Bab 526 bulan berlalu ...Alhamdulillah, aku sangat bersyukur, bayiku sudah lahir dengan normal dan sempurna. Seperti yang dibilang dokter, bayi mungilku perempuan. Sekarang usianya sudah dua bulan. Bayi perempuanku yang cantik diberi nama Ayudisa, sesuai dengan parasnya yang ayu.Teringat kembali saat persalinan waktu itu, Mas Aris menemaniku dengan kesabaran dan penuh perhatian. Rona bahagia terpancar di wajahnya. Setelah bayi mungilku lahir. Dia langsung mengadzaninya. "Dek, bagaimana kalau Mas kasih nama Ayudisa Candramaya."Aku tersenyum mendengarnya. Bukankah itu nama yang sangat cantik?"Bagus, artinya apa, Mas?""Kurang lebih artinya dewi nan cantik seperti bulan purnama. Mas cuma berharap, agar kelak dia tetap bersinar dimanapun dia berada, seperti cahaya bulan, walaupun gelap dia akan terus menyinari.""Wow, nama yang sangat indah dan juga cantik.""Seperti kamu. Terima kasih ya dek, sudah memberikan kado yang terindah lagi dalam hidup Mas," ujarnya sembari membelai lembut
Part 1"Wi, itu baju kotor dah numpuk. Mbok ya dicuci dulu. Jangan malas!" seru Ibu. "Udah jam segini kok, masih di kamar!" imbuhnya lagi.Aku menatap jam yang bertengger di dinding kamar, memang sudah siang, waktu sudah menunjukkan pukul 08.15 WIB. Bukan tanpa alasan aku masih di kamar, si bungsuku yang berumur 1,5 tahun dia sedang sakit dari kemarin, sakit panas. Ya, sekali lagi dia tak mau ditinggal. Sekali ibunya beranjak, dia langsung menangis. Dia bungsuku, namanya Reza. Aku hanya bisa mengompresnya dengan air hangat. Aku tak punya uang walaupun hanya sekedar untuk membeli obat penurun panas di warung. Pernah aku minta uang pada ibu, tapi sekali lagi ibu bilang Reza adalah tanggung jawab suamiku. Ya memang benar, aku adalah seorang istri, tapi ... keadaan ekonomi kami sungguh memprihatinkan. Saat ini aku benar-benar berada di titik yang terendah. Tak memegang uang sepeserpun. Mau berhutang ke warung tapi malu. Pasti dicibir oleh tetangga maupun yang lainnya. Ah entahlah, saat i
Part 2"Assalamualaikum... Wi... Dewi...!" teriak ibu dari luar. Aku berlari menghampirinya. "Waalaikum salam," jawabku kemudian. Kulihat ibu baru pulang dari pasar."Ini belanjaannya dibawa masuk dulu," sergah ibu sambil menyerahkan tas keranjang belanjaan. Lalu, ibu mengambil uang di dompet untuk membayar tukang becak yang sudah mengantarnya pulang."Baik, Bu," jawabku sambil beranjak menaruh barang belanjaan ibu ke dapur. Ibu mengikutiku dari belakang."Gimana kamu udah masak nasi belum?" tanya ibu."Ah, maaf bu. Aku belum sempat ....""Haduuh kamu gimana sih, kenapa malah belum masak nasi?!" tukas ibu dengan raut wajah begitu kesal."Maaf bu, tadi aku nyuci, terus kelupaan..."Ibu memotong ucapanku lagi. Dia berdecak kesal, tak suka aku banyak beralasan. Ia menggerutu, entah mengatakan hal apa yang jelas semua tertuju padaku. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya sembari bertanya. "Jadi belum kelar semua?""Masih sisa sebagian yang belum dijemur, Bu," sahutku menjelaskan. Aku benar-b
Part 3Setelah selesai, kusiapkan semuanya minuman serta makanan yang tadi sudah aku masak di meja makan."Bu, sudah selesai," ucapku pada ibu. Ibu hanya mengangguk lalu mengajak anak dan cucunya untuk makan siang bersama. Tentu saja anak dari Mbak Ayu, bukan anak-anakku. Ia tak peduli pada anak-anakku, mau makan atau kelaparan."Ayo cucu, cucu nenek kita makan sama-sama," kata ibu. "Ayu, Bagas, Arin... Ayo kita makan sama-sama, nak," teriak ibu lagi. Bahkan, aku yang ada di hadapannya pun tak ia panggil, aku yang sudah memasak untuk semuanya tapi tak pernah terlihat.Sudah biasa hal seperti itu terjadi, aku tak pernah dianggap olehnya, tapi bila ibu membutuhkan bantuan, akulah orang pertama yang dia panggil menjadi tamengnya.Dari pada sakit hati lebih lanjut, aku bergegas masuk ke kamar dan menggendong anakku. Sudah sangat siang, tapi aku ingin membawanya ke puskesmas terdekat, pasti masih ada petugas kesehatan yang berjaga disana kan?"Aryan, kamu juga siap-siap ya nak. Pakai topi
Part 4"Ada apa ini, Dek?" tanyanya sambil menatapku seakan penuh tanya.Aku hanya terdiam, lidahku terasa kelu. Dan tiba-tiba saja butiran bening ini menetes tanpa kompromi lagi."Ibu, kenapa nangis?" tanya Aryan dengan polos. Dia memandang kami secara bergantian."Ibu gak apa-apa sayang, ibu hanya merasa sedih. Kakak Aryan main dulu ya, tapi jangan jauh-jauh, jangan gangguin Pak tukang. Main di sebelah sana saja ya, Nak." ucap mas Aris. Dia mencoba mengademkan suasana. "Baik, pak."Kemudian bocah kecil itu pergi keluar dengan ekspresi yang ceria. "Ada apa ini, Dek?" mas Aris mengulangi pertanyaannya. Dia memandangku dengan tatapan serius.Aku menghela nafas panjang. "Mas, apa sebaiknya kita ngontrak saja?" ucapku perlahan. Aku tidak yakin mas Aris setuju. Karena sebelumnya tiap aku mengajukan untuk mengontrak diluar dia selalu menolak. Alasannya tetap sama, kasihan ibu. Ibu sekarang adalah orang tua kita satu-satunya. Kalau bukan kita yang merawat siapa lagi? Mas Aris yakin, suatu
Part 5"Gak apa-apa mas, insyaallah nanti ada rezeki yang lain..." jawabku kemudian.Mas Aris mengangguk sambil tersenyum. "Syukurlah, kalau kamu bisa mengaturnya, Dek. Mas percayakan padamu. Tapi insyaallah semoga walaupun cuma sisa sedikit, kita bisa lewati semua ini dengan baik ya.""Iya, Mas. Asalkan kita tetap bersama-sama berpegangan tangan, pasti bisa melewati hari hari ke depan dengan baik, meski harus puasa lebih sering."Mendengar jawabanku, Mas Aris tertawa. Dia mengusap kepalaku dengan lembut. Kepala yang hanya ditutupi oleh jilbab dengan warna yang sudah usang."Ya sudah, kalau gitu, kalian tunggu disini, mas mau pinjam motor pak mandor dulu ya buat pulang ke rumah. Sayang kan kalo harus naik angkot dua kali," ucap Mas Aris kembali. Lelaki yang penuh kesabaran, panutanku, imam dalam hidupku."Iya, mas."Setelah kepergiannya, aku mengamati keadaan sekitar. Sanggupkah aku memulai hidup disini dari 0? Bahkan kami tak mempunyai tabungan sepeserpun. Tak ada barang apapun di si
Part 6"Pergiiii...!!"Aku terhenyak mendengar teriakan ibu. Si kecil Rezapun kaget, dan menangis karenanya."Baik, Bu. Kami beres-beres dulu," jawab mas Aris lagi. Kami langsung masuk ke kamar karena tak ingin mendengar teriakan ibu. Sementara ibu masih duduk mematung di tempatnya, memijat pelipisnya sendiriz entah apa yang tengah dipikirkannya saat ini. Apakah dia akan kembali berpikir kalau kami anak-anak yang durhaka? ***Di dalam kamar, situsasi udah tidak karuan.Aku membereskan baju-baju kami semua, Mas Aris dengan cekatan membantuku, memasukkannya ke dalam tas ransel. Kembali meneliti supaya tak ada satupun barang yang tertinggal."Kamu lihat sendiri kan mas? Sikap ibu? Dia setiap hari seperti itu padaku. Aku tak pernah dianggapnya ada. Padahal aku juga capek, mencuci, masak, nyapu aku membersihkan semuanya sendiri. Tapi....""Iya, dek..." sahut Mas Arin dengan nada suara pelan."Aku sudah gak tahan, mas..." isakku.Air mataku tumpah lagi, tak henti-hentinya kuseka bulir-bul
Part 7Aku dan Mas Aris sudah sampai di kontrakan. Tak banyak yang kami bawa, hanya baju-baju untuk ganti. Sesulit inikah hidup sebagai orang tak punya? Hingga dibenci sama ibu sendiri? Atau... Adakah alasan yang lainnya yang tidak kumengerti?Rasanya hari hari kulalui begitu berat. Tapi bukankah kita harus bersabar?Aku membaringkan Reza di kasur lantai. Tangan dan pundak terasa begitu pegal karena hampir seharian menggendong si bungsu. Aryan pun berbaring di sampingnya. "Maafin kami ya, Nak. Kalian harus tidur hanya beralaskan kasur lantai yang tipis," ujarku dengan nada tertahan.Air mataku terus saja mengalir, enggan untuk berhenti walau aku menyekanya berkali-kali."Dek, udah jangan menangis terus. Istirahatlah," ucap mas Aris. Dia mengisik bahuku dengan pelan."Sekarang mandilah dulu, biar badanmu segar. Kita gantian, Mas juga mau mandi seharian rasanya begitu lelah."Aku mengangguk, bangkit dari duduk dan meraih handuk dalam tas ransel. Gegas masuk ke dalam kamar mandi, menyal