Share

Aku Berpindah Agama Karena Aib
Aku Berpindah Agama Karena Aib
Author: Bintang Senja

Bagian 1

Aku Berpindah Agama Karena Aib

Bagian. 1

"Kak, aku hamil" ucap Arleta padaku ketika dia baru saja datang menemuiku.

Arleta mendatangiku di sebuah taman tempat kami biasa bertemu. Arleta menyerahkan sebuah alat testpack yang sepertinya sudah dia gunakan, karena di alat itu nampak dua garis merah. Aku terkejut mendengar perkataannya, namun aku mencoba tetap tenang di hadapan Arleta, gadis yang sudah aku pacari setahun belakangan ini.

"Syukurlah," jawabku sambil mengelus perutnya. Perut Arleta memang terasa agak mengeras. Ciri khas perempuan hamil yang aku tau, karena adik-adikku semua perempuan dan rata-rata telah menikah dan punya anak. Dan sedikit banyak aku tahu bagaimana ciri-cirinya perempuan hamil.

"Kok syukurlah sih Kak, aku ini  takut," ucap Arleta dengan wajah yang terlihat panik.

"Aku akan tanggung jawab, Dik" jawabku yakin. Arleta hanya terdiam membisu. Terlihat ada raut wajah keraguan disana.

"Tapi Kak, apa kamu yakin kalau Papa bakal restuin kita?" tanya Arleta ragu.

"Kita temuin Papa kamu sekarang ya?" pintaku pada Selera.

"Aku takut Kak, aku belum siap buat ketemu Papa sekarang. Papa akan sangat marah padaku kalau sampai tahu aku sudah hamil duluan" jawab Arleta. Suaranya terdengar sedikit bergetar. Matanya memerah menahan tangis.

"Aku akan yakinkan Papa kamu, Sayang" jawabku mencoba meyakinkan Arleta.

Arleta pun memelukku. Tangisnya pecah di dekapanku. Entah karena dia ketakutan atau merasakan keharuan. 

Namaku Gadi. Usiaku 25 tahun. Dan Arleta, dia adalah gadis berusia 18 tahun yang sudah aku pacari sejak setahun lalu. Aku memacari Arleta ketika dia baru lulus dari Sekolah Menengah Atas. Aku bertemu dengan Arleta karena dia adalah pembeli setia gorenganku. Aku adalah penjual gorengan di depan sekolahan Arleta. Arleta gadis yang manis dan periang. Arleta adalah gadis yang penuh perhatian, dan itu membuatku jatuh cinta padanya. 

Memang salahku sudah membawa Arleta dalam situasi ini. Sungguh aku merasa berdosa padanya, ketakutannya beberapa bulan yang lalu akhirnya terjadi juga.

°°°

Malam itu aku membawa Arleta ke rumah sewaku. Aku berpura-pura sakit agar Arleta mau datang menjengukku dirumahku. Dan ketika aku melihat ada kesempatan itu, aku pun meminta Arleta untuk menyerahkan keperawanannya padaku. Aku memintanya dengan penuh kesadaran, aku tidak sedang mabuk atau di bawah pengaruh obat-obatan terlarang. Aku benar-benar sadar saat aku meminta Arleta untuk melayani nafsuku. Awalnya Arleta menolak karena dia takut, tapi setelah aku memohon padanya dan menjelaskan alasanku melakukannya, akhirnya dia menyerahkan kehormatannya padaku.

"Kamu jangan nangis, Dik. Aku akan tanggung jawab kalau sampai kamu kenapa-kenapa" ujarku malam itu ketika aku melihat Arleta menangis sesenggukan sesaat setelah kami melakukan perbuatan itu. Aku menutup tubuh Arleta dengan selimut. Mencium keningnya dengan lembut. Aku tau ini adalah sebuah kesalahan. Dan wajar apabila gadis baik-baik seperti Arleta bereaksi seperti ini karena dia sudah memberikan kegadisannya padaku sebelum waktunya.

"Aku takut, Kak. Bagaimana kalau aku hamil?" tanya Arleta lagi. Dia menangis. Aku pun memeluknya.

"Kakak nggak akan pernah tinggalkan kamu, Dik. Kakak memang ingin melakukannya bersamamu, Kakak memang menginginkan kamu hamil, supaya hubungan kita di restui oleh Papa kamu"jawabku mencoba memberikan ketenangan pada gadisku itu. 

°°°

Dari awal aku memacari Arleta, Papa Arleta, Pak Hartono, tidak pernah setuju dengan hubungan kami. Selain karena aku belum memiliki pekerjaan tetap karena aku hanya penjual gorengan dengan penghasilan yang pas-pasan, alasan lain Pak Hartono tidak merestui hubungan kami itu karena aku dan Arleta berbeda keyakinan.

Berulang kali Pak Hartono memintaku untuk masuk ke dalam Agama mereka. Tapi, aku masih belum bisa meninggalkan Agamaku ini. Walaupun Pak Hartono merayuku dengan berbagai cara, bahkan Pak Hartono memberikanku beberapa mobil untuk kupakai merintis usaha travel milik Pak Hartono. Semua itu Pak Hartono lakukan agar aku mau masuk ke Agamanya, dan segera meresmikan hubunganku dengan anaknya. 

Tapi, aku punya pemikiran lain. Aku sama sekali tidak tertarik untuk berpindah Agama meskipun Pak Hartono sangat baik kepadaku. Aku justru ingin membawa Arleta untuk pindah masuk ke dalam Agamaku. Apalagi kalau sampai Arleta hamil anakku, mau tidak mau Pak Hartono pasti merestui hubungan kami. 

Jujur aku sangat mencintai Arleta. Aku tidak akan bisa bila tanpanya. Karena Arleta adalah gadis yang setia, tidak seperti mantan-mantanku yang dulu. Yang hanya mencintaiku karena fisik. Tapi tidak pernah benar-benar mencintaiku. Tapi Arleta, dia gadis yang berbeda. Dia juga sangat berjasa di hidupku karena aku hanyalah seorang perantauan di kotanya. Dari awal Arleta menerimaku apa adanya meskipun aku hanya seorang perantauan. Dia tidak banyak menuntut apapun padaku sebagai pacarnya. Selama ini Arleta lah yang slalu mendukung semua kebutuhanku di kota ini.

Dan aku sudah berjanji dalam hatiku, aku akan bertanggung jawab atas perbuatanku pada Arleta. Aku tidak akan meninggalkan Arleta dalam keadaan seperti ini. Aku mencintai Arleta, dan aku memang menginginkan dia untuk menjadi istriku.

"Besok kita ketemu sama Papa kamu ya?" pintaku pada Arleta.

"Aku nggak berani pulang, Kak. Aku takut ketahuan sama Papa kalau aku hamil" jawab Arleta pelan. Perlahan aku menarik nafasku. Mencoba mencari solusi terbaik.

"Ya sudah, malam ini kamu tidur di rumah Kakak aja lagi ya? Besok pagi baru kita sama-sama ketemu Papa kamu" ucapku lagi.

 Arleta mengangguk pelan. Aku mengusap matanya yang masih basah karena air mata. Aku mencium keningnya mencoba memberikan ketenangan padanya.

°°°

Aku terbangun dari tidurku. Ku lihat jam di atas meja di sebelah ranjang ku. Waktu masih menunjuk pukul 03.00 pagi. Aku melihat Arleta yang sedang duduk melamun di sofa. Mungkin semalaman dia tidak bisa tidur. Arleta tampak gelisah. Aku berusaha mencoba menenangkan nya tapi percuma. Arleta terlihat sangat takut membayangkan reaksi Pak Hartono besok.

"Dik, Kakak bikinkan kamu susu hangat ya biar kamu bisa tidur?" tanyaku pada Arleta. Pandangannya kosong. Dia tidak memperhatikan perkataanku.

"Leta," panggilku pada Arleta. Arleta terkejut.

"I-iya, kenapa Kak?" tanya Arleta kemudian.

"Kamu jangan melamun terus dong, Sayang." ucapku sambil bangkut dari tidurku lalu kemudian duduk di sebelahnya. Tidak ada jawaban dari Arleta.

"Kakak bikinkan kamu susu hangat ya? Biar kamu bisa tidur, kamu harus istirahat, Dik" tanyaku sekali lagi. Arleta hanya menggeleng pelan.

"Aku nggak bisa membayangkan bagaimana reaksi Papa besok, Kak" jawab Arleta pelan.

"Huft" aku mendengus pelan. Entah harus bagaimana aku meyakinkan calon istriku ini agar dia tidak terlalu berfikir negatif seperti itu.

"Kamu harus yakin dong, kita hadapi Papa sama-sama, Leta" pintaku pada Arleta.

"Tapi Kak--"

"Sudah cukup, tunggu disini, aku buatkan kamu segelas susu hangat dulu biar kamu bisa sedikit tenang lalu tidur. Kasihan calon bayiku yang didalam perutmu kalau kamu seperti ini terus, Leta" ucapku memutus perkataan Arleta. Akupun bergegas menuju dapurku untuk membuatkan Arleta susu hangat.

Aku sangat mengerti ketakutan Arleta. Akupun sebenarnya juga sangat takut membayangkan bagaimana kemarahan Pak Hartono besok. Aku takut kalau Pak Hartono marah besar padaku. Aku takut kalau Pak Hartono menyebutku laki-laki yang tidak tahu terima kasih. Apalagi Pak Hartono sudah banyak membantuku selama ini. Beliau mengajariku menyetir mobil, bahkan beliau memberikan ku beberapa mobil yang beliau punya untuk aku kelola demi memajukan bisnis travelnya. Aku takut sekali Pak Hartono akan menghukumku karena perbuatanku pada Arleta.

Aku menyodorkan segelas susu hangat untuk Arleta. Kemudian Arleta meraihnya lalu meminumnya sedikit.

"Kakak nggak akan ninggalin Leta, 'kan?" tanya Arleta kemudian. Aku terperanjat dengan perkataan Arleta itu.  Aku hanya bisa mengusap kepalanya dengan lembut.

"Arleta, tolong kamu berhenti berfikir yang bukan-bukan ya? Kamu jaga kandungan kamu ini, semoga setelah kita bertemu Papa kamu, pernikahan kita bisa segera di langsungkan"jawabku perlahan pada Arleta.

Tidak lama Arleta terlihat mengantuk, dan kemudian Arleta pun tertidur di sofa. Aku pun menggendong dan membawanya ke atas ranjangku. Semoga Pak Hartono merestui kami dan mengizinkan kami menikah secepatnya.

 Aku pun berbaring di sebelah Arleta. Kali ini mataku yang tidak bisa terpejam. Aku buka gawaiku, ada beberapa panggilan dari Pak Hartono. Sepertinya Pak Hartono hendak menanyakan keberadaan Arleta padaku, karena Arleta sengaja menonaktifkan gawainya sejak dia pergi dari rumahnya. Aku pun mengabaikan panggilan Pak Hartono. Menaruh gawaiku di meja  lalu aku mencoba memejamkan kedua mataku.

°°°

Aku dan Arleta saling berpandangan. Kami masih belum berani turun dari mobil. Tangan Arleta kencang memeluk lenganku. Berkali-kali Arleta melihat ke arah rumahnya. Rumah Arleta tampak sepi karena hanya dihuni oleh Pak Hartono, Arleta, dan Mbak Ningsih, Asisten Rumah Tangganya saja. Rumah sebesar itu hanya di huni oleh tiga orang saja. Mama Arleta sudah pergi sejak Arleta kecil. Menurut cerita pak Hartono, istrinya itu pergi bersama laki-laki lain dan meninggalkan Pak Hartono dan Arleta begitu saja. Sejak saat itu Pak Hartono menjadi sangat sakit hati, dan berjanji tidak akan menikah lagi.

"Dik, kita turun ya?" pintaku pada Arleta. Dengan segera Arleta menggelengkan kepalanya. Tampak sekali raut ketakutan di wajah manis Arleta.

"Kita harus bicara sama Papa kamu, Dik. Papa kamu cari kamu dari semalam, sekarang beliau pasti sangat khawatir sama kamu" ujarku lagi mencoba menenangkan Arleta.

Sejenak Arleta terdiam. Dia seperti berfikir. Aku mencium keningnya dengan lembut. Kasihan sekali Arleta, semua ini karena kesalahanku yang terlalu memaksakan nafsuku padanya.

Akhirnya dengan sangat berat, Arleta mau ikut bersamaku untuk menemui Pak Hartono. Arleta tidak pernah tahu bahwa aku juga merasakan ketakutan yang sama dengannya. Jari jemari kami saling menggenggam erat. Seolah saling memberi kekuatan satu sama lain. Kami melangkah perlahan tapi yakin. Semua pasti baik-baik saja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status