Part 5
"Gak apa-apa mas, insyaallah nanti ada rezeki yang lain..." jawabku kemudian.Mas Aris mengangguk sambil tersenyum. "Syukurlah, kalau kamu bisa mengaturnya, Dek. Mas percayakan padamu. Tapi insyaallah semoga walaupun cuma sisa sedikit, kita bisa lewati semua ini dengan baik ya.""Iya, Mas. Asalkan kita tetap bersama-sama berpegangan tangan, pasti bisa melewati hari hari ke depan dengan baik, meski harus puasa lebih sering."Mendengar jawabanku, Mas Aris tertawa. Dia mengusap kepalaku dengan lembut. Kepala yang hanya ditutupi oleh jilbab dengan warna yang sudah usang."Ya sudah, kalau gitu, kalian tunggu disini, mas mau pinjam motor pak mandor dulu ya buat pulang ke rumah. Sayang kan kalo harus naik angkot dua kali," ucap Mas Aris kembali. Lelaki yang penuh kesabaran, panutanku, imam dalam hidupku."Iya, mas."Setelah kepergiannya, aku mengamati keadaan sekitar. Sanggupkah aku memulai hidup disini dari 0? Bahkan kami tak mempunyai tabungan sepeserpun. Tak ada barang apapun di sini, sementara di rumah pun aku hanya punya baju baju yang sudah lama. Kami bahkan tak pernah membeli baju hingga baju baju kami terlihat kusam saking seringnya dipakai."Assalamualaikum..." suara salam sapa dari luar menghenyakkanku."Waalaikum salam..."Aku beranjak keluar, ternyata pak haji Herman, pemilik kontrakan yang datang sambil membawa ember gayung, alat kebersihan dan kasur lantai. Lelaki yang sudah sepuh itu tersenyum"Ini neng, bapak cuma bisa fasilitasi ini saja. Semoga betah ya tinggal disini," ucapnya sambil memberi barang-barang itu padaku. Alhamdulillah, dalam hati aku bersyukur, setidaknya ada sedikit perabotan yang bisa kugunakan di sini bukan kamar kosong tanpa apapun."Terima kasih, pak. Terima kasih banyak," jawabku sambil tersenyum."Iya neng, sama-sama. Kalau ada apa-apa, hubungi bapak saja, neng. Bapak selalu ada 24 jam di rumah." lanjutnya, kemudian pak haji pergi. Aku mengangguk lagi, syukurlah pemilik kontrakan begitu ramah pada kami. Diberi barang seperti itu aku sudah sangat bersyukur. Sambil menunggu suamiku datang, aku membersihkan rumah kontrakan yang akan aku tinggali, sedangkan Aryan dia sedang bermain sendiri di teras luar, sepertinya anak itu mudah sekali beradaptasi. Dan Reza, dia masih terlelap dalam tidurnya. Setelah meminum obat tadi Reza bisa tidur dengan nyenyak.Deru suara motor terdengar memasuki halaman. Rupanya Mas Aris sudah kembali. Dia tersenyum padaku. Dia turun dari motor dan menghampiriku."Wah, dek... Dapat ini dari mana?" tanyanya dengan wajah yang cukup sumringah."Tadi pak haji yang kasih mas," jawabku. Aku menceritakan perihal pemberian pak haji ini."Alhamdulillah... syukurlah kalau begini ya, Dek.""Iya Mas, ini juga rezeki.""Iya. Yuk, kita pulang ke rumah ibu. Tadi mas udah sekalian izin sama pak mandor, untuk pulang lebih dulu."Aku mengangguk. Aku kembali menggendong Reza, sementara Aryan duduk di depan bapaknya. Tak lupa mengunci pintu kontrakan lebih dulu.Bismillahirrahmanirrahim, semoga ini keputusan yang tepat dan tidak membuatku menyesal di kemudian hari.Sepanjang perjalanan kami hanya diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Entah apa yang dipikirkan Mas Aris, dia tampak fokus menghadap ke depan jalan. Sesekali suara Aryan bernyanyi yang memecah keheningan. Akupun tertawa mendengar suaranya yang lucu itu.Cukup lama kami berada di satas motor. Mas Aris mengendarai motor dengan kecepatan sedang. Membelah jalanan kota kecil di tempat ini. Kondisi jalan cukup ramai oleh kendaraan motor yang lainnya, yang punya tujuan masing-masing.Sesampainya di rumah ibu...Tak terasa waktu sudah menunjukkan angka 4 sore. Dari sejak makan siang aku meninggalkan rumah."Assalamualaikum," ucapku sambil memasuki rumah."Waalaikum salam. Habis dari mana kamu, Wi? Jam segini baru pulang?" tanya ibu penuh selidik. Dia berkacak pinggang menyambutku. Tak ada kata ramah sama sekali, semuanya ketus."Assalamualaikum, Bu," Mas Aris menyusulku masuk ke dalam. Dia menyalami ibu, ibu menyambutnya walau dengan terpaksa. Dengan raut wajah yang begitu masam."Kalian kok bisa datang bersama? Kamu pergi ke tempat suamimu? Emangnya punya uang? Kemarin katanya uangmu habis?" ibu mencecarku dengan berbagai pertanyaan."Ah itu...." Ucapanku mengambang di udara, tak mungkin aku bilang kalau aku dapat uang dari Mas Bagas."Maaf bu, kami mau bicara sesuatu sama ibu." Mas Aris menyela kami.Kening ibu mengkerut, menampakan garis garis jelas di dahinya."Ya, katakan saja! Ada apa?" jawab ibu masih dengan nada ketus."Begini bu, kami mau mengontrak..." ucap Mas Aris pelan. Ia harus mengatakan hal itu dengan nada lembut agar ibu tak tersinggung dengan ucapan kami."Apaaa...? Hahahah...." Ibu malah tertawa. Entah apa yang ditertawakan, sepertinya tidak ada yang lucu.Aku dan Mas Aris saling berpandangan melihat reaksi ibu. Aneh."Kalian sudah punya uang? Gayanya mau ngontrak rumah, buat makan aja gak cukup!" sambung ibu lagi seakan mengejek kami.Astaghfirullah ibu! Lagi lagi ibu mengejek kami yang rendahan dan juva miskin. Padahal setiap rezeki sudah Allah jamin."Iya bu, kami mau mandiri," jawabku. Terserah apa reaksi ibu. Yang jelas aku ingin cepat cepat keluar dari rumah ini."Oh ya baguslah. Kalau mau pergi, pergi aja! Dari pada disini jadi parasit!" Ibu bicara dengan nada membentak. Aku dan Mas Aris cukup tersentak mendengarnya.Deg! ucapan ibu sungguh menyakiti hatiku. Jadi selama ini kami hanya menjadi parasit? Parasit, parasit, kalian tahu kan apa itu parasit? Jadi selama ini yang kulakukan tak pernah dianggapnya. Baiklah ibu... Maafkan anakmu yang tidak tahu diri ini. "Baik, Bu. Maafkan kami, kalau selama ini kami hanya merepotkan ibu," sahut mas Aris sambil memegang tanganku. Dia tahu aku sudah meleleh dalam tangisan. Ya, air mata ini tak bisa kutahan lagi mendengar ucapan pedas ibuku sendiri."Iya, ajak istrimu pergi. Ibu juga sudah bosan melihatnya nangis terus. Kurang uanglah, anak sakitlah, begini, begitu... Makanya, kamu jadi suami cari kerjaan yang benar! Lihat tuh kakak iparmu si Bagas, sekarang sudah jadi manager, punya banyak uang, hidup istri dan anaknya terjamin. Gak kayak kamu, miskin!!"Ibu masih meracau tak jelas, menggerutu seolah keberatan tapi jatuhnya mengejek kami dengan keterlaluan.Mas Aris hanya menunduk, dia sudah kebal dimaki-maki seperti itu. Entah hatinya terbuat dari apa dia masih bisa sabar, tidak ada dendam sedikitpun pada ibu."Tapi ingat pesan ibu ya, sekalinya kalian pergi dari rumah ini, kalian tidak boleh kembali lagi. Pergiiii....!!!" seketika ibu menjadi marah.Deg! Jantungku berpacu kencang, dadaku bergemuruh hebat, hatiku sangat remuk. Ya Allah, apa benar aku anak ibu? Sebeginikah kecewanya ibu terhadap kami? Hingga tak ada sedikitpun belas kasihnya? Mungkin kata-kata ibu benar, kami hanyalah parasit, orang miskin yang belum bisa hidup mandiri. Ibu, maafkan kami kalau selalu merepotkanmu.Bab 526 bulan berlalu ...Alhamdulillah, aku sangat bersyukur, bayiku sudah lahir dengan normal dan sempurna. Seperti yang dibilang dokter, bayi mungilku perempuan. Sekarang usianya sudah dua bulan. Bayi perempuanku yang cantik diberi nama Ayudisa, sesuai dengan parasnya yang ayu.Teringat kembali saat persalinan waktu itu, Mas Aris menemaniku dengan kesabaran dan penuh perhatian. Rona bahagia terpancar di wajahnya. Setelah bayi mungilku lahir. Dia langsung mengadzaninya. "Dek, bagaimana kalau Mas kasih nama Ayudisa Candramaya."Aku tersenyum mendengarnya. Bukankah itu nama yang sangat cantik?"Bagus, artinya apa, Mas?""Kurang lebih artinya dewi nan cantik seperti bulan purnama. Mas cuma berharap, agar kelak dia tetap bersinar dimanapun dia berada, seperti cahaya bulan, walaupun gelap dia akan terus menyinari.""Wow, nama yang sangat indah dan juga cantik.""Seperti kamu. Terima kasih ya dek, sudah memberikan kado yang terindah lagi dalam hidup Mas," ujarnya sembari membelai lembut
Bab 51Season 2 Part 11"Hueek ... Hueek ..."Pagi-pagi sekali, aku merasa pusing dan mual. Entah kenapa kehamilan kali ini membuatku sedikit kepayahan. Padahal dulu, waktu hamil Aryan dan Reza, aku tak merasakan mabuk seperti ini."Hueek ... Hueek ..."Aku kembali memuntahkan isi perutku yang hanya berisi cairan. Seketika saat membalikkan tubuh, Mas Aris sudah berada di hadapanku dengan tatapan khawatir."Kamu gak apa-apa, dek? Kita ke dokter ya?" ajaknya dengan nada khawatir.Aku menggeleng perlahan. "Kemarin kita udah ke dokter, masa ke dokter lagi sih mas. Kata dokter juga ini normal, kamu gak usah khawatir begitu ah," jawabku lirih."Tapi mas gak tega lihat kamu kayak gini terus."Aku hanya tersenyum. Suamiku itu, dari dulu memang begitu, selalu mengkhawatirkan aku dan anak-anak."Mas, inilah perjuangan seorang istri. Makanya ...""Sudah pasti mas akan selalu menyayangimu, menjagamu, melindungimu dengan sepenuh hati. Begitu pula dengan anak-anak yang sudah kau kandung. Terima ka
Bab 50Season 2 Part 10"Ingat ya Zaky, sampai kapanpun ibu takkan pernah menganggap dia sebagai menantu!" ketus ibunya lagi, kemudian dia pergi begitu saja meninggalkan pasangan muda yang masih labil itu."Mas, aku ingin pulang ke rumah ibu. Biarkan aku tinggal di rumah ibu saja. Aku gak mau disini," ujar Arin dengan nada suara yang lirih.Zaky menoleh, ia menatap istrinya dalam-dalam."Kamu gak betah tinggal disini?" tanya Zaky.Arin menggeleng."Apa karena sikap ibuku?"Arin mengangguk ragu."Apa yang dilakukan ibu padamu? Apa kau disuruh mengerjakan semuanya?"Arin terdiam."Ah, sekarang aku paham, kenapa bibi dan mamang tukang kebon diberhentikan dari pekerjaan, ternyata karena alasan ini," ujar Zaky pada dirinya sendiri.Zaky meraih tangan Arin. Tangan yang dulu mulus kini terasa kasar dan memerah. Arin meringis kesakitan."Tanganmu kenapa?""Ini, waktu megang gunting rumput, karena aku gak bisa pakainya, jadi malah bikin tangan lecet," jawab Arin."Apaa??! Kamu bersih-bersih ke
Bab 49Season 2 Part 9Sementara di rumah orang tua Zaky"Riin... Ariiinn...!" teriakkan ibu mertua mengagetkan Arin. "Hei, jangan malas kamu! Dasar menantu tidak tahu diri!" bentaknya lagi.Arin berlari tergopoh-gopoh menghampiri ibu mertuanya. Dia menunduk, hatinya begitu sakit. Padahal ibunya sendiri tidak pernah memperlakukannya seperti itu."Tuh, cucian piring numpuk!" pekik ibu mertua lagi sambil menunjuk ke arah westafel, banyak tumpukan piring kotor disana. Padahal tadi sudah dia bersihkan sebelum Mas Zaky berangkat bekerja. Kenapa sekarang jadi banyak lagi?"Tapi bu, tadi sudah saya bersihkan. Tapi kenapa....""Jangan membantah! Kau lihat sendiri, bukan?" tunjuk ibu mertuanya begitu culas.Arin hanya mengangguk dan menuruti perintah ibu. "Kalau mau tinggal disini, jangan seenaknya sendiri okang-okang kaki! Kerja! Semuanya gak gratis!" hardik ibu mertuanya lagi.Arin menyesal melihat perlakuan sang ibu mertua yang tak menganggap dirinya sebagai seorang menantu. Baru beberapa
Bab 48Beberapa Minggu berlalu setelah berlibur."Bu, kenapa ibu senyum-senyum sendiri?" tanya Aryan dengan polosnya.Aku tersenyum menanggapi ocehan si kecil. "Iya, nak. Ibu lagi bahagia, bentar lagi kamu mau punya adek bayi," ucapku kemudian."Waah benar kah, Bu? Aryan mau punya adik lagi?" tanyanya dengan polos.Aku mengangguk sambil tersenyum."Aryan ikut senang kalau ibu senang, ibu jangan nangis lagi ya. Asyiik, Aryan mau punya adik lagi," ucapnya lagi dengan sumringah. Aryan lalu mengecup pipiku."Ibu jangan sakit ya, Bu. Aryan gak mau kehilangan adik lagi," kata Aryan masih dengan nada polosnya. Ucapanmu menggetarkan hati ibu, nak."Wah, ada apa nih kalian berdua? Kok kelihatannya senang begitu?" tanya Mas Aris saat menghampiri kami."Pak, Aryan mau punya dedek bayi..." jawab bocah kecil itu sambil tersenyum. Mas Aris beralih memandangku lalu tersenyum. "Wah sepertinya bakalan rame lagi nih, kita nambah anggota baru," sahut Mas Aris sambil sesekali melirik menggodaku."Aryaa
Bab 47"Dek, pelan-pelan... Uuh..." ucapnya lirih sambil meringis kesakitan."Tahan dikit lagi ya, mas," sahutku sembari mengobati luka di kaki suamiku. Dia tersenyum. Senyuman yang hangat dan menyejukkan. Mas Aris kembali meraih tanganku, menggenggamnya dan menciumi punggung tanganku."Makasih ya dek, sudah merawat mas dengan baik," ucap Mas Aris.Aku mengangguk. "Cepat sembuh ya, mas.""Iya sayang, I love you," ucapnya lagi yang membuatku tersipu.Beberapa tahun menikah dengannya tetap saja hatiku berdebar-debar ketika dia bilang cinta maupun sayang. Duh.... Tolong kondisikan hatiku."Mas, makan dulu ya,""Boleh, tapi mas mau disuapin sama kamu, dek...""Oh ya ampun, manja sekali suamiku..." ledekku lagi. Dia terkekeh.Aku berlalu ke dapur, mengambilkan makanan yang sudah aku masak tadi. Bahkan ibu, Dani serta Aryan belum pulang. Mereka sedang diajak jalan-jalan sama Mbak Ayu dan Mas Bagas. Sedangkan Arin sudah diboyong oleh suaminya. Ya, di rumah ini hanya kami berdua saja."Mas,