dengan anak-anak yang sudah kau kandung. Terima ka

  • Aku Anakmu Bukan Pembantumu, Bu   50. Pulang ke rumah ibu

    Bab 50Season 2 Part 10"Ingat ya Zaky, sampai kapanpun ibu takkan pernah menganggap dia sebagai menantu!" ketus ibunya lagi, kemudian dia pergi begitu saja meninggalkan pasangan muda yang masih labil itu."Mas, aku ingin pulang ke rumah ibu. Biarkan aku tinggal di rumah ibu saja. Aku gak mau disini," ujar Arin dengan nada suara yang lirih.Zaky menoleh, ia menatap istrinya dalam-dalam."Kamu gak betah tinggal disini?" tanya Zaky.Arin menggeleng."Apa karena sikap ibuku?"Arin mengangguk ragu."Apa yang dilakukan ibu padamu? Apa kau disuruh mengerjakan semuanya?"Arin terdiam."Ah, sekarang aku paham, kenapa bibi dan mamang tukang kebon diberhentikan dari pekerjaan, ternyata karena alasan ini," ujar Zaky pada dirinya sendiri.Zaky meraih tangan Arin. Tangan yang dulu mulus kini terasa kasar dan memerah. Arin meringis kesakitan."Tanganmu kenapa?""Ini, waktu megang gunting rumput, karena aku gak bisa pakainya, jadi malah bikin tangan lecet," jawab Arin."Apaa??! Kamu bersih-bersih ke

  • Aku Anakmu Bukan Pembantumu, Bu   49. Tak dianggap sebagai menantu

    Bab 49Season 2 Part 9Sementara di rumah orang tua Zaky"Riin... Ariiinn...!" teriakkan ibu mertua mengagetkan Arin. "Hei, jangan malas kamu! Dasar menantu tidak tahu diri!" bentaknya lagi.Arin berlari tergopoh-gopoh menghampiri ibu mertuanya. Dia menunduk, hatinya begitu sakit. Padahal ibunya sendiri tidak pernah memperlakukannya seperti itu."Tuh, cucian piring numpuk!" pekik ibu mertua lagi sambil menunjuk ke arah westafel, banyak tumpukan piring kotor disana. Padahal tadi sudah dia bersihkan sebelum Mas Zaky berangkat bekerja. Kenapa sekarang jadi banyak lagi?"Tapi bu, tadi sudah saya bersihkan. Tapi kenapa....""Jangan membantah! Kau lihat sendiri, bukan?" tunjuk ibu mertuanya begitu culas.Arin hanya mengangguk dan menuruti perintah ibu. "Kalau mau tinggal disini, jangan seenaknya sendiri okang-okang kaki! Kerja! Semuanya gak gratis!" hardik ibu mertuanya lagi.Arin menyesal melihat perlakuan sang ibu mertua yang tak menganggap dirinya sebagai seorang menantu. Baru beberapa

  • Aku Anakmu Bukan Pembantumu, Bu   48. Kehamilan Dewi

    Bab 48Beberapa Minggu berlalu setelah berlibur."Bu, kenapa ibu senyum-senyum sendiri?" tanya Aryan dengan polosnya.Aku tersenyum menanggapi ocehan si kecil. "Iya, nak. Ibu lagi bahagia, bentar lagi kamu mau punya adek bayi," ucapku kemudian."Waah benar kah, Bu? Aryan mau punya adik lagi?" tanyanya dengan polos.Aku mengangguk sambil tersenyum."Aryan ikut senang kalau ibu senang, ibu jangan nangis lagi ya. Asyiik, Aryan mau punya adik lagi," ucapnya lagi dengan sumringah. Aryan lalu mengecup pipiku."Ibu jangan sakit ya, Bu. Aryan gak mau kehilangan adik lagi," kata Aryan masih dengan nada polosnya. Ucapanmu menggetarkan hati ibu, nak."Wah, ada apa nih kalian berdua? Kok kelihatannya senang begitu?" tanya Mas Aris saat menghampiri kami."Pak, Aryan mau punya dedek bayi..." jawab bocah kecil itu sambil tersenyum. Mas Aris beralih memandangku lalu tersenyum. "Wah sepertinya bakalan rame lagi nih, kita nambah anggota baru," sahut Mas Aris sambil sesekali melirik menggodaku."Aryaa

  • Aku Anakmu Bukan Pembantumu, Bu   47. Romansa Aris & Dewi

    Bab 47"Dek, pelan-pelan... Uuh..." ucapnya lirih sambil meringis kesakitan."Tahan dikit lagi ya, mas," sahutku sembari mengobati luka di kaki suamiku. Dia tersenyum. Senyuman yang hangat dan menyejukkan. Mas Aris kembali meraih tanganku, menggenggamnya dan menciumi punggung tanganku."Makasih ya dek, sudah merawat mas dengan baik," ucap Mas Aris.Aku mengangguk. "Cepat sembuh ya, mas.""Iya sayang, I love you," ucapnya lagi yang membuatku tersipu.Beberapa tahun menikah dengannya tetap saja hatiku berdebar-debar ketika dia bilang cinta maupun sayang. Duh.... Tolong kondisikan hatiku."Mas, makan dulu ya,""Boleh, tapi mas mau disuapin sama kamu, dek...""Oh ya ampun, manja sekali suamiku..." ledekku lagi. Dia terkekeh.Aku berlalu ke dapur, mengambilkan makanan yang sudah aku masak tadi. Bahkan ibu, Dani serta Aryan belum pulang. Mereka sedang diajak jalan-jalan sama Mbak Ayu dan Mas Bagas. Sedangkan Arin sudah diboyong oleh suaminya. Ya, di rumah ini hanya kami berdua saja."Mas,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status